Syariat dan Tata Cara Aqiqah

Pertanyaan  

Bagaimana syariat dan tata cara syukuran aqiqah?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Bismillahirrahmanirrahim..

Tentang apa yang mesti dilakukan saat aqiqah sebenarnya sudah cukup gamblang dalam hadits-hadits Rasulullah ﷺ.

  1. Sembelihkan kambing, cukur rambut seluruhnya, dan resmikan namanya

Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

 كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى

 “Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambut kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838.  Hadits ini shahih.  Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)

Dalam hadits ini menunjukkan ada tiga aktifitas aqiqahan: potong kambing, cukur rambut, dan pemberian nama, dilakukan di hari ketujuh sejak kelahiran. Demikianlah sunnahnya.

  1. Apakah boleh setelah hari ketujuh?

Hari ketujuh adalah afdhal, lebih utama, tapi hari setelahnya atau kelipatannya, atau kapan pun saat orangtuanya ada rezeki tetap sah dan boleh, menurut pendapat yang lebih kuat.

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan penjelasan demikian:

فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ ” الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ ” ذَكَرَهُ فِي السُّبُل . وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ .

 “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: ‘Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21.’ Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap maka di hari ke 21.” (‘Aunul Ma’bud, 8/28. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والذبح يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين.

“Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika  dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21.”  (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)

  1. Apakah boleh saat dewasa?

Hal ini diperselisihkan ulama. Tapi, pendapat yang lebih kuat -Insya Allah- adalah boleh.

Dipilih oleh Imam Asy Syafi’iy dan pengikutnya, Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya, serta sebagian salaf seperti Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin,  Atha’ bin Abi Rabah, dll.

Imam Muhammad bin Sirrin Rahimahullah berkata:

لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.

Seandainya aku tahu aku belum diaqiqahkan, niscaya akan aku aqiqahkan diriku sendiri. (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718)

 

Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata:

إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا

Jika dirimu belum diaqiqahkan, maka aqiqahkan buat dirimu sendiri, jika memang kamu adalah laki-laki. (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322)

Aqiqah diri sendiri dan saat dewasa itu memiliki dasar yang kuat, yaitu:

أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما جاءته النبوة

Bahwa  Rasulullah ﷺ  mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya nubuwwah (masa kenabian).

Hadits ini diriwayatkan oleh:

– Imam Abu Ja’far Ath Thahawiy, Musykilul Atsar, no. 883

– Imam Ath Thabaraniy, Al Mu’jam Al Awsath no. 994

– Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla,  7/528

Semua jalurnya dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.

 

Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:

قلت : و هذا إسناد حسن رجاله ممن احتج بهم البخاري في ” صحيحه ” غير الهيثم ابن جميل ، و هو ثقة حافظ من شيوخ الإمام أحم

Aku berkata: Isnad hadits ini HASAN, para perawinya adalah orang-orang yang dijadikan hujah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin Jamil, dia adalah terpercaya, seorang haafizh, dan termasuk guru dari Imam Ahmad. (As Silsilah Ash Shahihah, 6/502)

Kesimpulan akhirnya, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI, karena beberapa riwayat di atas yang menguatkannya. (Ibid)

 

  1. Apakah harus kambing ataukah boleh hewan ternak yg lain?

Aqiqah dengan kambing adalah contoh yang sesuai sunnah, begitulah yanh Rasulullah ﷺ lakukan.

Sebagian ulama bahkan sejak masa sahabat nabi, ada yang melarang dengan selain kambing. Misal, Aisyah Radhiallahu ‘Anha.

Berikut ini keterangannya:

 عن ابن أبى مليكة يقول نفس لعبد الرحمن بن أبى بكر غلام فقيل لعائشة رضى الله عنها يا ام المؤمنين عقى عليه أو قال عنه جزورا فقالت معاذ الله ولكن ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم شاتان مكافأتان

Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, hendaknya dua ekor kambing yang sepadan.” (Abu Ja’far Ath Thahawiy. Syarh Musykilul Aatsar No. 1042)

Oleh karena itu, Imam Ibnu Hazm Rahimahullah menegaskan :

 ولا يجزئ في العقيقة الا ما يقع عليه اسم شاة إما من الضأن واما من الماعز فقط، ولا يجزئ في ذلك من غير ما ذكرنا لا من الابل ولامن البقر الانسية ولامن غير ذلك

“Tidaklah sah dalam aqiqah melainkan hanya dengan apa-apa yang dinamakan dengan kambing (syatun), baik itu jenis kambing benggala atau kambing biasa, dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya.” (Al Muhalla, 7/523)

Pendapat ini juga diikuti oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Tuhfatul Maudud-nya. Sementara ulama lain baik Hanafiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah, dan yang dipilih oleh Malikiyah, membolehkan dengan Unta dan Sapi, diqiyaskan dengan hewan qurban. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 30/279)

 

  1. Apakah anak laki-laki wajib dua ekor kambing?

Tidak. Dua ekor bagi anak laki-laki itu afdhaliyah (keutamaan) saja, bukan syarat sahnya aqiqah.

Dari  Ummu Kurzin Radhiallahu ‘Anha, katanya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Rasulullah ﷺ  bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing.” (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah  No. 3162. An Nasa’i No. 4141. Shahih)

dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma:

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

“Bahwa Rasulullah ﷺ meng-aqiqahkan Hasan dan Husein masing-masing satu kambing kibas.” (HR. Abu Daud No. 2841. Dishahihkan oleh Abdul Haq dan Ibnu Daqiq Al ‘Id, lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir No. 1983)

Dua hadits ini menunjukkan baik dua atau satu ekor sama-sama sah, dan dua ekor lebih afdhal.

