Haruskah Wudhu Sebelum Baca Al Quran ?

Pertanyaan  

Apakah dlm membaca al quran harus dlm kondisi punya wudhu?

Bagaimana jk yg dibaca alquran yg ada di hp?apakah nilainya sama dg yg mushaf berupa kertas?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim ..

Membaca ayat Al Qur’an tanpa menyentuhnya, dalam keadaan berwudhu, dan masih berhadats kecil, adalah BOLEH menurut ijma’.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

  فإن قرأ محدثا جاز بإجماع المسلمين والأحاديث فيه كثيرة معروفة

“Jika seorang berhadats membaca Al Quran maka BOLEH menurut ijma’ kaum muslimin, dan hadits-hadits tentang itu banyak dan telah diketahui.”  (At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, Hal. 73. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dan, Ijma’ (konsensus) merupakan salah satu sumber hukum Islam yang telah disepakati semua ulama Islam, kecuali oleh yang menyimpang. Namun demikian, walau pun boleh membaca Al Quran dalam keadaan hadats kecil, adalah hal yang disukai dan merupakan adab yang baik jika seseorang hendak membaca Al Quran dia berwudhu dahulu dan membersihkan mulutnya. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وينبغي إذا أراد القراءة أن ينظف فاه بالسواك وغيره والاختيار في السواك أن يكون بعود من أراك ويجوز بسائر العيدان وبكل ما ينظف كالخرقة الخشنة والأشنان وغير ذلك

“Hendaknya jika hendak membaca Al Quran dia membersihkan mulutnya dengan siwak dan selainnya.  Siwak yang dipilih berasal dari batang kayu Arok, dan dibolehkan dengan semua jenis batang kayu, dan apa saja yang dapat membersihkan, seperti dengan kain perca yang kasar dan usang, dan selain itu.” (Ibid, Hal. 72)

Telah diriwayatkan dari Imam Malik Rahimahullah, bahwa jika beliau hendak menyampaikan hadits nabi, beliau berwudhu dahulu sebagai penghormatan atas ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sedangkan membaca sambil MENYENTUH mushaf, dalam keadaan hadats kecil dan belum berwudhu, maka ini perdebatan panjang dan melelahkan para ulama sejak dahulu sampai sekarang, di mana mayoritas mengatakan tidak boleh, wajib bersuci dulu, kecuali menurut sebagian ulama lainnya.

 

Pihak Yang Melarang

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan:

وأما مس المصحف، فالصحيح أنه يجب له الوضوء، كقول الجمهور، وهذا هو المعروف عن الصحابة : سعد، وسلمان، وابن عمر . وفي كتاب عمرو بن حزم عن النبي صلى الله عليه وسلم : ” لا يمس القرآن إلا طاهر ” . وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يسافر بالقرآن إلى أرض العدو مخافة أن تناله أيديهم

“Ada pun menyentuh Mushaf, yang benar adalah wajib baginya berwudhu sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini telah diketahui dari para sahabat: Sa’ad, Salman, dan Ibnu Umar. Dari ‘Amru bin Hazm, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menyentuh Al Quran kecuali yang suci.” Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melarang bepergian membawa Al Quran ke negeri musuh (kafir), khawatir mereka menyentuhnya dengan tangan mereka.” (Majmu’ Fatawa, 21/288)

Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah berkata:

ويحرم عليه مس المصحف لقوله تعالى (لا يمسه الا المطهرون) ولما روى حكيم بن حزام رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم قال (لا تمس القرآن الا وأنت طاهر) ويحرم عليه حمله في كمه لانه إذا حرم مسه فلان يحرم حمله

Diharamkan atas orang yang berhadats menyentuh mushaf, karena firman Allah Ta’ala: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” Juga riwayat Hakim bin Hizam Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menyentuh Al Quran kecuali jika kamu suci.” Dan diharamkan juga atasnya membawanya di lengan bajunya, sebab jika si Fulan diharamkan menyentuhnya maka membawanya juga diharamkan. (Al Muhadzdzab fi Fiqhil Imam Asy Syafi’i, 1/53-54)

