Nasab Mempelai Pria kepada Ayah Sambung

Pertanyaan  

Assalamualaikum ustadzah, apakah sah akad pernikahan jika mempelai pria menggunakan nama bin ayah sambungnya?

Jawaban
Ustadzah Husna Hidayati, MHI

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Penasaban kepada ayah angkat/ayah sambung jelas bertentangan dengan hukum Islam, maka unsur menasabkan seseorang anak kepada ayah angkat/sambung harus dibatalkan. Status anak angkat disamakan dengan anak kandung adalah warisan masyarakat jahiliyah; hubungan nasab anak angkat, berpindah ke orangtua angkat bisa saling mewarisi, bisa menjadi mahram, bisa menjadi wali nikah, dan seterusnya. Memiliki hak dan hukum yang sama sebagaimana anak kandung.

Tradisi jahiliyah ini sampai kepada Rasulullah SAW sebelum menjadi nabi, beliau mengangkat Zaid mantan budaknya untuk menjadi anak angkatnya. Sehingga semua orang menyebutnya: Zaid bin Muhammad. Padahal ayah aslinya bernama Haritsah. Nabi Muhammad SAW mengumumkan di hadapan kaum Quraisy: “Wahai yang hadir, saksikanlah bahwa Zaid aku jadikan anakku, Ia mewarisiku, dan akupun mewarisinya’. lbnu Umar mengatakan,Kami tidak pernah memanggil Zaid bin Haritsah, namun Zaid bin Muhammad, sampai Allah menurunkan firmannya di surat Al-Ahzab ayat 5.

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama Ayah-Ayah mereka; Itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan Jika kamu tidak mengetahui Ayah-Ayah mereka, panggilah mereka sebagai Saudara-saudaramu seagama atau maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab: 5).

Ayat ini intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi) dan memanggilnya sebagai anak kandung atau penisbatan nasab bin atau binti. Bahkan Rasulullah SAW memberi ancaman yang sangat keras bagi orang yang mengubah nasab. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shoheh, yaitu “Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari no. 6385) Jadi lebih rincinya maksud ayat tersebut adalah:

– Menjelaskan bahwa pengangkatan anak tidak mempengaruhi kemahraman, sehingga antara kedua belah pihak tidak ada larangan untuk saling mengawini, dan tidak boleh saling mewarisi (Al-Qurtubi, Al- Jami’li Ahkam al-Quran)

– Menjelaskan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah atau nasab dengan orangtua kandung dan keluarganya, sehingga antara mereka tetap berlaku hubungan mahram dan hubungan saling mewarisi.

– Menjelaskan adanya pelajaran yang berharga bahwa anak angkat tetap anak angkat, tidak bisa dinasabkan kepada orangtua angkat. Jika terjadi penasaban anak angkat kepada orangtua angkat, maka mendapatkan dosa atau bahkan sumber dosa. Karena dialah yang meretas perubahan nasab pertama kalinya. Karena itu, anak angkat tetap dinasabkan kepada orangtua kandungnya, baik panggilan di masyarakat, maupun dalam catatan sipil. Jika alasannya malu, sesungguhnya tidak ada yang perlu dianggap malu, karena ini bukan tabu. Mesti disadari, bahwa menanggung malu di dunia, jauh lebih ringan dibandingkan hukuman di akhirat.

Dalam surah Al Ahzab ayat 4 Allah berfirman “….. dan ia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulut saja dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula (pengabdi) kamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa anak angkat bukanlah anak kandung, menyebutkan namanya saja tidak boleh dinasabkan kepada ayah angkatnya, agar hal itu tidak menyesatkan hubungan darah, karena ketidakjelasan hubungan darah dapat berakibat pada kelirunya rancangan perkawinan dan pada akhirnya dapat menyesatkan pembagian harta warisan. Gangguan seperti inilah yang ingin dihindari oleh ajaran Islam agar kedudukan nasab antara anak dan orangtua kandung tidak terputus. Wallaahu alam.

Konsultasi Terkait