Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 45 & 46) Bab Wudhu

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

– Hadist 45

وَعَنْهُ قَالَ: كَانَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ اَلْمَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ. أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادِ ضَعِيف ٍ

-Darinya radhiyallau ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengalirkan air pada kedua sikunya. Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dengan isnad dha’if.[1]

Derajat Hadis

Hadis ini lemah, karena di dalam isnadnya terdapat al-Qasim bin Muhammad bin Uqail, ia ditinggalkan (hadisnya), dan dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dan lainnya. Sejumlah ahli hadis (al-Huffazh) seperti al-Mundziri, Ibnu Shalah, an-Nawawi dan lainnya, menyebutkan secara tegas kelemahan hadis ini.[2] Al-Hafizh berkata: Apa yang diriwayatkan Muslim cukup bisa menggantikan hadis ini, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu bahwa ia berwudhu’ hingga masuk ke bahu, ia berkata: Demikianlah saya pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berwudhu’.[3]

Pelajaran Hadis Ini

1-Hadis ini dicantumkan oleh pengarang (Ibnu Hajar al-Asqalani) untuk menjadi dalil bahwa membasuh kedua siku adalah wajib. Tetapi hadis ini lemah, sebagaimana dikatakan pengarang. Sebagai gantinya sebenarnya bisa dicantumkan hadis Abu Hurairah yang terdapat di dalam Shahih Muslim, “bahwa ia berwudhu’ lalu membasuh kedua lengannya hingga masuk ke kedua bahu”.

2-Terkadang sebuah hadis lemah sanadnya tetapi shahih matannya, atau shahih sanadnya tetapi lemah matannya, seperti terbalik matannya atau lainnya.

3-Wajib membasuh kedua siku, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengalirkan atau meratakan air ke kedua sikunya.

4-Allah berfirman: “…dan tanganmu sampai dengan siku”. (al-Maidah: 6). Jumhur ulama tafsir berkata: sesungguhnya huruf “ila” di dalam ayat ini bermakna “ma’a” yakni sampai dengan.

***

 

– Hadist 46

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليهوسلم لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اِسْمَ اَللَّهِ عَلَيْهِ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ,وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, بِإِسْنَادٍ ضَعِيف

46-Dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada wudhu’ bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya”. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dengan isnad yang lemah.[4]

وَلِلترْمِذِيِّ: عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْد وَأَبِي سَعِيدٍ نَحْوُه

قَالَ أَحْمَدُ: لَا يَثْبُتُ فِيهِ شَيْء

Dalam riwayat Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid[5] dan Abu Sa’id seperti itu juga.[6]

Ahmad berkata: “Dalam masalah ini tidak ada hadis yang shahih”.

 

Kosakata Dan Penjelasan

La wudhu’a: Tidak ada wudhu’. “Laa” menafikan jenis. Penafian ini berkisar diantara tiga hal: Menafikan keberadaan sesuatu, atau menafikan keabsahan sesuatu, atau menafikan kesempurnaan sesuatu.

Pada dasarnya penafian itu  menafikan keberadaan sesuatu. Jika tidak mungkin maka menafikan keabsahannya, karena menafikan keabsahannya sama dengan menafikan keberadaannya secara syar’i sekalipun ada secara kenyataan. Jika tidak mungkin menafikan keabsahannya maka kita kembali kepada menafikan kesempurnaan, dan ini yang paling rendah.

 

Derajat Hadis

[Hadis ini lemah, tetapi memiliki beberapa jalur sanad yang menjadikannya kuat.

Al-Hafizh berkata di dalam at-Talkhish: Ahmad berkata: Dalam masalah ini tidak ada hadis yang shahih, karena semua yang diriwayatkan dalam masalah ini tidak kat.

Al-Uqaili berkata: Berbagai sanad dalam bab ini ada kelembekan di dalamnya.

Ahmad berkata ketika ditanya tentang menyebut nama Allah dalam wudhu’: Saya tidak mengetahui ada hadis shahih dalam masalah ini.

Abu Hatim dan Abu Zar’ah berkata: Hadis ini tidak shahih.

Ibnu Hajar berkata: Kumpulan hadis-hadis ini menjadikannya kuat, yang menunjukkan bahwa ia memiliki dasar.

Asy-Syaukani berkata: Tidak diragukan bahwa jalur-jalur hadis ini bisa digunakan untuk berhujjah, dan telah dihasankan oleh Ibnu Shalah dan Ibnu Katsir.

