Wanita yang Keputihan Bisa Sholat?

Pertanyaan  

Assalamualaikum wr wb ustadzah, saya mau tanya apakah keputihan itu najis atau tidak dan bisakah dibawa sholat?

Jawaban
Ustadzah Husna Hidayati, MHI

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Pada dasarnya, keputihan adalah hal yang normal pada wanita. Keputihan yang dialami kaum wanita dalam istilah fiqih Islam disebut dengan ifrazat, yaitu lendir atau cairan yang keluar dari organ reproduksi wanita selain madzi atau mani. Ulama yang berpendapat bahwa keputinan itu tidak najis adalah Imam Syafii, karena zatnya tidak sama dengan madzi yang bersifat najis. Beberapa kalangan Mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, ifrazat termasuk golongan najis. Hal ini diterangkan ulama Syafiiyah, asy-Syairazi dalam kitab al-Muhadzab dan kitab at-Tahdzib dan, serta ulama mazhab Hanbali, Qadhi Abu Ya’la. Menurut Abu Ya’la, cairan keputihan dekat kiasannya dengan madzi sedangkan madzi sendiri hukumnya najis.

Sementara, ulama Hanafiyah dan kelompok mazhab Syafiiyah yang lain memandang ifrazat tidaklah najis. Pendapat ini datang dari ulama-ulama Mazhab Syafii lainnya seperti lbnu Qudamah. Menurutnya, ulama yang memandang ifrazat sebagai najis karena keluar dari organ reproduksi wanita yang bukan sebagai unsur terciptanya seorang anak. Hal ini sama dengan darah haid dan nifas. Sementara, menurutnya, ifrazat bisa dikategorikan suci.

Cairan keputihan lebih dekat kiasannya dengan mani, bukan dengan darah haid atau nifas. Berdalil dari riwayat Aisyah RA yang pernah mengorek mani di baju Rasulullah SAW. “Aku mengerik mani itu dari baju Rasulullan SAW, terang Aisyah RA dalam hadis riwayat Muslim dan Nasai. Hal ini menandakan mani tidaklah najis, karena, yang namanya mengorek tidak akan bisa bersih sempurna. Adapun sisa-sisa dari mani yang mengering tersebut tetap dipakai Rasulullah SAW untuk shalat.

lbnu Qudamah mengatakan, mani yang ada di baju Nabi SAW tersebut adalah bekas hubungan badan, bukan mani dari mimpi basah. Karena, para nabi tidak mengalami mimpi basah. Jika cairan keputihan dihukum najis, sama halnya menghukum mani dengan najis pula. Mani tidaklah najis karena dia adalah unsur terciptanya manusia. Tidak mungkin mengatakan manusia berasal dari najis. Rasulullah SAW pun pernah melakukan shalat dengan pakaian yang terkena mani. Ulama Syafiiyah lainnya, Imam Nawawi, menerangkan akar masalah perselisihan para ulama soal cairan keputihan ini.

Para ulama memperselisihkan sifatnya, apakah disamakan dengan madzi dan irq (cairan kemaluan) atau dengan mani. Perbedaan jenis ifrazat ini mempengaruhi hukumnya. Asy Syairazi bersikukuh menyebutnya najis karena lebih dekat jenisnya dengan madzi. Sementara, Baghawi dan ar-Rafii berpendapat ifrazat adalah suci. Namun, pendapat Imam Syafii sendiri yang paling masyhur mengatakan status ifrazat adalah suci. Demikian disebutkan al-Hawi dalam Al-Majmu’ (2/570).

Ulama Mesir, Syekh Musthofa al-Adawi mengatakan, tidak ada dalil yang sharih (jelas dan tegas) soal hukum ifrazat. Apakah cairan keputihan tersebut najis atau suci, tidak ditemui hadis-hadis yang secara tegas menghukuminya sebagai najis. Cairan keputihan yang keluar dari organ reproduksi wanita adalah hal yang wajar terjadi, bahkan pada masa silam. Kendati demikian, tidak ada sahabiyah yang menanyakan hukum ifrazat ini kepada Rasulullah SAW, padahal mereka nanya memiliki satu pakaian.

