Syarat Sah Hewan Dijadikan Untuk Qurban

Pertanyaan  

Ustadz, saya mau bertanya, yang saya ketahui bahwa dalam berqurban itu hewan yang boleh dijadikan hewan qurban adalah kambing, sapi, dan unta. Pertanyaanya, apakah ada kriteria khusus hewan tersebut sah dijadikan hewan untuk qurban?

Jawaban
Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Hewan yang dikurbankan memiliki beberapa kriteria sehingga dia sah menjadi hewan kurban, di antaranya;

  1. Jenisnya adalah al-an’am.

لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (سورة الحج: 28)

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Haj: 28)

Yang dimaksud al-an’am menurut para ulama adalah; Onta, Sapi dan kambing, termasuk varian-variannya. Para ulama membolehkan berkurban dengan kerbau yang menjadi varian sapi. Berbagai jenis kambing dibolehkan, apakah domba, kambing kacang, biri-biri dan semacamnya. Namun tidak dibolehkan berkurban dengan banteng, rusa, zebra, karena tidak didapatkan hal tersebut dari Nabi saw atau juga dari kalangan sahabat dan bukan termasuk binatang ternak. Begitupula dengan binatang ternak lainnya yang tidak termasuk an’am tetap tidak sah, seperti ayam, itik, burung, dll. [1]

 

  1. Memenuhi syarat usia minimal.

Berdasarkan hadits, standar usia hewan yang boleh dikurbankan adalah yang masuk katagori ‘tsaniah’ الثنية, atau jika hewannya domba, maka boleh yang masih kriteria jaza’.

Rasulullah saw bersabda,

لَا تَذْبَحُوا إلَّا مُسِنَّةً إلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ (رواه مسلم)

“Jangan kalian sembelih kecuali ‘musinah’, kecuali jika kalian sulit untuk mendapatkannya, maka kalian boleh menyembelih jaza’ah dari jenis domba.”[2]

Musinah مسنة dari segi bahasa maknanya adalah tua. Namun dalam hadits ini maknanya bukan hewan yang sudah tua, akan tetapi hewan yang bukan anakan lagi dan beranjak dewasa, dikenal dengan istilah ‘tsany’ الثني atau ‘tsaniah’ الثنية. Artinya dia sudah melewati masa anakan yang ditandai dengan tumbuhnya dua gigi di depan yang menonjol dibanding gigi-gigi di sampingnya.[3] Di tengah masyarakat biasanya disebut dengan istilah hewan yang giginya sudah kupak. Hanya saja usia hewan yang masuk katagori ‘tsaniah’ ada yang disepakati dan ada yang diperdebatkan para ulama.[4] Yang disepakati adalah onta, minimalnya adalah 5 tahun. Adapun sapi, maka menurut jumhur ulama (mazhab hanafi, Syafii dan Hambali), batas usia minimalnya adalah  2 tahun, sedangkan ulama dalam mazhab Maliki berpendapat usia minimalnya adalah 3 tahun. Adapun kambing kacang/bandot, jumhur ulama (mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali) berpendapat bahwa batas usia minimalnya adalah 1 tahun, sedangkan mazhab Syafii berpendapat usia minimalnya 2 tahun.[5]

Adapun kambing jenis domba, maka boleh berkurban dengan jenis ‘jaza’ah’ جزعة atau jaza’ حزع. Jaza’ah adalah hewan ternak yang giginya masih rata semua, belum ada yang menonjol, atau belum kupak yang menunjukkan bahwa hewan tersebut masih muda. Hanya saja para ulama berbeda pendapat terkait dengan usianya. Jumhur ulama berpendapat usia minimal domba jenis jaza’ah adalah 6 bulan, sedangkan kalangan mazhab Syafii berpedapat bahwa usia domba jaza’ah adalah 1 tahun, meskipun ada juga dari kalangan ulama mazhab Syafii yang berpendapat domba jenis jaza adalah usia 6 bulan. [6]

Meskipun dalam hadits di atas memberi kesan bahwa domba yang bersifat jaza’ (6 bulan) baru boleh dikurbankan apabila sulit mendapatkan hewan kambing jenis tsany ثني. Namun para ulama berpendapat bahwa hal ini sifatnya mutlak, baik sulit ataupun tidak.

إِنَّ الْجَذَعَ من الضَّأْنِ يُوَفِّي مِمَّا يُوَفِّي مِنْهُ الثَّنِيُّ من المَعِزِ

“Sesungguhnya  jaza (domba)  dapat memenuhi (syarat) sebagaimana tsaniah maiz (kambing kacang/bandot).” [7]

Jika disimpulkan berdasarkan pendapat jumhur ulama, usia minimal hewan yang boleh dikurbankan adalah sebagai berikut;

  • Onta = 5 tahun.
  • Sapi = 2 tahun.
  • Kambing kacang = 1 tahun.
  • Kambing domba = 6 bulan

Penetapan syarat ini bersifat baku, tanpa mempertimbangkan gemuk tidaknya hewan. Artinya walau hewannya gemuk dan memenuhi segala kriteria lainnya, namun usianya belum mencukupi, maka dia tidak dapat dijadikan sebagai hewan kurban. Namun demikian, dianjurkan agar hewan kurban pun jangan terlalu tua. Karena berpengaruh pada kelayakan konsumsinya. Usia yang telah ditetapkan di atas adalah usia hewan yang sangat cocok untuk dikonsumsi, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.

