Pertanyaan
saya adalah istri kedua dan sudah dikarunia 1 org anak perempuan dan sekarang hubungan saya ini sudah diketahui oleh istri pertamanya, yang ingin saya tanyakan berdosakah jika istri pertama meminta agar suaminya memilih diantara kami berdua, dan apa yang seharusnya suami saya lakukan karna sebenarnya suami saya menginginkan keduanya karna alasan anak dan juga masih sayang dengan keduanya, dan juga apa yang harus saya lakukan dengan keadaan yang seperti ini.
Tujuan pernikahan untuk yang pertamakali, kedua, ketiga ataupun keempat adalah untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Tentu saja pensyariatan dibolehkannya poligami tersebut adalah untuk kemashlahatan manusia itu sendiri, selama pelaku poligami dilakukan dengan bertanggung jawab, memenuhi syarat keadilan dan kemampuan. Itulah sebabnya poligami itu merupakan solusi bukan pencipta masalah.
Poligami yang sehat tentu akan berdampak pada rumah tangga yang sehat pula. Memang secara syariat, seorang laki-laki tidak perlu izin dari istri pertama untuk menikah lagi, namun Islam mensyariatkan untuk selalu bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu hal yang penting, sesuai dengan firman Allah dalam surat As Syura ayat 38
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”
Mestinya seorang suami melibatkan istri pertama dalam pernikahannya yang kedua, dan hendaknya calon istri kedua meyakinkan diri dan keluarganya bahwa pernikahan yang akan dilangsungkan tersebut sudah atas sepengetahuan istri pertama. Jangan sampai terjadi pernikahan sirri yang tidak diketahui oleh istri pertama. Apalagi diliputi kebohongan-kebohongan. Inilah yang disebut sebagai Poligami Tidak Sehat. Bukankah rumah tangga yang akan dibangun ini ingin mewujudkan keluarga yang harmonis, yang kelak bersama-sama di dunia dan akhirat. Bukan rumah tangga yang dipenuhi dengan pertengkaran dan keributan, bahkan terjadinya kezaliman yang dilakukan baik oleh pihak suami atau pihak istri lainnya.
Apabila seorang suami sudah melakukan yang terbaik terhadap istri-istrinya, bertanggung jawab terhadap keluarga dan anak-anak dalam hal nafkah dan pendidikan mereka, berlaku adil dan tidak menzalimi istri-istrinya, mampu mengatasi permasalahan istri-istrinya dengan tenang dan bijak penuh ketakwaan dan takut pada Allah, maka istri-istrinya (baik yang pertama atau kedua) tidak dibenarkan menuntut suaminya untuk menceraikan istrinya yang lain.
Rasulullah saw melarang keras seseorang yang mengganggu keharmonisan rumah tangga, termasuk menyuruh suami menceraikan salah satu dari istri-istrinya, dengan bersabda :
مَنْ خَبَّبَ عَبْدًا عَلَى أَهْلِهِ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ أَفْسَدَ اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا“
“Siapa yang menipu dan merusak (hubungan) seorang budak dengan tuannya, maka mereka bukanlah bagian dari kami. Dan siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya, maka dia bukanlah bagian dari kami.” (HR: Ahmad, Ibnu Hibban, dan lain-lain)
Rasulullah saw juga mengecam keras, perempuan yang merebut hati suami orang lain sehingga menyebabkan rumah tangganya berantakan, sebagaimana sabda Nabi saw :
وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا ”
“Siapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia bukan bagian dariku.” HR. Ahmad No. 9157
Ancaman Keras juga berlaku bagi Suami yang Tidak berlaku Adil dalam Poligami. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻟَﻪُ ﺍﻣْﺮَﺃَﺗَﺎﻥِ ﻓَﻤَﺎﻝَ ﺇِﻟَﻰ ﺇِﺣْﺪَﺍﻫُﻤَﺎ ﺟَﺎﺀَ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﺷِﻘُّﻪُ ﻣَﺎﺋِﻞٌ .
“Barangsiapa memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan pundaknya miring sebelah.” (HR. Ashabus Sunan, dishahihkan oleh al-albani dan selainnya).
Dalam kasus yang anda alami, suami hendaknya melibatkan musyawarah keluarga besar, kepemimpinannya diuji, dia adalah qawwam dalam keluarganya. Bila niatnya berpoligami memang karena Allah, bukan hawanafsu yang berbalut “Sunnah”, tidak dipenuhi dengan kebohongan-kebohongan yang menghalalkan segala cara, tidak lari dari tanggung jawab, tentu dengan izin Allah dia bisa mengatasi kekisruhan rumah tangga ini dengan baik. Wallohu a’lam.