Jika ifrazat tersebut najis, tentulah Rasulullah SAW akan mengingatkan kaum wanita. Jadi, lebih baik dikembalikan kepada hukum asalnya, yaitu suci. Segala sesuatu hukum asalnya adalah suci. Jadi, keputihan yang ada di organ reproduksi wanita statusnya suci. Demikian disebutkan dalam Jamiul Ahkam An-Nisa (Kumpulan Hukum-Hukum Soal Wanita) (1/66). Keputihan (ifrazat) adalah lendir yang umumnya bening, keluar dari organ reproduksi wanita, namun bukan madzi dan mani. Baik karena syahwat maupun ketika aktivitas normal. Baik yang bersifat normal maupun karena penyakit. Para ulama menjelaskan hukum keputihan (ifrazat) sebagaimana ruthubah (lendir yang selalu membasahi organ reproduksi wanita).

Berikut adalah pendapat dari Imam an-Nawawi – ulama syafiiyah -,

Keputihan yang keluar dari farji bentuk cairan putih. Diperselisihkan sifatnya, antara disamakan dengan madzi dan al-irq (cairan vagina). Karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Kemudian, penulis (as-Saerozi) dalam kitab al-Muhadzab ini dan kitab at-Tahbih, keputihan hukumnya najis. Ini juga pendapat yang dipilin al-Bandaniji. Sementara al-Baghawi dan ar-Rafii serta yang lainnya berpendapat bahwa yang benar adalah SUCI.

Penulis kitab al-Hawi mengatakan, Imam as-Syafii menegaskan dalam sebagian kitab-kitabnya bahwa keputihan wanita statusnya suci. (al-Majmu’, 2/570). Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa keputihan adalah suci, sebab tidak ada dalil khusus yang menyatakan itu najis. Dan ini pendapat mayoritas ulama.

Pendapat mayoritas ulama menyatakan wudhu batal karena keluar keputihan, walau keputihan itu suci. Hal ini sama seperti air mani, walau suci, tetaplah membatalkan wudhu dan shalat. Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

أنها ناقضة للوضوء، وهذا مذهب الجمهور، واستعدلوا بأن النبي -صلى الله عليه وسلم- أمر المستحاضة أن تتوضأ لكل صلاة، وتلك الرطوبة أو السوائل ملحقة بالاستحاضة

Hal itu membatalkan wudhu, inilah mazhab jumhur, mereka berdalil karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita yang sedang istihadhah untuk berwudhu setiap akan salat. Sedangkan keputihan akan ikut keluar bersamaan dengan istihadhah.” (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 44980).

Sementara ulama lain, seperti Imam lbnu Hazm mengatakan tidak batal. Juga salah satu pendapat Imam Ibnu Taimiyah. (Al Ikhtiyarat, Hal. 27), walau dalam kitab lain dia menyatakan tidak batal. (Majmu Al Fatawa, 21/221). Jadi, jika dalam keadaan normal dan wajar sebagaimana umumnya keputihan itu membatalkan wudhu dan salat, maka wajar jika ada yang melarangnya menjadi imam.

Bagaimana jika sudah jadi penyakit? Ada wanita tertentu yang keputihannya tidak wajar. Sangat banyak dan keluar terus menerus, yang disebabkan sakit. Maka, ini kondisi masyaqqat (kesulitan) baginya, baginya boleh menjamak salat. Zuhur dan Ashar, Maghrib dan isya. Jika memang sulit wudhu tiap salat. Tapi, jika dia tidak kesulitan maka dia wajib salat pada waktunya masing-masing. (Liqa Asy Syahriy, 2/212). Wallaahu alam.