Pertanyaan
Assalamualaikum ustadzah bagaimana jika suami tidak memberikan nafkah batin selama 2 tahun? Terus tidak mau menceraikan juga karena melihat anak dan rumah tangga.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Islam sangat adil dalam menetapkan hak dan kewajiban pria dan wanita maupun suami dan istri. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Ketika seorang laki-laki sudah menjadi seorang suami, maka wajib baginya untuk menafkahi bukan hanya nafkah secara lahir/fisik lahir dan batin seorang istri, seperti yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 233:
Dari Saad bin Abi Waqosh RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ، إِلا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فَمِ امْرَأَتِكَ
“Dan sesungguhnya jika engkau memberikan nafkah, maka hal itu adalah sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wajib bagi suami memberikan nafkah berupa materi, juga nafkah non materi yang biasa dikenal dengan istilah nafkah batin. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaily dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu :
“Bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafkah dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil. Ketika seorang suami ternyata tidak bisa memenuhi kewajiban pemberian nafkah, selama istrinya rela dan lapang dada untuk saling berbagi, maka ikatan pernikahan tetap bisa dipertahankan. Kebijakan semacam ini tercermin dalam Al-Qur’an surat Ath-Thalaq ayat 7:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
Sebaliknya, ketika istri merasa tidak bisa bersabar akan hal tersebut. Ia boleh menuntut hak tersebut kepada suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i berkata, “Baik Al-Qur’an maupun sunah telah menjelaskan bahwa kewajiban suami terhadap istri adalah mencukupi kebutuhannya. Konsekuensinya adalah suami tidak boleh hanya sekadar berhubungan badan dengan istri tetapi menolak memberikan haknya, dan tidak boleh meninggalkannya sehingga diambil oleh orang yang mampu memenuhi kebutuhannya. Jika demikian (tidak memenuhi hak istri), maka isteri boleh memilih antara tetap bersamanya atau pisah dengannya”.
Jadi seorang perempuan dapat menuntut haknya kepada suaminya, jika suami tidak memberikan hak istri sebagaimana mestinya, dalam hal ini istri dapat mengajukan tuntutan bagi suaminya melalui pengadilan agama.
Wallaahu a’lam