Pertanyaan
Jika anak perempuan saya telah bercerai dengan suaminya dan telah berpulang kerumah saya, apakah anak perempuan saya menjadi tanggung jawab saya kembali. Dan jika anak perempuan saya sudah memiliki anak dan anaknya tinggal dirumah saya.
Apakah cucu saya itu menjadi tanggung jawab saya juga. Terima kasih, Wassalamualaikum
lbu nur kholifah yg dimuliakan Allah, tentang nafkah yg harus ditanggung orangtua, lbnul Mundzir mengatakan, “Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki / orangtua wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta.”
Dalam hadits sahih riwayat lbnu Hibban disebutkan demikian:
“Dari Abi Hurairah RA mengatakan, “Datang seorang laki-laki kepada Nabi seraya bertanya: Wahai Rasulullah saya mempunyai dinar?” Rasul menjawab, ‘Buatlah nafkah untuk dirimu’. Ia mengatakan saya mempunyai yang lain? Rasul menjawab, ‘Buatlah untuk nafkah anakmu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Dia mengatakan, ‘Buatlah untuk nafkah keluargamu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Rasul menjawab, ‘Buatlah untuk nafkah pembantumu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Rasul menjawab, ‘Anda lebih mengetahui.’ (HR lbnu Hibban).
Ada beberapa hal yang dibahas lebih detail, terkait sampai kapan anak itu mendapatkan nafkah dari orang tuanya, bagaimana jika anak itu miskin, apakah sama antara laki-laki dan perempuan? ada dua batasan untuk keadaan anak terkait wajib tidaknya nafkah dari orang tuanya.
Batasan pertama, usia, apakah anak sudah baligh ataukah belum? Batasan kedua, harta, apakah anak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya ataukah tidak memiliki harta, sehingga masih bergantung kepada orang lain? Dari dua batasan ini, kata dia, kita bisa mengelompokkan anak menjadi empat kategori berikut ini:
1. Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta
2. Anak yang belum baligh dan memiliki harta
3. Anak yang sudah baligh dan memiliki harta
4. Anak yang sudah baligh dan tidak memiliki harta
Dari empat katagori itu, masing-masing memiliki hukum yang berbeda terkait kewajiban nafkah orang tua kepada anaknya. Pertama, anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta.
“Mayoritas ulama berpendapat bahwa memberi nafkah anak yang belum baligh hukumnya wajib atas orangtua yang mampu,” katanya.
Imam lbnul Mundzir (w 319 H), mengatakan bahwa, para ulama telah sepakat bahwa nafkah anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta ditanggung oleh ayahnya. lbnul Mundzir mengatakan ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta.
Imam az-Zailaghi (w 743 H) menyebutkan: “Wajib memberi nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya yang kecil dan fakir.
Pembatasan masih kecil dan fakir ini maksudnya jika anak itu meski masih kecil atau sudah besar tapi kaya maka tak wajib dinafkahi. Seorang anak laki-laki yang sudah baligh, dia sehat maka bapaknya tak wajib memberinya nafkah, juga tak wajib kepada kerabat yang lain. Kedua dan ketiga, anak belum baligh atau sudah baligh yang memiliki harta.
Sebagaimana Imam ad-Dusuqi al-Maliki menyebutkan: “Waktu selesainya kewajiban membari nafkah adalah ketika sudah baligh, dengan syarat anak tersebut tidak gila dan lumpuh.”
Para ulama menegaskan, apabila anak memiliki harta yang cukup untuk menutupi seluruh kebutuhannya, maka ayahnya tidak wajib menanggung nafkahnya.
As-Shan’ani juga mengatakan, “Jika mereka memiliki harta, maka tidak ada kewajiban nafkah atas ayahnya.” (Subulus Salam, 2/325).
Jadi, jika anak itu memiliki harta, orangtua tak wajib menafkahi anaknya. Namun, jika masih tetap diberi nafkah, itu juga bagus.
Keempat, anak sudah baligh yang miskin /tidak memiliki harta. Tentu banyak di antara kita yang secara umur sudah baligh, tapi tidak punya harta dan tak berpenghasilan. Untuk ini ada beberapa pendapat,
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban nafkah hanya sampai usia baligh untuk anak laki-laki dan sampai nikah untuk anak perempuan.
As-Shan’ani menuliskan: ”Sementara mayoritas ulama berpendapat, bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada anak itu sampai usia baligh atau sampai menikah bagi anak perempuan. Kemudian setelah itu, tidak ada tanggungan kewajiban nafkah atas bapak, kecuali jika anaknya sakit-sakitan.” (Subulus Salam, 2/325).
2. Orang tua tetap wajib memberikan nafkah kepada anaknya yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, meskipun sudah baligh.
Di antara ulama yang memilih pendapat ini adalah al-Mardawi. Dalam kitabnya allnshaf beliau menyebutkan. “Termasuk yang wajib dinafkahi seseorang adalah bapaknya, kakeknya dan seterusnya ke atas. Serta anaknya, cucunya dan seterusnya ke bawah. Kemudian beliau menjelaskan, yang dimaksud ‘anaknya, cucunya dan seterusnya ke bawah’ mencakup anaknya yang sudah besar (baligh), yang sehat, kuat, jika mereka fakir (tidak memiliki harta dan pekerjaan). Lnilah pendapat yang kuat.”
Hal ini berbeda jika ternyata anak yang sudah baligh tersebut sibuk mencari ilmu sampai tak ada waktu untuk menghasilkan uang sendiri. Maka orang tua tetap wajib memberikan nafkah kepada anak tersebut.
Disebutkan dalam kitab Hasyiyah alBaijuri. “Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja.”
Ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syariat dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika dia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan seperti ini dia tetap wajib untuk dinafkahi.
Wahbah az-Zuhaili meringkas pendapat itu sebagai berikut: Kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa kerabat yang berhak mendapatkan nafkah hanya pada hubungan orang tua dan anak (al-walid wa al-walad). Syafi’iyyah berpendapat bahwa nafkah diberikan kepada hubungan orang tua dan anak serta cucu dan kakek (ushul dan furu).
Adapun Hanifiyyah berpendapat, yang mendapat nafkah karena kerabat bukan saja ushul dan furu’ akan tetapi juga pada jalur ke samping (hawasyi) dan dzawi alarham. Sedangkan Hanabilah berpendapat lebih umum lagi asalkan pada jalur nasab.
Untuk pertanyaan siapakah yg berkewajiban menanggung nafkah anak (dalam hal ini cucu ibu nurkholifah) setelah terjadi perceraian, Ketika terjadi perceraian dan masa iddah sudah selesai, wanita yang dulunya menjadi istri, kini berubah status menjadi mantan istri. Tali pernikahan sudah putus, bukan lagi suami-istri. Sehingga dia tidak wajib dinafkahi oleh mantan suaminya. Namun hak nafkah bagi anak, tidak putus, sehingga ayah tetap berkewajiban menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun anak itu tinggal bersama mantan istrinya.
Imam lbnul Mundzir mengatakan Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta. Karena anak seseorang adalah darah dagingnya, dia bagian dari orang tuanya. Sebagaimana dia berkewajiban memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya, dia juga berkewajiban memberi nafkah untuk darah dagingnya. (al-Mughni, 8/171 ).
Namun jika mantan suami tidak memberi nafkah kepada anaknya karena sesuatu dan lain hal, maka kewajiban menafkahi dikembalikan lgi pada orang terdekatnya seperti yang sudah dibahas diatas sebelumnya. Wallahuu a’lam.