Pertanyaan
Assalamualaikum Ustadzah…
1. Apa hukumnya istri ambil uang yang menurut istri adalah hak istri, jadi suami telah menggadaikan motor yang telah diisi bbm oleh istri, motor yang digadaikan adalah harta istri dari hasil kerja, ketika menggadaikan juga tanpa sepengetahuan istri, apa hukumnya bila istri ambil uang suami yang ada sesuai nilai bbm tanpa sepengetahuan suami?
2. Apakah harta yang diperoleh istri akan menjadi hak suami apabila terjadi perceraian, (harta tersebut masih belum lunas).
1. Adalah Hindun, istri dari Abu Sufyan pernah mengadu dan bertanya kepada Nabi tentang sifat kikir suaminya yang menyimpang uangnya. Karena Hindun membutuhkan uang tersebut untuknya dan anaknya, ia pun kemudian mengambil uang dari suaminya sebagaimana yang diceritakan dalam hadis riwayat Bukhari yang artinya:
Dari ‘Aisyah Ra, ia berkata, “Hindun Binti ‘Utbah, isteri Abu Sufyan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit (kikir), ia tidak memberikan nafkah kepadaku yang tidak mencukupi (kebutuhanku) dan anakku kecuali (dari) apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena hal itu.?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ambillah dari hartanya dengan ‘ma’ruf’ (semestinya) apa yang cukup buatmu dan anakmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadis di atas, begitu juga yang disampaikan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari, bahwa diperbolehkan untuk mengambil uang dari suaminya tanpa sepengetahuan suaminya. Akan tetapi, yang perlu digaris bawahi adalah keperluan yang dimaksud oleh istri dalam kaitannya dengan kebutuhan sehari-hari.
Kebolehan ini hanya bersifat pada kebutuhan primer yang menjadi kebutuhan pokok dan sifatnya urgen. Oleh sebab itu, redaksi hadis di atas menyebutkan “yang mencukupimu dan anakmu sebagaimana mestinya (ma’ruf)”. Konteks ini juga berlaku pada penyebutan kata syahih yang berarti kikir atau sangat pelit, yang itu berarti bukan karena bertujuan menabung. Jika seorang istri sudah diberikan uang belanja sebagaimana mestinya, dan itu cukup, akan tetapi ia ingin membeli kebutuhan yang lain, yang itu sifatnya tersier seperti make up, baju baru, perhiasan, mobil, dan lain-lain maka hadis ini tidak bisa menjadi pembenaran atas perbuatan tersebut.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai secara penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan kekuasaan penuh tetap ada padanya. Konsep harta bersama ini ternyata juga diakui oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974, serta KUH Perdata. Islam membagi harta menjadi 2 bagian :
1. Harta pribadi, yaitu harta yang dimiliki masing-masing baik suami maupun istri. Harta ini sepenuhnya dimiliki suami ataupun istri, tidak boleh antara keduanya merasa memiliki harta yang dimiliki pasangannya. Harta itu tetap menjadi hak milik masing-masing. Contoh : Harta milik suami yang didapatkan dari hasil kerjanya, maka harus dipisah harta suami pribadi dan nafkah untuk istri dan keluarga. Harta suami yang merupakan warisan orang tuanya, maka itu menjadi milik suami sepenuhnya. Harta milik istri yang didapatkan dari suami sebagai nafkah untuknya, maka itu menjadi milik istri. Mahar suami kepada istrinya, maka itu menjadi milik istri. Harta istri yang merupakan warisan orang tuanya ataupun harta yang didapatkan dari hasil usahanya sendiri, maka itu menjadi milik istri. Dan lain-lain.
2. Harta milik bersama, yaitu harta yang dimiliki oleh pasangan suami istri dari hasil usaha bersama atau usaha masing-masing yang kemudian digabung kepemilikannya dan tidak dipisah, maka harta seperti ini menjadi milik bersama dan inilah yang sering terjadi di Indonesia. Ketika terjadi perceraian antara pasangan suami istri, maka harta yang menjadi milik pribadi, kepemilikannya tetap menjadi milik pribadi baik suami maupun istri. Adapun harta yang menjadi milik bersama antara suami dan istri, maka bisa diselesaikan dengan perdamaian (ash-Shulh) antara suami dan istri sesuai dengan kesepakatan keduanya. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya bersifat kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [An-Nisa’/4:128]
Kemudian Sabda Rasûlullah SAW, “Ash-Shulh (Perdamaian) itu boleh diantara kaum Muslimin, kecuali perdamaian (yang) menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” [HR. Abu Dawud, no. 3594; At-Tirmidzi, no. 1352; Ibnu Mâjah, no. 1905, dan Syaikh al-Albani menilai hadits ini Shahih].
Apabila tidak dapat diselesaikan dengan jalan damai, maka diselesaikan dengan cara menyerahkan permasahan tersebut kepada Hakim. Hakim yang memutuskan setelah melihat bukti-bukti yang dipaparkan oleh kedua belah pihak, baik suami maupun istri dengan keputusan yang adil, tidak harus dengan pembagian 50% – 50%. Tetapi, berdasarkan pengakuan dari suami ataupun istri dan juga bukti-bukti yang disampaikan oleh keduanya.
Adapun pembagian harta berupa rumah/kendaraan yang masih dalam proses kredit saat bercerai harus melihat beberapa hal eebagai pertimbangan, seperti : Uang siapa yang dulu
digunakan untuk membayar uang muka ketika pengambilan rumah / kendaraan tersebut, uang pribadi (suami atau istri) atau uang bersama? Ketika membayar angsuran selama beberapa tahun menggunakan uang bersama atau uang pribadi. Jika pembayaran uang muka untuk pengambilan rumah tersebut menggunakan uang pribadi (suami) dan pengangsurannya selama beberapa tahun juga menggunakan uang pribadinya, maka rumah / kendaraan tersebut statusnya menjadi milik suami sepenuhnya. Begitu pula sebaliknya, ketika pengambilannya menggunakan uang pribadi (istri) dan pengangsurannya selama beberapa tahun menggunakan uang pribadi (istri), maka rumah tersebut statusnya menjadi milik istri sepenuhnya. Adapun jika pembayaran uang muka dan angsurannya selama beberapa tahun menggunakan uang bersama, maka jalan pertama untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengadakan ash-shulh atau perdamaian antara kedua belah pihak (suami dan istri). Yaitu dengan mengembalikan kepada suami ataupun istri uang mereka masing-masing dengan perkiraan berapa jumlah uang suami dan berapa jumlah uang istri ketika digunakan untuk membayar uang muka ataupun angsurannya. Kemudian hendaknya keduanya saling ridha dan lapang dada menerima kelebihan ataupun kekurangan biaya tersebut. Jika jalan perdamaian tidak dapat menemukan titik temu antar kedua belah pihak, maka jalan kedua yang harus ditempuh adalah al-Qadha’.
Yaitu, menyerahkan sepenuhnya kepada Hakim agar menyelesaikan masalah tersebut dengan meninjau bukti-bukti yang ada dan melihat mana yang paling baik untuk keduanya. Wallaahu a’lam.