Aku Memilih Setia

Memilih Setia

Oleh : Ustadz Arwani Amin, LC, MA.

  1. Puncak Kehormatan

Kalau pernikahan ibarat wajah, maka kesetiaan adalah kecantikannya. Dan kalau cinta itu laksana awan, maka kesetiaan adalah hujan rintiknya. Ya, bangunan keluarga yang dipagari dengan dinding kesetiaan, ia akan selalu kokoh. Sungguh…! Kesetiaan merupakan akhlak dasar seorang mukmin. Sebaliknya, mengkhianati janji dan menciderai jasa baik adalah ciri utama orang munafik. “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan paling bawah dari neraka” (Qs. An-Nisa/4: 145).

Di dalam kesetiaan, terbentang kesabaran. Di dalam kesetiaan, terukir ornamen pengorbaan tiada henti. Dan di dalam kesetiaan, ada pengakuan jasa baik, ada kelapangan dada untuk memaafkan, dan ada semangat yang selalu membara untuk membahagiakan. Si pemburu nafsu mengira bahwa kesetiaan itu pahit, padahal sejatinya kesetiaan itu manis, bahkan sangat manis dan teramat nikmat. Kesetiaan adalah puncak kehormatan yang menjadi medan pendakian orang-orang yang berjiwa besar dan berbudi luhur.

Terimalah suamimu… dan cintailah istrimu apa adanya. Mungkin saja ada sebagian sikapnya yang membuatmu tidak berkenan. Tapi Engkau perlu menyadari bahwa banyak sikapnya yang membuatmu bahagia. Maka dari itu, peganglah erat-erat sabda rasulullah saw berikut:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقاً رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang suami beriman membenci istri beriman. Jika ia tidak menyukai satu perangai darinya, maka ia menyukai perangainya yang lain” (Hr. Muslim)[1]

Teramat indah, Allah  swt melukiskan kesetiaan istri yang shalihah melalui firmanNya:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Permpuan-perempuan shalihah adalah mereka yang taat dan menjaga diri saat kepergian suami, karena dijaga oleh Allah” (Qs. An-nisa/4: 34).

Itulah kesetiaan istri shalihah. Ia taat kepada Tuhannya, ia patuhi suaminya dan ia jaga kehormatan diri dan amanah suaminya. Ia dijaga oleh Allah karena ia menjaga ajaran agamaNya. Jadikanlah ayat ini sebagai piagam kesalehanmu.

  1. Piagam Janji

Orang mulia pantang mengkhianati janji yang telah diucapkannya, karena menyalahi janji adalah aib yang mencoreng keningnya. Pernikahan adalah janji kesetiaan untuk memegang estafet kepemimpinan dari wali nikah sang istri. Orang tua sang istri atau wali nikahnya telah menyerahkan kepadamu mutiara indah yang dirawat dan diasuhnya sedari bayi hingga dewasa. Mereka ingin meliahatnya bahagia bersamamu. Maka dari itu, peganglah janji, dan jagalah ia dengan baik.

Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ أَحَقَّ اَلشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ  مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ اَلْفُرُوجَ

“Sesungguhnya syarat yang paling harus kalian penuhi adalah syarat yang menjadikan kalian dihalalkan menggauli istri. (yakni syarat pernikahan)” (Hr. Bukhari dan Muslim).[2]

Engkau telah mengambil istrimu dari tengah keluarganya. Sehingga ia rela berjauhan dengan mereka karena setia mendampingimu. Ia habiskan usia mudanya bersamamu, dan ia dengan senang hati mengandung dan melahirkan anak-anakmu. Kini, mungkin orang tuanya sudah wafat, dan peninggalannya sudah dibagi-bagi. Sehingga harapannya, sesudah Allah, adalah dirimu. Maka dari itu, penuhilah janjimu dan wujudkanlah kesetiaanmu.

Adalah suami yang taqwa. Apabila ia menyintai istrinya, ia memuliakannya. Dan apabila tidak menyukai istrinya, ia tidak akan berlaku zalim kepadanya. tidaklah mengangkat kemuliaan istri kecuali suami yang mulia. Dan tidak pula merendahkan istri kecuali suami yang tercela.