 

Al ‘Allamah Asy Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah mengatakan:

مس المصحف على غير وضوء لا يجوز عند جمهور أهل العلم والذي عليه الأئمة الأربعة – رحمه الله عليهم – وهو الذي كان يفتي به أصحاب النبي عليه الصلاة والسلام، أنه مس القرآن إلا طاهر ، وقد ورد في ذلك حديث صحيح لا بأس به من حديث عمرو بن حزم رضي الله عنه أن النبي ، – صلى الله عليه وسلم – ، كتب إلى أهل اليمن أن لا يمس القرآن إلا طاهر.

وهو حديث جيد له طرق يشد بعضها بعضا ، هذا هو الواجب ، وكذلك نقل المصحف أو تحريكه من مكان إلى مكان ، لا ينقله إلا من كان طاهراً أو إذا تم ذلك بواسطة كأن يأخذه في لفافة أو يكون المصحف في لفافة فيأخذه بالعلاقة ، أما أخذه مباشرة بيديه وهو على غير طهارة فلا يجوز على الصحيح الذي عليه جمهور أهل العلم

“Menyentuh Mushaf tanpa wudhu adalah tidak boleh menurut mayoritas ulama, itulah pendapat imam yang empat –semoga Allah merahmati mereka- itulah yang difatwakan oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa tidaklah  menyentuh Al Quran melainkan yang suci. Telah ada keterangan dari hadits shahih yang tidak mengapa, dari Amru bin Hazm Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menulis untuk penduduk Yaman bahwasanya tidak boleh menyentuh Al Quran kecuali yang suci. Hadits ini jayyid (baik) memiliki banyak jalan yang saling menguatkan satu sama lain. Hal ini (bersuci) adalah wajib. Demikian juga mengangkat dan  memindahkan mushaf dari satu tempat ke tempat lain, tak ad ayang memindahkannya kecuali orang yang suci atau memindahkannya engan perantara seperti mengambilnya dengan kain yang membungkusnya atau mushaf itu memiliki tali gantungan maka mengambilnya dengan tali tersebut. Ada pun mengambil langsung dengan kedua tangannya dan dia dalam keadaan tidak bersuci, maka tidak bolah menurut pendapat yang benar dan menjadi pendapat mayoritas ulama.” (Fatawa Islamiyah, 4/25)

 

Senada dengan Syaikh Ibnu Baz, yakni Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin –beliau murid Syaikh Ibnu Baz- juga mengatakan:

ومن النصيحة لكتاب الله تعالى أن يقوم الإنسان باحترام هذا القرآن العظيم فمن ذلك أن لا يمس القرآن إلا وهو طاهر من الحدثين الأصغر والأكبر لقول النبي صلى الله عليه وسلم لا يمس القرآن إلا طاهر   أو من وراء حائل لأن من مسه من وراء حائل فإنه لم يمسه في الواقع

“Diantara nasihat untuk Kitabullah adalah manusia mesti menghormati Al Quran Al ‘Azhim, oleh karena itu janganlah menyentuh Al Quran kecuali bagi yang suci dari dua hadats: hadats kecil dan besar. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah menyentuh Al Quran kecuali orang yang suci, atau dari balik penghalang karena menyentuh dari balik penghalang tidaklah disebut menyentuh secara hakiki.” (Syarh Riyadh Ash shalihin, Hal. 214. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah menulis dalam kitab Al Fiqhul Islami-nya, dibawah pembahasan: Apa-apa yang diharamkan  bagi orang yang berhadats kecil atau yang belum berwudhu (ternyata beliau mengkategorikan ‘menyentuh mushaf’ termasuk larangan bagi orang yang berhadats kecil). Katanya:

ولأن تعظيم القرآن واجب، وليس من التعظيم مس المصحف بيد حلَّها الحدث.

