Bernazar Untuk Sesuatu Yang Allah Benci

Pertanyaan  

Apa bila ada ibu mertua bernazar agar kita berpisah dengan anaknya bagaimana hukumnya?

Jawaban
Ustadzah Husna Hidayati, M.Hi

Secara harfiah, nazar berarti “mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.”

Nazar merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Melalui nazar seseorang itu mewajibkan ke atas dirinya suatu kebajikan dengan kerelaan hati serta niat yang ikhlas semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pada dasarnya, perkara yang dinazarkan ialah perkara-perkara yang disunatkan oleh syariat seperti berpuasa sunat, bersedekah, menunaikan umrah dan sebagainya. Nazar seperti ini wajib ditunaikan. Jika ditunaikan, maka orang yang bernazar akan mendapat pahala. Allah Taala berfirman,

“Mereka (orang-orang yang baik) menunaikan nazar dan merasa takut akan suatu hari di mana ketika itu azab merata di mana-mana.” (QS. Al Insaan: 7)

Di dalam ayat di atas Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barang siapa yang bernazar untuk melakukan ketaatan maka hendaklah dia laksanakan ketaatan itu kepada-Nya.” (HR. Bukhori)

Asfahani rahimahullah dalam ‘Mufrodat Alfadul Qur’an, hal. 797 mengatakan,”Nazar adalah mewajibkan yang tidak wajib kepada diri anda karena terjadi suatu peristiwa. Allah ta’ala berfirman:

إني نذرت للرحمن صوما( (مريم/ 26

“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah.” QS. Maryam: 26.

Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa yang bernazar ketaatan kepada Allah, hendaknya dia melakukan ketaatannya. Dan siapa yang bernazar melakukan kemaksiatan, maka jangan melakukan kemaksiatannya. (HR. Bukhori, 6202)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa (33/49) mengatakan, “Apabila seseorang bernazar untuk melakukan ketaatan karena Allah, maka dia harus menunaikannya. Akan tetapi kalau tidak menunaikan nazar karena Allah, maka dia harus menebus dengan tebusan sumpah /kafarat menurut mayoritas ulama salaf.

Adapula Nazar yang tidak boleh ditepati dan ada kaffarah (tebusan) sumpah. Yang termasuk bentuk nazar ini adalah Nazar kemaksiatan: yaitu semua bentuk nazar di dalamnya ada kemaksiatan kepada Allah seperti bernazar memberi minyak dan penerang di kuburan atau menginfakan untuknya. Atau bernazar mengunjungi kuil atau tempat-tempat kesyirikan. Hal ini menyerupai bernazar untuk patung dari beberapa sisi. Begitu juga kalau bernazar melakukan salah satu kemaksiatan seperti berzina, minum khomr, mencuri, memakan harta anak yatim atau mengingkari kepemilikan yang sah dari seseorang atau memutus kekerabatan sehingga dia tidak menyambung kerabat si fulan atau tidak masuk ke rumahnya tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat. Semuanya ini tidak diperbolehkan menunaikannya secara tegas. Bahkan seharusnya dia menebus nazarnya dengan tebusan sumpah. Dalil tidak diperbolehkan menunaikannya (nazar) dalam bentuk ini adalah hadits Aisyah radhiallahu anha dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa yang bernazar mentaati Allah, maka hendaknya dia lakukan. Dan siapa yang bernazar bermaksiat kepadanya, maka jangan melakukannya.” HR. Bukhori.

Dari Imron bin Husain sesungguhnya Rasulullah sallallahu alai wa sallam berbda:

لا وفاء لنذر في معصية( (رواه مسلم 3099

“Tidak boleh menunaikan nazar dalam kemaksiatan. “ (HR. Muslim, 3099.)

Semua Nazar yang diucapkan seorang muslim namun berkontradiksi / bertentangan dengan Nash/aturan syariat, maka dia harus berhenti tidak boleh menunaikan nazarnya dan mengganti dengan tebusan (kaffarah) sumpah. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan Bukhori rahimahullah dari Ziyad bin Jubair berkata:

“Saya bersama dengan Ibnu Umar dan ada seseorang bertanya kepadanya seraya mengatakan, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu selama saya masih hidup. Ternyata hari itu bertepatan dengan hari nahr (hari raya idul adha) maka beliau menjawab, “Allah telah memerintahkan untuk memenuhi nazar dan melarang kita berpuasa pada hari nahr (Hari raya idul adha). Dia mengulanginya dan beliau mengatakan yang sama tanpa ada tambahan.( Shohih Bukhori, 6212.)

Diriwayatkan Imam Ahmad dari Ziyad bin Jubair berkata, seseorang bertanya kepada Ibnu Umar ketika beliau berjalan di Mina. Seraya berkata, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu. Bertepatan hari ini dengan hari nahr (hari raya idul adha) apa pendapat anda?. maka beliau menjawab, “Allah Ta’ala memerintahkan untuk memenuhi nazar dan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarang atau mengatakan kita dilarang berpuasa pada hari nahr. Berkata, seseorang itu menyangka beliau tidak mendengar. Maka dia mengatakan, “Saya bernazar berpuasa setiap hari selasa atau rabu. Bertepatan harinya dengan hari nahr. Maka beliau menjawab, “Allah memerintahkan untuk memenuhi nazar sementara Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarang kita atau kita dilarang berpuasa pada hari nahr. Berkata, beliau tidak menambah dari hal itu sampai bersandar ke gunung. Hafid Ibnu Hajar berkata, “Telah ada ijma’ bahwa tidak diperbolehkan berpuasa baik sunah maupun nazar pada hari raya idul firti juga hari raya idul adha.

Ditinjau dari hukum bernazar, ia dapat dibagi menjadi;
1.Nazar taat dan ibadah, ini wajib ditunaikan dan bila dilanggar harus membayar kaffarah
(tebusan).
2.Nazar mubah, yaitu bernazar untuk melakukan suatu perkara yang mubah/diperbolehkan dan bukan ibadah maka boleh memilih melaksanakannya atau membayar kaffarah.
3.Nazar maksiat, nazarnya sah tapi tidak boleh dilaksanakan dan harus membayar kaffarah.
4.Nazar makruh, yaitu bernazar untuk melakukan perkara yang makruh maka memilih antara melaksanakannya atau membayar kaffarah.
5.Nazar syirik, yaitu yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah maka nazarnya tidak sah dan tidak ada kaffarah, akan tetapi harus bertaubat karena dia telah berbuat syirik akbar (lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid karangan Ustadz Abu Isa hal. 82).

Dalam kasus ibu mertua yg bernadzar untuk memisahkan anak dg suaminya maka perlu dilihat apakah alasan sang ibu ingin memisahkan keduanya dapat diterima secara syar’iy atau sesuai hukum syariat Allah atau tidak. Jika alasan pemisahan keduanya tidak sesuai dg hukum syariat, maka termasuk nadzar maksiyat yg dilarang dan tidak boleh dilaksanakan. Wallaahum a’lam.