  1. Tahu Budi

Keadaan hidup bisa berubah kapan saja. Yang tadinya cantik, menjadi keriput. Yang tadinya kaya, menjadi miskin papa. Yang tadinya menduduki jabatan tinggi, sekarang menjadi rakyat biasa. Semula sehat dan kuat, sekarang sakit-sakitan. Semula menjadi tulang punggung keluarga, sekarang terbaring berbilang tahun di tempat tidur, hanya berharap layanan dari orang-orang yang dicintainya.

Di saat itulah, mutiara kesetiaan akan berkilau indah. Budi baik yang tertanam selama puluhan tahun dalam mengarungi kehidupan bersama, tampak jelas di layar keasadaran. Memanggil nurani yang paling dalam. Putih, mengakar dan menjulang tinggi ke angkasa keharuan. Bunganya merekah membisikkan pesan “Terlampau banyak kebaikanmu… Aku tetap ridha dan setia mendampingimu”.

Kita adalah kaum yang tahu budi dan tahu terimakasih. Pernah seorang nenek tua datang kepada rasulullah saw. Beliau pun memberikan perhatian sedemikian rupa kepadanya.  Mengapa? Ternyata, nenek tersebut pernah datang kepada nabi saw di saat Khadijah masih hidup. Beliau pun bersabda:

وَإِنَّ حُسْنَ الْعَهْدِ مِنَ الْإِيمَانِ

“dan sesungguhnya menjaga hubungan baik itu bagian dari iman” (Hr. Hakim; Shahih).[3]

Ini tahu budi beliau kepada sang nenek tua yang pernah datang berkunjung di masa hidup Khadijah. Terlebih lagi, bagaimana tahu budi beliau kepada Khadijah sendiri?

Sungguh, Allah swt telah mengingatkan kita agar tidak melupakan kebaikan orang lain terhadap kita, sebesar atau sekecil apapun kebaikan itu. Sebagai istri, umpamanya, Jangan sekali-kali bekata kepada suami: “Engkau sama sekali tidak pernah berbuat baik kepadaku”. Ini kufur nikmat namanya dan sekaligus kufur terhadap kebaikan suami.

Dalam al-Qur’an disebutkan:

وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

“dan janganlah kalian lupa jasa baik diantara kalian” (Qs. Al-baqarah/2: 237).

Adakah balasan atas kebaikan melainkan kebaikan pula?. Sikap “Habis manis sepah dibuang” itu perilaku durjana. Apalagi membalas air susu dengan air tuba.

  1. Kisah Kesetiaan

Indahnya kesetiaan menjadi lebih lengkap kalua dihiasi dengan dengan contoh-contoh dalam keidupan nyata. Setidaknya beberapa contoh berikut memberikan gambaran lebih terang.

  • Aku dikaruniai Cinta padanya

Walau telah dipisahkan oleh kematian, kesetiaan rasulullah saw kepada Khadijah ra tak pernah lekang. Kiprah dan jasanya sering beliau sebut-sebut, sampai membuat Aisyah ra cemburu, walau ia tak pernah berjumpa dengannya. Dari ketujuh anak beliau, enam dilahirkan oleh Khadijah ra di Makkah, dan satunya yaitu Ibrahim lahir dari Mariyah Alq-Qbthiyah di Madinah.

Khadijah ra adalah hati yang mula pertama beriman kepada dakwah nabi saw. Dia-lah orang Islam pertama setelah nabi. Ia membela dakwah dengan diri, harta dan kedudukannya hingga wafat pada tahun ke sepuluh setelah kenabian. Pernikahan beliau saw dengan ummahatul mukminin (para ibunda orang-orang beriman) lainnya adalah sepeninggal Khadijah.