“Karena memuliakan Al Quran adalah wajib, dan bukanlah sikap memuliakan jika menyentuh Al Quran dengan tangan dalam keadaan berhadats.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/394. Maktabah Al Misykah)

Dalam kitab Al Fiqh Al Manhaji ‘Ala Madzhabil Imam Asy Syafi’i, disebutkan tentang larangan bagi orang yang junub:

مس المصحف وحمله أو مس ورقه، أو جلده، أو حمله في كيس أو صندوق: قال تعالى: (لا يمسه إلا المطهرون)  .وقال – صلى الله عليه وسلم -: ” لا يمس القرآن إلا طاهر “

Menyentuh mushaf, membawanya, atau menyentuh lembarannya, atau kulitnya (covernya), atau membawanya di dalam saku atau kotak. Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak boleh menyentuh Al Quran kecuali seorang yang suci.” (Al Fiqh Al Manhaji ‘Ala Madzhabil Imam Asy Syafi’i, 1/76)

 

Pihak yang Membolehkan

Ada pun pihak yang membolehkan, Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

 

وروي عن ابن عباس ، والشعبي ، وجماعة منهم أبو حنيفة ، أنه يجوز للمحدث مسه ، وقد أوضحنا ما هو الحق في هذا في شرحنا للمنتقي ، فليرجع إليه

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Asy Sya’bi, dan  segolongan dari mereka seperti Abu Hanifah, bahwa boleh bagi seorang yang behadats untuk menyentuh Al Quran, dan kami telah menjelaskannya dalam Al Muntaqa’ mana pendapat yang benar, silahkan merujuk ke sana.” (Fathul Qadir, 7/137)  ternyata Imam Asy Syaukani termasuk yang menguatkan pendapat bolehnya menyentuh Al Quran bagi yang berhadats besar (Junub, Haid, dan Nifas) dan kecil.

 

Alasan-alasan  golongan ini, adalah:

Pertama. Surat Al Waqi’ah ayat 79:

لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali yang suci.” (QS. Al Waqi’ah  (56): 79)

Menurut mereka makna ayat  ‘Tidak ada yang menyentuhnya’ tidaklah tepat jika kata ganti (dhamir) hu pada kata yamassuhu (menyentuhnya) diartikan menyentuh Al Quran, tetapi yang tepat hu di situ adalah kitab Lauh Mahfuzh,  hal ini bisa diketahui ketika ayat tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya:

Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun (orang-orang yang disucikan). (QS. Al Waqi’ah (56): 77-79)

 

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menafsirkan ayat: tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun, yakni:

الكتاب الذي في السماء

“Kitab yang ada di langit.”

 

Al Muthahharun adalah malaikat. Ini juga pendapat  para sahabat dan tabi’in kenamaan seperti:  Anas, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubeir, Adh Dhahak, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zaid, Abu An Nahik, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam,  As Suddi,   dan lainnya.

 

Sedangkan jika dikaitkan dengan kitab yang ada di dunia , maka tidak boleh menyentuhnya dari golongan Majusi dan munafiq, karena mereka najis. Ini dikatakan oleh Qatadah.

 

Ibnu Zaid menceritakan bahwa kafir Quraisy menyangka Al Quran diturunkan  oleh golongan syetan, padahal tidak ada yang menyentuhnya kecuali al muthahharun. Sebagaimana firmanNya: Dan Al Quran itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan- syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al  Quran itu, dan merekapun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al Quran itu (QS. Asy Syu’ara 926): 210-212). Lalu Imam Ibnu Katsir mengomentari: “Perkataan  Ini adalah  perkataan yang bagus (jayyid) dan tidak keluar konteksnya dari perkataan-perkataan sebelumnya.”

