Sholat Yang Penah Ditinggalkan Apakah Harus di Qadha ?

Pertanyaan  

Assalamu’alaikum ustadz/ustadzah, apakah sholat yang dulunya belum dikerjakan ketika sudah baligh dan ditinggalkan karena belum mendapat hidayah harus diqodho?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Bismillahirrahmanirrahim ..

Dalam masalah ini kita rinci dulu sebagai berikut:

Shalat yang ditinggalkan manusia ada beberapa sebab, yaitu:

  1. Mengingkari kewajibannya, maka ini kafir, tidak ada perbedaan pendapat ulama

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

ترك الصلاة جحودا بها وإنكارا لها كفر وخروج عن ملة الاسلام، بإجماع المسلمين.

Meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya adalah kafir dan keluar dari Islam berdasarkan ijma’ umat Islam. (Fiqhus Sunnah, 1/92)

 

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

فَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ تَارِكَ الصَّلاَةِ جُحُودًا لِفَرْضِيَّتِهَا كَافِرٌ مُرْتَدٌّ يُسْتَتَابُ ، فَإِنْ تَابَ وَإِلاَّ قُتِل كُفْرًا كَجَاحِدِ كُل مَعْلُومٍ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ 

Para ulama telah ijma’, bahwa orag yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka dia kafir murtad, dan mesti dimintai tobatnya, kalau dia tidak tobat juga maka dihukum mati sebagai kafir, sebagaimana orang yang mengingkari perkara aksiomatik dalam Islam. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/53)

Orang seperti ini tidak perlu qadha, sebab statusnya sudah kafir.

 

  1. Mengakui kewajibannya tapi malas melakukannya, maka ini diperselisihkan ulama.

Sebagian mengatakan kafir, sebagian mengatakan masih muslim tapi dosa besar.

Pihak yang menyatakan kafir berdalil dengan sejumlah alasan, di antaranya: Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

“Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim No. 82)

 

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر

“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. At Tirmidzi No. 2621, katanya: hasan shahih gharib)

 

Imam Al Mundziri Rahimahullah mengatakan:

وقال ابن أبي شيبة قال النبي صلى الله عليه وسلم : من ترك الصلاة فقد كفر

وقال محمد بن نصر المروزي سمعت إسحاق يقول صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر

Berkata Ibnu Abi Syaibah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir.”

Berkata Muhammad bin Nashr Al Marwazi, aku mendengar Ishaq berkata: “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Cet. 5, Maktabah Al Ma’arif. Riyadh)

 

Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah mengatakan:

الإمام أحمد   وكثير من علماء أهل الحديث يرى تكفير تارك الصلاة .

وحكاه إسحاق بن راهويه   إجماعا منهم حتى إنه جعل قول من قال : لا يكفر بترك هذه الأركان مع الإقرار بها من أقوال المرجئة . وكذلك قال سفيان بن عيينه : المرجئة سموا ترك الفرائض ذنبا بمنزلة ركوب المحارم ، وليسا سواء ، لأن ركوب المحارم متعمدا من غير استحلال : معصية ، وترك الفرائض من غير جهل ولا عذر : هو كفر . وبيان ذلك في أمر آدم وإبليس وعلماء اليهود الذين أقروا ببعث النبي صلي الله عليه وسلم ولم يعملوا بشرائعه . وروي عن عطاء ونافع مولى ابن عمر أنهما سئلا عمن قال : الصلاة فريضة ولا أصلي ، فقالا : هو كافر . وكذا قال الإمام أحمد .

Imam Ahmad dan kebanyakan ulama ahli hadits berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Ishaq bin Rahawaih menceritakan adanya ijma’ di antara mereka (ahli hadits), sampai-sampai dijadikan sebuah ungkapan barangsiapa yang mengatakan: tidak  kafirnya orang yang meninggalkan rukun-rukun ini dan orang itu masih mengakui rukun-rukun tersebut, maka ini adalah termasuk perkataan murji’ah. Demikian juga perkataan Sufyan bin ‘Uyainah: orang murji’ah menamakan meninggalkan kewajiban adalah sebagai dosa dengan posisi yang sama dengan orang yang menjalankan keharaman. Keduanya tidaklah sama, sebab menjalankan keharaman dengan tanpa sikap ‘menghalalkan’ merupakan maksiat, dan meninggalkan kewajiban-kewajiban bukan karena kebodohan dan tanpa ‘udzur, maka dia kufur. Penjelasan hal ini adalah dalam perkara Adam dan Iblis, dan ulama Yahudi yang mengakui diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka tidak mengamalkan syariat-syariatnya. Diriwayatkan dari Atha’ dan Nafi’ pelayan ibnu Umar, bahwa mereka berdua ditanya tentang orang yang mengatakan: Shalat adalah wajib tetapi saya tidak shalat.” Mereka berdua menjawab: Dia kafir. Ini juga pendapat Imam Ahmad.” (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9. Mawqi’ Ruh Al Islam)

