Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 57) Bab Mengusap Khuf

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: KH. Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

– Hadist 57

عَنْ ثَوْبَانَ رضي الله عنه قَالَ: ( بَعَثَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَرِيَّةً فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَمْسَحُوا عَلَى اَلْعَصَائِبِ – يَعْنِي اَلْعَمَائِمَ -وَالتَّسَاخِينِ- يَعْنِي اَلْخِفَافَ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم

                57- Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim pasukan lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka mengusap sorban dan khuf. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh al-Hakim.[1]

 

Derajat Hadis

Hadis ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi di dalam Talkhish-nya.

Abdul Hadi berkata di dalam al-Muharrar: Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abu Ya’la al-Maushili dan al-Hakim, ia berkata: Menurut syarat Muslim. Perkataannya ini perlu ditinjau, karena hadis ini dari riwayat Tsaur bin Zaid dari Rasyid bin Sa’ad dari Tsauban, sedangkan Muslim tidak meriwayatkan hadis Tsaur, tetapi hanya Bukhari yang meriwayatkan hadisnya. Rasyid bin Sa’ad sekalipun tidak dijadikan hujjah oleh Bukhari dan Muslim, tetapi dinilai terpercaya oleh Ibnu Ma’in, Abu Hatim, al-Ujali, Ya’qub bin Syaibah dan Nasa’I. Ibnu Hazm berbeda pendapat dengan mereka, tetapi kebenaran bersama mereka.

Al-Hafizh berkata di dalam ad-Dirayah, 1/82: Isnadnya terputus dan dilemahkan oleh al-Baihaqi. Bukhari berkata: Hadis yang tidak shahih.

 

Kosakata Dan Penjelasan

Sariyah: Pasukan, terdiri atas 5 sampai 400 personil. Dinamakan sariyah karena biasanya bergerak secara rahasia (as-suraa). Atau karena anggotanya diseleksi dari orang-orang pilihan (as-sariy) di dalam pasukan.

Al-Asha’ib: Sorban, dinamakan demikian karena digunakan untuk membalut kepala.

At-Tasakhin: Khuf, atau sarung kaki. Dinamakan demikian karena digunakan untuk menghangatkan kaki (taskhin lil-qadam).

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Disyari’atkannya pengiriman pasukan, tetapi dengan syarat tidak menjerumuskannya ke dalam kebinasaan: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (an-Nisa’: 29).

2-Boleh mengusap sorban, baik dalam safar (perjalanan) ataupun dalam kota (tidak dalam safar).

Apakah memiliki sejumlah syarat?

Para fuqaha mensyaratkan harus dipakai dalam keadaan suci, diqiyaskan kepada khuf, karena khuf harus dipakai dalam keadaan suci. Mereka berkata: Demikian pula sorban. Tetapi qiyas ini tidak benar, karena dua hal:

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan seseorang memakai sorban dalam keadaan suci, padahal jika menjadi syarat pasti sudah banyak riwayat yang menyebutkannya. Karena tidak ada nash maka kami katakan bahwa pada dasarnya tidak disyaratkan hal tersebut.

Kedua, dalam melakukan qiyas harus ada kesamaan antara cabang dan pokok, sedangkan di sini kesamaan itu tidak ada. Karena kaki dibasuh sedangkan kepala diusap. Maka mensucikan kepala telah dimudahkan dari asalnya yaitu diusap, jika telah dimudahkan dari asalnya maka tidak mungkin yang lebih mudah diqiyaskan kepada yang lebih sulit.

Apakah disyaratkan lama waktunya sehari semalam, atau boleh mengusap sorban selama dipakai?

Menurut sebagian madzhab, harus sehari semalam bagi orang yang mukim, dan tiga hari tiga malam bagi musafir. Tetapi qiyas ini tidak benar sebagaimana telah dijelaskan. Karena tidak ada hadis shahih maupun dha’if yang menentukan lama waktu untuk mengusap sorban sehari semalam atau tiga hari. Qiyas ini juga tidak sempurna karena adanya perbedaan antara pokok dan cabang. Karena itu, kami mengatakan: Pakailah sorban kapan saja Anda suka dan usaplah sorban kapan saja Anda suka.

Apakah disyaratkan harus sorban tertentu?

Tidak ada syarat tertentu, karena nash menyebutkan sorban secara mutlak.

Apakah boleh mengusap kopyah dan qutroh?

Tidak boleh, karena bukan sorban dan tidak ada kesulitan sedikitpun padanya. Tetapi hal yang bisa diqiyaskan kepada sorban yaitu kupluk atau kanebo yang dipakai menutupi kepala di musim dingin, bagian mukanya terbuka dan ada tali di leher. Ini tidak diragukan lagi boleh diusap, bahkan lebih layak diusap ketimbang sorban, karena ia bisa menimbulkan kesulitan pada seseorang bila dilepas.

Apakah boleh mengusap kepala yang dibaluri bahan yang lengket, madu dan sejenisnya?

Boleh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaluri kepalanya pada haji wada’. Ini menunjukkan bahwa mengusap apa yang di atas kepala termasuk perkara yang dimudahkan.

Sebagian wanita memakai perhiasan di kepalanya dan diikat atau dijalin dengan rambutnya, apakah perhiasan tersebut harus dilepas pada saat berwudhu’ atau boleh diusap?

Boleh mengusapnya, karena kesulitan melepasnya juga cukup berat, dan sebagaimana telah disebutkan bahwa mengusap kepala urusannya diringankan.

Apakah dua telinga wajib diusap bersama sorban?

Para fuqaha rahimahumullah berkata: Tidak wajib, tetapi mengusap apa yang keluar dari sorban dianjurkan, bukan wajib. Ini lebih berhati-hati.

Apakah boleh mengusap khuf (sarung kaki) yang berlubang dan tipis?

Boleh, selama masih bisa disebut khuf atau kaos kaki, karena nash-nash yang ada menyebutkannya secara mutlak, disamping konteksnya adalah konteks rukhshah dan memberi kemudahan, sehingga tidak selayaknya memperketat para hamba Allah pada sesuatu yang tidak ditegaskan syari’at Allah. Ini merupakan kaidah yang harus diperhatikan: Syarat apa pun yang Anda persyaratkan dalam suatu hukum berarti Anda mempersempit syari’at dan akan ditanyakan oleh Allah, karena Allah memudahkannya untuk para hamba-Nya lalu Anda menambahkan syarat yang tidak ada di dalam al-Quran dan Sunnah bahkan tidak ada di dalam qiyas yang benar.

3- [Mengajari pasukan, para duta, dan para musafir tentang hukum-hukum syari’ah yang mereka perlukan.]

[1] Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/277, Abu Dawud, 146, al-Hakim, 1/169, dishahihkan oleh Nawawi di dalam al-Majmu’, 1/408, tetapi Abdul Hadi menyisyaratkan di dalam al-Muharrar, 1/113, adanya keterputusan di dalam sanadnya. Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahih Abi Dawud, 133.