(Lihat semua dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim-nya Imam Ibnu Katsir, 7/544. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

 

Sementara dalam Fathul Qadir disebutkan:

(Tidak ada yang menyentuhnya kecuali al muthahharun) Al Wahidi berkata: “Kebanyakan Ahli tafsir mengatakan bahwa dhamir (kata ganti) tersebut dikembalikan kepada kitabul maknun (lauh mahfuzh), jadi artinya tidak ada yang menyentuh lauh mahfuzh kecuali al muthahharun, mereka adalah malaikat. Ada juga yang mengatakan: malaikat dan para rasul dari Bani Adam. (Tidak ada yang menyentuhnya) yaitu menyentuh secara hakiki (sebenarnya). Ada yang mengatakan: tidak ada yang menurunkannya kecuali al muthahharun. Dikatakan; tidak ada yang membacanya. Ada yang mengartikan kitabul maknun adalah Al Quran, maka dikatakan (tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun) yakni orang yang suci dari hadats dan najis, demikian dikatakan Qatadah dan selainnya. Berkata Al Kalbi: “Orang-orang yang suci dari kesyirikan.” Berkata Rabi’ bin Anas: “Orang yang suci dari dosa dan kesalahan.” Berkata Muhammad bin Al Fadhl dan lainnya: (tidak ada yang menyentuhnya) yaitu tidak ada yang membacanya kecuali al muthahharun, yaitu orang-orang yang bertauhid. Berkata Al Fara’: tidak ada manfaat dan keberkahannya kecuali bagi al muthahharun, yaitu orang-orang beriman. Berkata Al Husein bin Al Fadhl: “Tidak ada yang tahu tafsir dan takwilnya kecuali orang yang disucikan oleh Allah dari syirik dan nifaq.” (Imam Asy Syaukani,  Fathul Qadir, 7/137. Mawqi’ Ruh Al Islam)

 

Syaikh Sayyid Sabiq juga ikut mengomentari ayat ini, katanya:

وأما قول الله سبحانه: (لا يمسه إلا المطهرون)   فالظاهر رجوع الضمير إلى الكتاب المكنون، وهو وهو اللوح المحفوظ، لانه الاقرب، والمطهرون الملائكة، فهو كقوله تعالى: (في صحف مكرمة، مرفوعة مطهرة، بأيدي سفرة، كرام بررة)  وذهب ابن عباس والشعبي والضحاك وزيد بن علي والمؤيد بالله وداود وابن حزم وحماد بن أبي سليمان: إلى أنه يجوز للمحدث حدثا أصغر من المصحف وأما القراءة له بدون مس فهي جائزة اتفاقا.

 

“Ada pun firman Allah Subhanahu: (Tidaklah menyentuhnya kecuali al muthahharun), maka menurut  lahiriyahnya, dhamir (kata ganti) mesti dikembalikan  al kitab al maknun , yaitu lauh mahfuzh, karena itu lebih dekat. Al Muthahharun adalah malaikat. Hal itu sebagaimana firmanNya: “ di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.”  Dan, menurut Ibnu Abbas, Asy Sya’bi, Adh Dhahak, Zaid bin Ali, Muayyid Billah, Daud, Ibnu Hazm, Hammad bin Abi Sulaiman: bahwa BOLEH bagi orang berhadats kecil menyentuh mushaf. Ada pun membacanya tanpa menyentuh,  adalah boleh menurut kesepakatan ulama.” (Fiqhus Sunnah, 1/57. Darul Kitab Al ‘Arabi)

 

Ada pun Imam Ibnu Hazm Rahimahullah, dengan gaya bahasanya yang tegas menolak jika ayat ini dijadikan dalil pengharamannya. Beliau berkata:

ا لاَ حُجَّةَ لَهُمْ فِيهِ لاَِنَّهُ لَيْسَ أَمْرًا وَإِنَّمَا هُوَ خَبَرٌ. وَاَللَّهُ تَعَالَى لاَ يَقُولُ إلاَّ حَقًّا. وَلاَ يَجُوزُ أَنْ يُصْرَفَ لَفْظُ الْخَبَرِ إلَى مَعْنَى الأَمْرِ إلاَّ بِنَصٍّ جَلِيٍّ أَوْ إجْمَاعٍ مُتَيَقَّنٍ. فَلَمَّا رَأَيْنَا الْمُصْحَفَ يَمَسُّهُ الطَّاهِرُ وَغَيْرُ الطَّاهِرِ عَلِمْنَا أَنَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَعْنِ الْمُصْحَفَ وَإِنَّمَا عَنَى كِتَابًا آخَرَ.

