Zikir Setelah Shalat Boleh Dikeraskan atau Tidak?

Pertanyaan  

Ustadz saya mau bertanya apakah setelah sholat imam boleh membaca zikir agak di keraskan atau cukup komat kamit tidak ada suara menghadap makmum? sekian maturnuwun.

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Berdzikir setelah shalat, baik dengan suara lirih atau suara dikeraskan, sama-sama memiliki pedoman dalam syariat. Maka, jika kita ingin memilih salah satunya itu adalah hal yang lapang saja.

📌 Melirihkan Suara

Melirihkan suara dalam dzikir, hal ini sejalan dengan perintah Allah Ta’ala berikut:

وَٱذۡكُر رَّبَّكَ فِي نَفۡسِكَ تَضَرُّعٗا وَخِيفَةٗ وَدُونَ ٱلۡجَهۡرِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ بِٱلۡغُدُوِّ وَٱلۡأٓصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ ٱلۡغَٰفِلِينَ

Dan berdzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.

(QS. Al-A’raf, Ayat 205)

Imam al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أَيْ دُونَ الرَّفْعِ فِي الْقَوْلِ. أَيْ أَسْمِعْ نَفْسَكَ …. وَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ مَمْنُوعٌ.

Yaitu dengan tidak meninggikan suara dalam ucapan, yaitu dengarkanlah oleh dirimu… Ini menunjukkan bahwa meninggikan suara dalam dzikir adalah terlarang. (Tafsir Al Qurthubi, 7/355)

📌 Mengeraskan Suara

Ada pun mengeraskan suara, sejalan dengan hadits shahih berikut:

أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

Sesungguhnya Abu Ma’bad pelayan Ibnu Abbas, mengabarkan bahwa Ibnu Abbas menceritakan kepadanya, tentang meninggikan suara dalam berdzikir ketika manusia selesai dari shalat wajib, dan hal itu terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkatalah Ibnu Abbas: “Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan (masjid).“ (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah berkata:

وَفِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز الْجَهْر بِالذِّكْرِ عَقِب الصَّلَاة

“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat.“

Di halaman yang sama beliau mengutip dari Imam An Nawawi:

وَقَالَ النَّوَوِيّ : حَمَلَ الشَّافِعِيّ هَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُمْ جَهَرُوا بِهِ وَقْتًا يَسِيرًا لِأَجْلِ تَعْلِيم صِفَة الذِّكْر ، لَا أَنَّهُمْ دَاوَمُوا عَلَى الْجَهْر بِهِ ، وَالْمُخْتَار أَنَّ الْإِمَام وَالْمَأْمُوم يُخْفِيَانِ الذِّكْر إِلَّا إِنْ احْتِيجَ إِلَى التَّعْلِيم .

Berkata An Nawawi: “Imam Asy Syafi’i memahami hadits ini bahwa mereka mengeraskan suara yang dengan itu menjadi waktu yang mudah untuk mempelajari sifat dzikir, tidak berarti mereka membiasakan mengeraskan suara, dan pendapat yang dipilih adalah bahwa imam dan makmum hendaknya merendahkan suara dalam dzikir, kecuali karena kebutuhan untuk mengajar.“ (Fathul Bari, 2/325)

Jadi, selama kebutuhan mengajar itu masih ada maka tidak mengapa mengeraskan suara.

Syaikh Ibn ‘Utsaimin mengkritik keras pihak yang membid’ahkan dzikir dengan suara keras:

الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة ، دل عليها ما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس رضي الله عنهما أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم

Mengeraskan suara dzikir setelah shalat wajib adalah SUNNAH. Itu ditunjukkan oleh riwayat Imam Bukhari, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwasanya setelah manusia usai shalat wajib mereka berdzikir dengan suara keras. Ini terjadi pada masa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kemudian Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata:

وأما من قال : إن الجهر بذلك بدعة ، فقد أخطأ فكيف يكون الشيء المعهود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم بدعة ؟!

Ada pun orang yang mengatakan: “Berdzikir dikeraskan adalah BID’AH,” maka itu SALAH. Bagaimana dikatakan bid’ah terhadap sesuatu yang terjadi di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?

(Selengkapnya lihat Majmu’ Fatawa wa Rasaail, 13/247-261)

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan bahwa meninggikan suara itu bagus dilakukan setiap selesai shalat:

ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن

Meninggikan suara saat bertakbir pada setiap shalat adalah HASAN (bagus). (Al Muhalla, 3/180)

Imam Al Buhuti, mengutip dari Imam Ibnu Taimiyah, dia berkata:

ويستحب الجهر بالتسبيح والتحميد والتكبير عقب كل صلاة

DISUNNAHKAN mengeraskan suara saat tasbih, tahmid, takbir setiap selesai shalat. (Kasysyaaf Al Qinaa’, 1/366)

Bagaimanakah batasan meninggikan suara?

Batasannya adalah jangan sampai menganggu orang lain di sekitarnya. Hal ini ditegaskan oleh Imam an Nawawi Rahimahullah sebagai berikut:

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ

“Imam Nawawi mengkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut. Bahwasanya memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya’, mengganggu orang yang shalat atau orang tidur. Dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat.” (Ruhul Bayan, 3/306)

Pertengahan adalah jalan yang terbaik. Allah berfirman:

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلٗا

Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Raḥmān. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmā’ul Ḥusnā) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.

(QS. Al-Isra’, Ayat 110)

Demikian. Wallahu a’lam.