Pentingnya Tafaqquh Fiddin

KH. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc.

وَمَا  كَا نَ  الْمُؤْمِنُوْنَ  لِيَنْفِرُوْا  كَآ فَّةً   ۗ فَلَوْلَا  نَفَرَ  مِنْ كُلِّ  فِرْقَةٍ  مِّنْهُمْ  طَآئِفَةٌ  لِّيَـتَفَقَّهُوْا  فِى  الدِّيْنِ  وَ  لِيُنْذِرُوْا  قَوْمَهُمْ  اِذَا  رَجَعُوْۤا  اِلَيْهِمْ  لَعَلَّهُمْ  يَحْذَرُوْنَ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.”
(QS. At-Taubah: 122)

* Ayat ini mengingatkan pentingnya tafaqquh fiddin (memperdalam pengetahuan agama).

• Agama Islam sangat luas dan dalam. Untuk bisa memahaminya dengan benar diperlukan seperangkat ilmu seperti ilmu yang berkaitan dengan dasar-dasar pemahaman (ushul fiqh), dasar-dasar tafsir (ushul tafsir), ilmu hadis dan banyak lagi yang lainnya.

• Bahasa Arab hanya salah satu perangkat ilmu yang diperlukan untuk memahami al-Quran dan hadis, karena al-Quran dan hadis berbahasa Arab. Tetapi hanya bermodalkan bahasa Arab saja tidak cukup untuk bisa memahami al-Quran dan hadis dengan benar. Ada ilmu-ilmu lain yang juga harus dikuasai.

• Bahkan setelah menguasai berbagai ilmu untuk memperdalam pengetahuan Islam pun tidak lantas terpenuhi syaratnya untuk bisa memahami Islam. Ada syarat tambahan yang tidak kalah pentingnya. Yaitu harus menjaga keikhlasan dan ketakwaan agar dalam memahami dan menyampaikan ajaran Islam tidak dipengaruhi oleh niat tidak baik untuk menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah (al-Baqarah: 41) dan demi menyenangkan penguasa atau demi kepentingan hawa nafsu.

• Orang yang tidak punya cukup modal untuk berbicara tentang ajaran Islam pasti akan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyimpang bahkan sesat menyesatkan.

• Karena itu, sebaiknya para mubaligh dan penceramah menyadari kapasitas ilmunya tentang Islam dan membatasi ceramah atau kajiannya sesuai kapasitas dirinya. Tidak memasuki hal-hal yang tidak dikuasainya. Para Imam madzhab saja tidak merasa malu untuk mengatakan “tidak tahu” atas pertanyaan-pertanyaan yang belum diketahui jawabannya.

• Agar kasus-kasus ceramah menyimpang tidak terulang lagi di masa depan, sebaiknya para penceramah, khususnya yang sudah “viral”, berhati-hati dalam menyampaikan ceramahnya dan terus meningkatkan kapasitas keilmuannya. Tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki, tetapi harus terus belajar dan belajar. Minimal antara mengajar dan belajar harus sama intensitasnya. Firman Allah:

وَلَٰكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

“…tetapi (dia berkata), Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (QS. Ali ‘Imran: 79)

• Ayat ini mengisyaratkan, pengajar yang baik adalah pengajar yang terus belajar. Kata hikmah mengingatkan bahwa orang yang tidak punya apa-apa tidak bisa memberi.

* Tulisan ini terinspirasi kasus ceramah kontroversial yang memunculkan berbagai pernyataan menyimpang tentang Islam.