 

Disebutkan dalam Nailul Authar-nya Imam Asy Syaukani  sebagai berikut:

أَنَّ الشَّاتَيْنِ مُسْتَحَبَّةٌ فَقَطْ وَلَيْسَتْ بِمُتَعَيَّنَةٍ وَالشَّاةُ جَائِزَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ .

“Sesungguhnya dua kambing adalah sunah saja, bukan kewajiban, dan satu kambing adalah boleh dan tidak sunah.” (Nailul Authar, 5/134)

 

  1. Kambingnya Jantan atau Betina?

Tidak masalah, baik jantan dan betina. Keduanya sah untuk diaqiqahkan.

Dalam hal ini, Nabi ﷺ  bersabda:

عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ ، وَعَنْ الْأُنْثَى وَاحِدَةٌ ، وَلَا يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ ، أَمْ إِنَاثًا

Untuk bayi laki-laki adalah dua kambing, untuk bayi perempuan satu kambing. Tidak apa-apa bagimu kambing jantan atau betina. (HR. At Tirmidzi no. 1516, Shahih)

 

  1. Dibagikan dalam keadaan matang dan mengumpulkan manusia di rumah untuk makan-makan

Berkumpul saat Aqiqah adalah budaya, bukan Sunnah, hal ini boleh saja. jika isinya kebaikan, seperti mendoakan bayi, mencukur rambutnya, ada taushiyah agama, bukan untuk bermegah-megah dan kesombongan.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

وإن طبخها ودعا إخوانه فحسن، ولكن حيث لا يحدث ذلك فتنة وخصاما ويكون سبيلا للتفاخر والتحاسد

Memasak daging aqiqah dan mengundang saudara-saudaranya ke rumah maka itu baik. Tetapi jangan sampai hal itu melahirkan fitnah dan pertentangan, dan menjadikannya sebab berbangga dan kedengkian. (Al Mughni, 9/463)

Secara khusus sebenarnya ini tidak ada contohnya.  Namun, secara umum, ini merupakan bagian dari menampakkan nikmat Allah Ta’ala atas hambaNya, yang memang dianjurkanNya untuk disiarkan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha: 11)

Acara ini semakin baik jika di dalamnya di isi dengan ceramah agama oleh seorang ‘alim yang terkait dengan maslahat kehidupan manusia.

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah berkata tentang hukum berkumpul dalam acara undangan taushiah  aqiqah:

وأما التزام إحضار المشايخ والمحاضرين في هذه المناسبات فليس بوارد، لكن لو فُعل في بعض الأحيان انتهازاً لفرصة معينة للتذكير أو للتنبيه على بعض الأمور بمناسبة الاجتماع فلا بأس بذلك.”

“Ada pun membiasakan menghadirkan seorang syaikh dan para undangan dalam acara ini maka tidak ada dalilnya, tetapi seandainya dilakukan untuk memanfaatkan keluangan pada waktu tertentu, dalam rangka memberikan peringatan dan nasihat atas sebagian permasalahan yang terkait dengan berkumpulnya mereka, maka  hal itu tidak mengapa.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 086. Maktabah Misykah)

 

  1. Memotong Rambut bayi dan Menimbangnya dengan Perak

Mencukur semuanya, bukan sebagiannya.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ القَزَعِ

Bahwasanya Rasulullah ﷺ  melarang qaza’. (HR. Bukhari No. 5921 dan Muslim No. 2120)

 

Apakah Qaza’? Nafi’ –seorang tabi’in dan pelayan Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma menjelaskan:

يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِيِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ

Kepala bayi yang dicukur sebagian dan dibiarkan sebagian lainnya. (HR. Muslim No. 2120)

 

Contoh qaza’ adalah seorang yang membiarkan bagian depan kepala, tapi mencukur bagian belakangnya, atau yang tengah dibiarkan tapi kanan kirinya dicukur. Inilah yang kita lihat dari model-model rambut orang kafir yang ditiru remaja Islam. Kadang ada orang tua yang mencukur anaknya seperti ini lalu dibuat buntut, sekedar untuk lucu-lucuan.

Lalu, menimbang potongan rambut itu, dan disesuaikan dengan berat perak untuk disedekahkan. Ini jika dalam kelapangan ekonomi.

Sebagian kecil ulama seperti Imam Ar Rafi’i memilih menggunakan emas. Mungkin karena perak jarang dipakai oleh manusia.

Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhayyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain.”

Hal ini berdasarkan hadits:

Dari Anas bin Malik, Bahwasanya Rasulullah memerintahkan mencukur rambut Hasan dan Husein, anak Ali bin Abi Thalib, pada hari ke tujuh, kemudian bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut Hasan dan Husein itu. (HR. Thabrani dalam Al Ausath, 1/133)

Hadits jalur Anas bin Malik ini dhaif (lemah), namun ada hadits lain yang serupa, dari jalur Abdullah bin Abbas, yang bisa menguatkannya. Sehingga hadits di atas naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi.

Berkata Imam Ibnu Hajar, “Seluruh riwayat yang ada sepakat tentang penyebutan bersedekah dengan perak. Tidak ada satu pun yang menyebutkan emas. Berbeda dengan perkataan Ar Rafi’i, bahwa disunnahkan bersedekah dengan emas seberat timbangan rambut, kalau tidak sanggup maka dengan perak. Riwayat yang menyebut bersedekah dengan emas dhaif dan tak ada yang menguatkannya!”

(Talkhis al Habir, 4/1408)

 

Demikian. Wallahu A’lam