 

  1. Selamat dari cacat.

Hewan kurban bukan hewan yang disembelih sekedar untuk dimakan dagingnya, tapi lebih besar dari itu, adalah hewan yang dikurbankan sebagai penghambaan kepada Allah Taala. Karenanya hewan tersebut harus selamat dari cacat yang sangat besar yang dapat mengurangi makna persembahan tersebut.

Batasan cacat yang dapat menghalangi sahnya hewan kurban disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu: Picek matanya, pincang kakinya, sakit yang tampak dan sangat tua dan sangat kurus. Sebagaimana sabda beliau;

أَرْبعٌ لا تجوزُ في الضَّحايا: العوراءُ الْبَيِّنُ عَوَرُها، والمريضةُ البيِّنُ مرضُها، والعرجاءُ البيِّنُ ظَلَعُها، والكبيرةُ التي لا تُنْقي

“Empat sifat hewan yang tidak boleh sebagai kurban; yang jelas matanya picek, jelas sakit, jelas pincang dan hewan yang sudah tua serta sangat kurus.” [8]

Para ulama berpendapat bahwa keempat cacat yang menghalangi sahnya hewan dikurbankan adalah sebagai patokan dasar. Maksudnya, jika cacatnya melebihi dari itu, maka dia termasuk cacat yang tidak dibolehkan. Misalnya kakinya buntung atau patah, kedua matanya buta.[9]

Adapun hewan kurban yang putus ekornya, telinganya atau tanduknya, diperdebatkan para ulama antara yang membolehkan dan yang tidak. Namun lebih kuat pendapat yang menyatakan bahwa hal tersebut tetap dibolehkan, karena tidak berpengaruh kepada hewan tersebut secara langsung. Apalagi jika hanya sebagian tanduknya yang patah atau telinganya robek, umumnya para ulama membolehkannya. Namun meskipun para ulama membolehkan berkurban dengan hewan yang memiliki cacat ringan, mereka menyatakan bahwa hal tersebut makruh. Maka sebaiknya ditinggalkan. Disamping mengandung kehati-hatian, juga sebagai sikap khurujan minal khilaf (keluar dari perbedaan pendapat para ulama).[10]

Termasuk hewan yang dibolehkan untuk dikurbankan adalah hewan yang dikebiri. Terdapat riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau berkurban dengan domba yang telah dikebiri. Bahkan ada yang berpendapat bahwa hewan yang dikebiri lebih baik karena dagingnya lebih lezat. [11]

Intinya adalah bagaimana hewan kurban yang akan dikurbankan adalah hewan terbaik yang dapat dipersembahkan, sehat dan terhindar dari cacat yang besar maupun kecil.

Maka bagi siapapun yang hendak berkurban, hendaknya memperhatikan hewan yang akan dikurbankan agar minimal memenuhi kriteria hewan yang sah untuk dikurbankan, baik dari jenisnya, usianya maupun terhindarnya dari cacat. Hal ini juga berlaku bagi orang-orang yang diamanahi untuk melaksanakan pelaksanaan penyembelihan hewan kurban, hendaknya mencari hewan yang benar-benar memiliki kriteria di atas sebagai bentuk amanah dari orang-orang yang menyerahkan pengurusan hewan kurban kepada dirinya. Bahkan diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah saw memerintahkannya untuk memeriksa mata dan telinga hewan yang akan dikurbankan. [12] (HR. Ahmad dan perawi yang empat)

[1]. Lihat Al-Majmu Syarhul Muhazab, 7/70, Al-Qaulul Mu’tamad, 2/479, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al Kuwaitiah, 5/82.

[2]. HR. Muslim (1963)

[3]. Kifayatul Akhyar, hal. 675.

[4]. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 5/82

[5]. Al-Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu, 3/615

[6]. Al-Majmu Syarhul Muhazab, 7/70-71, Al-Mughni, 13/368,369, Kifayatul Akhyar, hal. 675

[7]. HR. Abu Daud (2799). Dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami (1596).

[8]. HR. Abu Daud (2802), Tirmizi (1497), Ibnu Majah (3144), Ahmad (18667). Dinyatakan shahih oleh Al-Abany dalam Shahih Abu Daud (2802)

[9]. Taudhihul Ahkam Min Bulughil Maram, 7/87

[10].  Lihat; Al-Mughni, 13/372, Al-Mu’tamad Fil Fiqhi Asy-Syafii, 2/482, Asy-Syarhul Mumti, 7/435.

[11].  Al-Mughni, 13/371

[12]. HR. Tirmizi (1498), Abu Daud (2804)