Diantara ulama yang menshahihkan hadis ini adalah al-Mundziri, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, asy-Syaukan, Ahmad Syakir dan al-Albani. ]

Pelajaran Hadis Ini

1-Urgensi membaca basmalah karena ia sangat menentukan keabsahan wudhu’ atau kesempurnaan wudhu’. Tidak diragukan bahwa basmalah memiliki urgensi sehingga disebutkan dalam hadis: “Setiap perkara penting yang tidak diawali dengan nama Allah maka ia terputus”.[7] Hadis ini dipermasalahkan oleh para ahli hadis, tetapi Imam Nawawi menshahihkannya.

Dalil urgensi basmalah, jika Anda menyembelih kambing tanpa membaca basmalah maka kambing tersebut haram dimakan, seperti bangkai. Tetapi jika Anda membaca basmalah saat menyembelihnya maka ia halal.

Jika seseorang duduk memakan makanannya tanpa membaca basmalah maka setan ikut makan bersamanya. Jika ia membaca basmalah maka setan tidak ikut makan bersamanya. Jadi, basamalah menjadi penjaga seseorang dari setan, jka ia membacanya pada saat makan dan minum. Para ulama berbeda pendapat tentang wajib membaca basmalah pada saat makan atau minum. Sebagian mereka mengatakan wajib dan sebagian yang lain mengatakan sunnah. Pendapat yang benar bahwa seseorang wajib membaca basmalah jika hendak makan atau minum.[8]

2-Orang yang tidak membaca basmalah pada saat berwudhu’ tidak sah wudhu’nya, berdasarkan sabdanya, “tidak ada wudhu’ bagi orang yang tidak menyebut nama Allah padanya”, atau tidak sempurna wudhu’nya jika peniadaan (nafi) di sini meniadakan kesempurnaan (nafyun lil-kamal).

Apakah mandi, tayammum dan menghilangkan najis bisa diqiyaskan kepada wudhu’ dalam masalah ini (menyebut nama Allah padanya)?

Hal-hal tersebut tidak bisa diqiyaskan kepada wudhu’, karena mengqiyaskan masalah ibadah memerlukan dalil. Sekalipun demikian membaca basmalah ketika hendak mandi, tayammum dan menghilangkan najis lebih utama.

3-Menyebut nama Allah atau membaca bismillah ketika berwudhu’ adalah sunnah, bukan wajib, karena dua alasan berikut:

Pertama: Hadis ini diperselisihkan para ulama, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad: Tidak ada hadis yang shahih dalam masalah ini. Pada dasarnya adalah bara’at adz-dzimmah (bebas dari sesuatu hukum).[9] Kita tidak boleh mewajibkan sesuatu kepada hamba Allah kecuali dengan dalil. Seandainya hadis ini shahih dari Nabi niscaya kami katakan bahwa menyebut nama Allah dalam berwudhu’ itu adalah syarat sahnya wudhu’ dan orang yang meninggalkannya tidak sah wudhu’nya. Tetapi karena hadis ini lemah maka kami katakan: Lebih utama menyebut nama Allah ketika berwudhu’. Jika tidak menyebut nama Allah maka wudhu’nya tetap sah dan tidak berdosa.

Kedua: Semua orang yang menyebutkan sifat wudhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengajarkannya kepada manusia, seperti Utsman bin Affan radhiyallahu ‘nahu, saat mentidak menyebutkan masalah ini.

Pendapat ini merupakan pilihan al-Muwaffaq rahimahullah, salah seorang tokoh ulama madzhab Hanbali.

4- Jika seseorang berwudhu’ di dalam kamar mandi atau toilet, bagaimana ia menyebut nama Allah? Ia bisa menyebut nama Allah dengan hatinya, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ahmad tentang orang yang mendengar adzan ketika sedang kencing atau buang air besar. Imam Ahmad berkata: ‘Ia menjawab dengan hatinya dan tidak menyebut nama Allah dalam keadaan seperti itu’. Kepada orang tersebut kami katakan: Sebutlah nama Allah di hati Anda dan berwudhu’lah.

5- Keutamaan menyebut nama Allah dan bahwa hal tersebut memiliki pengaruh dalam meluruskan ibadah.

***

[1] Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni, 1/83, dan dishahihkan oleh al-Abani di dalam Shahih al-Jami’, 4698.

[2] Lihat: Mizan al-I’tidal, 4/299,dan at-Talkhish al-Habir, 56.

[3] Diriwayatkan oleh Muslim, 246.

[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 101, Ibnu Majah, 399, dan Ahmad, 9137, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 7573.

[5] Diriwayatkan oleh Tirmidzi, 25, dan dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi.

[6] Diriwayatkan oleh Tirmidzi, 25, dan dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Titmidzi.

[7] Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/359.

[8] Lihat: Zad al-Ma’ad, 2/397.

[9] Yakni tidak wajib, tidak haram, tidak sunat dan tidak makruh. Padanya berlaku hukum asli yaitu mubah. (penj)