 

Sementara umumnya ahli fiqih mengatakan dia masih muslim, walau tetap mendapatkan hukuman. Tertulis dalam Al Mausu’ah:

تَرْكُ الصَّلاَةِ تَهَاوُنًا وَكَسَلاً لاَ جُحُودًا – فَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يُقْتَل حَدًّا أَيْ أَنَّ حُكْمَهُ بَعْدَ الْمَوْتِ حُكْمُ الْمُسْلِمِ فَيُغَسَّل ، وَيُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَيُدْفَنُ مَعَ الْمُسْلِمِينَ

Meninggalkan shalat karena meremehkan dan malas, bukan karena mengingkari –maka madzhab Malikiyah dan Syafi’iyyah mngatakan dia dihukum mati, tapi statusnya setelah kematiannya adalah muslim, dia dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan bersama kaum muslimin. (Al Mausu’ah, 27/53)

Nah, untuk jenis meninggalkan shalat seperti ini, jika kita ikuti pendapat yang MENGKAFIRKAN, maka qadha tentu tidak bermanfaat baginya, KECUALI jika dia bertobat saat diberi kesempatan tobat, menurut sebagian ulama wajib qadha saat dia tobat. Ada pun bagi pihak yang tetap menyebutnya muslim, dan dia mau bertobat, juga mengatakan wajibnya qadha.

 

  1. Meninggalkan shalat karena lupa,tertidur, atau lalai

Kasus seperti itu (lupa, tidur, lalai), adalah wajib qadha.

Dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

ذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Mereka menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa tidurnya mereka membuat lalai dari shalat. Maka Beliau bersabda: “Sesungguhnya bukan termasuk lalai  karena tertidur, lalai itu adalah ketika terjaga. Maka, jika kalian lupa atau tertidur maka shalatlah ketika kalian ingat (sadar).” (HR. At Tirmidzi No. 177, katanya: hasan shahih.  juga diriwayatkan oleh Imam Muslim No. 680, namun dengan lafaz agak berbeda)

 

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ{وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي}

Barang siapa yang lupa dari shalatnya maka hendaknya dia shalat ketika ingat, tidak ada tebusannya kecuali dengan itu (Allah berfirman: “dirikanlah shalat untuk mengingatKu”). (HR. Bukhari No. 597)

 

Dari Qatadah  Radhiallahu ‘Anhu , katanya:

سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلَاةِ قَالَ بِلَالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلَالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلَالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلَالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلَاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى

“Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah,  barangkali anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari No. 595)

 

Karena hadits ini, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menerangkan:

اتفق العلماء على أن قضاء الصلاة واجب على الناسي والنائم

Para ulama sepakat tentang wajibnya mengqadha shalat bagi orang lupa atau tertidur. (Fiqhus Sunnah, 1/274, Lihat juga Bidayatul Mujtahid, 1/182)

Demikian dasar yang begitu kuat dalam mengqadha shalat bagi yang lupa atau tertidur, bisa disimpulkan dari hadits-hadits di atas:

  1. Qadha itu terjadi jika luputnya shalat karena lupa dan tertidur
  2. Qadha dilakukan segera ketika sadar atau ingat
  3. Mengqadha shalat wajib adalah wajib, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “tidak ada tebusan yang lain kecuali dengan itu.”
  4. Nabi dan para sahabat pun pernah mengalaminya.

 

Jika Selain Lupa dan Tidur, Wajib Qadha-kah?

Berkata para ulama:

واختلفوا في وجوب القضاء على تارك الصلاة عمدا ، والمرتد ، والمجنون بعد الإفاقة ، والمغمى عليه ، والصبي إذا بلغ في الوقت ، ومن أسلم في دار الحرب ، وفاقد الطهورين .

Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban qadha shalat bagi yang sengaja meninggalkan shalat, murtad, gila setelah sadar, pingsan, anak-anak jika sudah sampai waktunya, masuk Islam di negeri kafir harbi, dan bagi orang yang ketiadaan untuk bersuci. (Al Mausu’ah, 34/26)

 

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa wajib mengqadha shalat yang terlewatkan bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang jima’ di siang Ramadhan untuk mengqadha di hari lain dan juga melakukan kafaratnya, yaitu sebagai pengganti bagi puasanya yang batal gara-gara jima’, sebab jika karena lupa saja wajib qadha maka alasan karena  sengaja lebih layak lagi untuk mengqadhanya.