“Maka pada ayat ini, tidak terdapat  hujjah (alasan) bagi mereka (untuk mengharamkannya), sebab di dalamnya tidak ada perintah, yang ada hanyalah pemberitaan (khabar). Allah Ta’ala tidaklah berfirman kecuali yang benar. Dan, tidak boleh merubah lafaz khabar (berita) kepada makna amr (perintah) kecuali ada dalil yang jelas atau ijma’ yang meyakinkan. Maka, ketika kami melihat ada orang yang suci dan tidak suci menyentuh mushaf, maka tahulah kami bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidaklah memaksudkan itu adalah mushaf, melainkan itu adalah kitab yang lain.” (Al Muhalla, 1/83. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Maka, inilah pandangan mayoritas ahli tafsir  yang dimotori Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma    dan juga orang-orang utama dalam tafsir Al Quran pada masa tabi’in, seperti Said bin Jubeir, Mujahid, dan Adh Dhahak. Bahwa ayat itu sedang membicarakan Lauh Mahfuzh, dan al muthahharun adalah malaikat.

 

Tentang keunggulan tafsir Ibnu Abbas, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mendoakannya:

اللهم فقهه في الدين، وعلمه التأويل

“Ya Allah fahamkanlah dia ilmu agama dan ajarkanlah takwil (Al Quran) padanya.” (HR. Bukhari No. 75)

 

Tentang keunggulan tafsir Mujahid, maka Imam Sufyan Ats Tsauri mengatakan:

إذا جاءك التفسير عن مجاهد فحسبك به

“Jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid maka itu  cukuplah itu bagimu.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/10)

 

Kemudian ..

Apakah aplikasi Al Qur’an di HP adalah mushaf? Bukan, mushaf adalah lembar Al Qur’an murni, tidak ada teks lainnya.

Ada pun HP, bergonta ganti; kadang YouTube, WA, dll.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

ولا مانع من مس ما اشتملت عليه من آيات من القرآن كالرسائل وكتب التفسير والفقه وغيرها، فإن هذه لا تسمى مصحفا ولا تثبت لها حرمته.

“Tidak ada larangan bagi siapa pun yang menyentuh sesuatu yang memuat di dalamnya ayat-ayat Al Quran, seperti surat, buku tafsir, fiqih, dan lainnya, sebab hal ini tidaklah dinamakan dengan mushaf, dan tidak ada yang nash shahih yang mengharamkannya.” (Fiqhus Sunnah, 1/68. Darul Kitab Al ‘Arabi)

 

Tertulis dalam kitab Al Khulashah Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhabi Saadah Al Malikiyah:

وأما حمل التفسير ومسه والمطالعة فيه فلا يحرم للمحدث ولو كان جنبا لأنه لا يسمى مصحفا عرفا

“Ada pun membawa kitab tafsir dan menyentuhnya lalu mentelaahnya, tidaklah haram bagi orang berhadats walau pun junub, karena  menurut tradisi itu tidaklah dinamakan mushaf.” (Hal. 20. Maktabah Al Misykah)

 

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

هذه الجوالات التي وضع فيها القرآن كتابة أو تسجيلا ، لا تأخذ حكم المصحف ، فيجوز لمسها من غير طهارة ، ويجوز دخول الخلاء بها ، وذلك لأن كتابة القرآن في الجوال ليس ككتابته في المصاحف فهي ذبذبات تعرض ثم تزول وليست حروفا ثابتة

 

HP yg di dalamnya terdapat aplikasi Al Quran baik tulisan atau suara, tidaklah dihukumi sebagai mushaf. Maka, boleh menyentuhnya tanpa bersuci. Boleh pula masuk WC dgnnya. Hal disebabkan tulisan Al Qur’an di HP tidaklah seperti  di Mushaf. Keberadaannya hilang dan muncul, dia bukanlah huruf yg permanen. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 106961)

 

Demikian. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.