Mari kita simak kesaksian berikut ini. Dari Aisyah ra, ia berkata: Aku tidaklah menaruh cemburu kepada istri-istri nabi saw kecuali kepada Khadijah, sedangkan saya tidak pernah jumpa dengannya. Biasanya kalau rasulullah saw memotong kambing, beliau bersabda:

أَرْسِلُوا بِهَا إِلَى أَصْدِقَاءِ خَدِيجَةَ

“Kirimkanlah dagingnya kepada sahabat-sahabat dekat Khadijah”. Pada suatu hari aku membuat beliau marah. Aku katakan : “Khadijah…!”. Lalu beliau saw menjawab:

إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

“Sungguh aku telah dikaruniai kecintaan kepadanya” (Hr. Muslim)[4]

  • Kupegang Janji

Keadilan khalifah Umar bin Abdul Aziz banyak menghiasi buku sejarah kepemimpinan. Ia adalah anak dari cucu Khalifah Umar bin Khattab. Walau hanya dua tahun menjabat khalifah, namun keadilannya telah memenuhi seluruh wilayah yang dipimpinnya. Biasanya, seorang pemimpin yang hebat, disampingnya pasti ada seorang istri yang hebat pula. Dia adalah Fathimah putri Khalifah Abdul Malik bin Marwan, juga saudara perempuan Khalifah Walid bin Abdul Malik.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengikuti jejak keadilan sang kakek, yaitu Khalifah Umar bin Khattab. Istrinya pun membersamainya dalam mengais pahala dari Allah. Ia serahkan seluruh mutiara dan perhiasan berharganya kepada baitul-mal (kas negara) dengan senang hati dan penuh keridhaan. Dua tahun kemudian, wafatlah sang suami dan jadilah ia seorang janda. Kedudukan dan harta juga telah lepas dari kehidupannya.

Petugas baitul-mal pun menaruh iba padanya, lalu menawarkan: “Tuan putri, seluruh perhiasan dan mutiara tuan putri masih utuh seperti sedia kala di kas negara. Kalau tuan putri menghendaki, kami akan kembalikan”. Apa jawaban Fathimah, sang istri yang setia itu?. Ia mengatakan: “Tidak perlu. Aku akan hidup memegang janji hingga berjumpa dengan Tuhanku. Aku bukanlah istri yang taat pada suami semasa hidupnya, lalu durhaka kepadanya setelah kematiannya”. Semoga Allah merahmati Fathimah. Ia adalah putri seorang Khalifah, saudara seorang Khalifah dan istri setia seorang Khalifah.[5]

  • Tapi Aku Mengenal Siapa Dia

Syaikh Dr. Salman Audah punya cataan indah di buku hariannya tentang kesetiaan seorang kakek tua umur 80-an tahun. Ia datang berobat kepada seorang dokter pada pukul 08.30. Ia sampaikan kepada dokter bahwa ia agak terburu-buru karena nanti pukul 09.00 ada janji. “Apakah ada janji dengan dokter lain?” tanya dokter. “Tidak. Tapi saya akan pergi ke panti rehabilitasi untuk sarapan bersama istri. Ia dirawat di sana sejak tiga tahun yang lalu”, jawabnya.

Dokter lanjut bertanya: “Apakah istrimu akan cemas jika engkau datang sedikit terlambat?”. “Tidak akan cemas, pak Dokter. Karena ia tidak lagi mengenali saya sejak lima tahun yang lalu”, Jawabnya.  “Lalu untuk apa engkau pergi ke sana?” tanya dokter.

Sang kakek tersenyum sambil menekan tangan dokter dengan kuat, lalu bergumam: “Benar, ia tidak mengenal siapa saya. Tapi aku kan mengenal siapa dia?”[6]

Subhanallah….! Alangkah indahnya kesetiaan. Untuk itu, katakan: “Aku Memilih Setia”.

 

[1] Shahih Muslim, 2435

[2] Shahih Bukhari, Nomor Hadits 2271 dan 5151. Shahih Muslim, Nomor Hadits 1418. Redaksi riwayat Muslim.

 

[3] Al-Mustadrok, Al-Hakim, Nomor Hadits 40.

[4] Shahih Muslim, Nomor Hadits 6431

[5] Al-wafa bainal azwaj, qashah lil’ibroh: http://sudanelite.com/vb/showthread.php/9592-

[6] http://www.islamtoday.net/salman/mobile/mobartshows-28-158511.htm