Fuqaha lain berpendapat tidak wajibnya qadha bagi yang sengaja tidak shalat, Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan: “Tidak sah hal itu (mengqadha) kecuali menurut Daud dan Ibnu Abdirrahman Asy Syafi’i.”

Ada pun orang murtad, bagi  kalangan Hanafiyah dan Malikiyah tidaklah wajib mengqadha shalat yang dia tinggalkan saat dia murtad, sebab keyakinan dia saat murtad memang mewajibkan untuk meninggalkannya. Sedangkan Syafi’iyyah menyatakan wajib qadha setelah keislamannya lagi sebagai bentuk peringatan keras untuknya, sebab keterikatannya terhadap Islam tidaklah membuat gugur kewajibannya itu sebagaimana terhadap hak-ahak manusia.

Abu Ishaq bin Syaqila menyebutkan dari Imam Ahmad, ada dua riwayat tentang kewajiban qadha atas orang murtad. Pertama. Tidak wajib qadha. Inilah zhahirnya perkataan Al Kharaqi dalam masalah ini. Maka atas inilah tidak wajibnya qadha  atas apa yang dia tinggalkan saat kekafirannya, juga saat keislamannya terdahulu sebelum murtadnya. Sebab amal dia sudah terhapus karena kemurtadannya. Kedua. Tidak wajib qadha atas ibadah-ibadah yang dia tinggal, baik saat murtadnya atau sebelumnya. Namun tidak wajib mengulangi hajinya, sebab amal itu hanyalah terhapus karena melakukan kesyirikan lalu dia mati.

Disebutkan dalam Al Inshaf bahwa yang shahih adalah wajib baginya mengqadha apa-apa yang dia tinggalkan sebelum murtadnya, dan tidak wajib mengqadha yang dia tinggalkan ketika sudah murtadnya.

Sedangkan buat orang gila, tidak ada khilafiyah para fuqaha bahwa mereka tidak dibebankan untuk shalat pada saat gilanya. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang qadha saat sudah “sadar/sembuh” dari gilanya.

Sedangkan bagi orang yang pingsan, tidak wajib baginya qadha kecuali  dia siuman/sadar saat dibagian waktu shalat dan dia tidak melaksanakan shalat itu, maka dia wajib qadha, ini pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.  Bagi kalangan Syafi’iyah orang yang pingsan berulang-ulang wajib qadha. Hanafiyah mengatakan tidak wajib qadha bagi yang pingsan saat itu jika yang dia tinggalkan melebihi sehari semalam. Bagi Hanabilah dan ini yang shahih dari mereka, hukum pingsan sama dengan hukum tidur, bahwa kewajiban kewajiban ’’ gugur, tapi mesti di qadha saat bangunnya, seperti shalat dan puasa.

Sedangkan anak-anak menurut jumhur tidak wajib mengqadha shalat, tetapi mereka diperintahkan shalat saat usia tujuh tahun, dan dipukul saat usia sepuluh tahun jika meninggalkan shalat. Kalangan Syafi’iyah menyatakan bahwa anak-anak  walau sudah mumayyiz lalu dia meninggalkan shalat, lalu usianya sudah baligh maka perintah qadha itu menunjukkan anjuran saja, sebagaimana perintah  shalat baginya. Pendapat lain Syafi’iyah tetap wajib qadha. Bagi Hanabilah, anak-anak tetap wajib shalat jika sudah berakal (‘aqil), walau belum baligh.

Sedangkan orang Islam di wilayah kafir harbi, sehingga dia tidak shalat, puasa, dan tidka tahu kewajibannya, maka wajib baginya qadha menurut Syafi’iyah, Hanabilah, dan juga Malikiyah. Sednagkan Hanafiyah bertempat mereka mendapatkan ‘udzur karena keadaanya.

Sedangkan bagi yang tidak memiliki suatu untuk bersuci, bagi Malikiyah mereka tidak wajib shalat, atau bagi orang yang sudah tidak mampu melakukannya seperti orang yang dipenjara dan disiksa, sehingga tidak wajib pula mengqadhanya. Syafi’iyah mentatkan wajib mengqadha shalat wajib saja. Hanafiyah mengatakan hendaknya dia melakukan aktifitas seperti shalat, sebagai penghormatan atas waktu shalat. (Lihat semua ini dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/26-29)

Bagaimanakah cara  melakukannya?

Mengqadha shalat dilakukan menurut tertibnya. Jika seseorang tertidur atau lupa shalat Ashar, lalu dia baru ingat atau sadar ketika terbenam matahari, maka dia lakukan sesuai tertibnya yakni ‘Ashar dulu baru Maghrib.

Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتْ الشَّمْسُ تَغْرُبُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ

“Bahwa Umar bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari terbenam hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shaat ‘Ashar hingga matahari hampir terbenam!” Maka Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda: “Demi Allah, aku juga belum melaksanakannya.” Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau berwudlu dan kami pun ikut berwudlu, kemudian beliau melaksanakan shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib.” (HR. Bukhari No. 596)

 

Namun, ada keadaan  tidak perlu tertib sesuai urutan jika:

  1. Waktu shalatnya sudah sangat sempit, misal tertinggal shalat Zhuhur, baru ingat ketika waktu ‘Ashar sudah mau habis (menjelang maghrib), maka hendaknya melakukan ‘Ashar dulu.
  2. Shalatnya bersama kaum muslimin yang shalat sesuai waktunya, misal dia tertidur sehingga melewati waktu zhuhur lalu bangun pas di waktu manusia shalat ‘Ashar berjamaah, maka hendaknya dia ikuti mereka, barulah dia shalat Zhuhur. Wallahu A’lam
  3. Dia tidak mengerti (jahl) caranya, atau lupa, atau banyak yang harus diqadha.

(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/33-35)

 

Lalu, Bagaimana Shalat Masa Lalu Yang Ditinggalkan?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mengatakan TIDAK WAJIB QADHA, tapi banyak-banyak shalat sunnah dan bertobat kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah  mengatakan demikian:

تارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ولا تصح منه، بل يكثر من التطوع

Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyatriatkan untuk mengqadhanya dan tidak sah jika dia melaksanakannya, tetapi hendaknya dengan memperbanyak shalat sunah. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/274)

Dalilnya adalah, dari Huraits bin Al Qabishah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya pada hari kiamat nanti  yang pertama kali dihitung dari amal seorang hamba adalah shalatnya, jika bagus shalatnya maka dia telah beruntung dan selamat. Jika buruk maka dia telah merugi dan menyesal. Jika shalat wajibnya ada kekurangan maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Lihatlah apakah hambaKu memiliki shalat sunah? Hendaknya disempurnakan kekurangan shalat wajibnya itu dengannya.” Kemudian diperhitungkan semua amalnya dengan cara demikian. (HR. At Tirmidzi No. 413, katanya: hasan, Abu Daud No. 864, Ahmad No. 9494,  Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 9494)

 

Ada pula yang mengatakan dengan Memperbanyak Tobat, Imam Az Zurqani mengutip dari  Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan, bahwa shalat sunah tidak bisa menggantikan shalat wajib yang ditinggalkan, sebab itu dosa besar, tetapi dengan bertobat sebenar-benarnya, berikut ini perkataan Imam Ibnu Abdil Bar:

 ومعنى ذلك عندي فيمن سها عن فريضة أو نسيها أما تركها عمدا فلا يكمل له من تطوع لأنه من الكبائر لا يكفرها إلا الإتيان بها وهي توبته

Makna hadits itu adalah menurutku bagi siapa saja yang lalai dari shalat wajib atau lupa, adapun jika sengaja meninggalkannya maka tidak bisa disempurnakan dengan shalat sunah, karena itu adalah dosa besar yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan bertobat darinya. (Syarh Az Zurqani ‘Alal Muwaththa’,  1/502)

Imam Ibnu Abdil Bar berbeda dengan Imam Ibnu Taimiyah, menurutnya jika meninggalkan shalat dengan sengaja tidak bisa dihilangkan dengan shalat sunah, tetapi dengan bertobat. Namun, keduanya sepakat bukan dengan cara mengqadha shalat wajib itu.

Ada pun Imam Ibnu Hazm, Beliau berpendapat: hendaknya orang tersebut memperbanyak shalat sunah dan amal kebaikan, serta bertobat dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala.

 

Berikut ini perkataan Imam Ibnu Hazm:

وأما من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها هذا لا يقدر على قضائها أبدا فليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزاته يوم القيامة وليتب وليستغفر الله عزوجل.

Ada pun orang yang sengaja meninggalkan shalat sampai habis  waktunya, maka hal itu selamanya tidak bisa disetarakan dengan mengqadhanya, tetapi hendaknya dia memperbanyak melakukan perbuatan baik dan shalat sunah, agar dapat memperberat timbangannya pada hari kiamat, dan hendaknya dia bertobat dan memohon ampunan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/275)

 

Sementara itu, MAYORITAS ulama tetap mewajibkan qadha shalat yang sengaja ditinggalkan itu. Sebab jika yang lupa saja wajjb qadha maka apalagi yang sengaja. (Al Mausu’ah, 34/26)

 

Caranya adalah dia menghitung kira-kira berapa yang dia tinggalkan, lalu mulailah dia shalat qadha tersebut diwaktu dia bisa lakukan.

 

Demikian. Wa Shalallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam