Menjamak Sholat karena Keterbatasan Tempat

Pertanyaan  

Assalamualaikum ustadz, ayah saya bekerja di Kalimantan, selama 2 bulan penuh, karena keterbatasan tempat sholat di lapangan/site pertambangan (sebagian besar kampung nasrani), apakah ayah saya memenuhi sholat fardlu jamak/qashar?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Kita bahas dua hal.

  1. Qashar

Allah Ta’ala berfirman:

“Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat …” (QS. An Nisa’: 101)

Ayat ini menjadi dalil kebolehan qashar shalat bagi musafir. Yaitu shalat yg 4 rakaat menjadi 2 rakaat.

Berapakah jarak dibolehkannya qashar?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وقد نقل ابن المنذر وغيره في هذه المسألة أكثر من عشرين قولا

Imam Ibnul Mundizr dan lainnya telah menukilkan bahwa ada lebih dari dua puluh  pendapat tentang masalah ini (jarak dibolehkannya qashar). (Fiqhus Sunnah, 1/284)

Tapi MAYORITAS ULAMA mengatakan jika sudah mencapai 4 burud (88,656km) maka sudah boleh qashar.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu’ Alaihi wa Sallam bersabda:

يَا أَهْلَ مَكَّةَ لَا تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَدْنَى مِنْ أَرْبَعِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ

Wahai penduduk Mekkah janganlah mengqashar shalat sebelum jarak 4 burd dari Mekkah menuju Asfan.

(HR. Ath Thabarani dalam Al Kabir, no. 11162)

Hadits serupa juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, dengan kalimat sedikit berbeda: “dari ‘Asfan menuju Mekkah.”  Imam Al Khathabi berkata inilah riwayat paling shahih dari dua riwayat Ibnu Umar. (Al Mughni, 2/190)

Inilah pendapat Golongan Malikiyah (Imam ad Dasuqi dalam Hasyiyah ad Dasuqi, 1 /359), Syafi’iyyah (Imam an Nawawi dalam al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/323, Imam al Mawardi dalam al Hawi al Kabir, 2/360), Hambaliyah (Imam al Mardawi dalam al Inshaf, 2/223), Juga sejumlah ulama salaf, dikutip oleh Imam An Nawawi Rahimahullah:

مَذْهبنا: أنَّه يجوز القصرُ في مرحلتين، وهو ثمانية وأربعون مِيلًا هاشميَّة، ولا يجوزُ في أقلَّ من ذلك، وبه قال ابنُ عُمرَ، وابنُ عبَّاس، والحسنُ البَصريُّ، والزُّهريُّ، ومالكٌ، والليثُ بنُ سَعدٍ، وأحمدُ، وإسحاقُ، وأبو ثورٍ

Dalam madzhab kami, dibolehkan qashar jika sudah sejauh 2 MARHALAH, yaitu 48 mil hasyimiyah, dan tidak boleh kurang dari itu. Inilah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Hasan al Bashri, az Zuhri, Laits bin Sa’ad, Malik, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.

(al Majmu Syarh al Muhadzdzab, 4/325)

Juga al Qadhi Abu Yusuf (murid dan kawannya Abu Hanifah). (al Muhith al Burhani, 2/22) Al Auza’i dan fuqaha kalangan ahli hadits. (an Nawawi, al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/195)

Ini yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Fatawa Nuur ‘alad Darb, 13/42-43)

Nah, kasus yang ditanyakan seorang yang domisili di Subang (Jawa Barat), lalu dia dinas di Kalimantan (berarti jaraknya sudah ribuan kilometer) maka secara jarak dia sudah layak dikatakan musafir. Maka dia boleh mengqashar shalat.

Untuk informasi, sebagian ulama ada yang mengatakan tidak ada jarak khusus. Yg terpenting sudah layak dikatakan safar menurut kebiasaan atau adat dan akal. Karena menurut mereka hadits -hadits tentang jarak berbeda-beda. Hadits paling shahih tentang jarak adalah yg menyehut Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengqashar saat jarak 3 farsakh (9 Mil). Inilah hadits paling shahih dalam hal ini, dan diriwayatkan Imam Muslim.

Pendapat ini diikuti oleh Madzhab Zhahiri, seperti Imam Daud az Zhahiri, dan Imam Ibnu Hazm. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/168), Sebagian Hambaliyah (Ikhtiyarat al Fiqhiyah, Hal. 434)

Imam Ibnu Qudamah  (al Mughni, 2/190), Imam Ibnu Taimiyah. (Majmu al Fatawa, 24/15), Imam Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad, 1/463), Imam Asy Syaukani (Sailul Jarar, Hal. 188), Syaikh Amin Asy Syanqithi (Adhwa’ul Bayan, 1/273), Syaikh al Albani (as Silsilah ash Shahihah, 1/311), Syaikh Utsaimin (Syarhul Mumti’, 4/351)

Berapa lama boleh mengqashar?

Ini tergantung jenis perjalanannya.

  1. Jika perjalanannya tidak jelas kapan pulangnya, tdk ada rencana khusus waktunya, maka selama itu pula dia dinilai sebagai musafir dan selama itu pula dia boleh mengqashar. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengqashar 20 hari saat perang Tabuk. Sebagian sahabat ada sangat lama mengqashar, misal Ibnu Umar pernah mengqashar selama 6 bulan saat di Azerbaijan. Al Hasan pernah menemani Jabir bin Samurah di Kabul, mereka qashar selama 2 tahun. Ibrahim an Nakha’i menceritakan bhwa para sahabat pernah ke Ray dan Sijistan selama setahub lebih atau dua tahun, mereka tetap qashar.
  2. Perjalanan yang jelas kapan pulangnya atau sudah direncanakan kapan selesainya. Menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, maksimal qashar adalah 4 hari, sedangkan Hambaliyah adalah 3 hari, sedangkan Hanafiyah dan Laits bin Sa’ad mengatakan 14 hari.
  3. Perjalanan untuk pindahan domisili saja. Sesampai di tujuan dia berencana menjadi muwathinin (penduduk setempat). Maka status musafirnya hanya saat perjalanan saja, sehingga qashar pun hanya berlaku saat perjalanan saja. Sudah tidak berlaku sesampainya di daerah tujuan dia bermukim.
  4. Jamak

Menjamak adalah menggabungkan dua shalat di satu waktu, yaitu Zhuhur dan Ashar, lalu maghrib dan Isya. Menjamak Shalat bisa dilakukan karena terjadinya masyaqqat (kesulitan/kesempitan) yang dialami oleh seorang muslim, sehingga susah baginya untuk shalat secara biasa.

Masyaqat tersebut di antaranya adalah:

Bepergian (Safar)

Jamak ketika bepergian adalah boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.”   (HR. Al Bukhari No. 1112)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا.

“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu  salah satu dari dua shalat itu, adalah boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya atau ketika turun (berhenti).”    (Fiqhus Sunnah, 1/289)

Ada pun berapa jaraknya, sama dengan jaraknya Qashar. Jika safar sudah dibolehkan Qashar maka dia juga dibolehkan jamak.

Sebenarnya masyaqqat (kepayahan, kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya jamak, bukan hanya perjalanan, melainkan juga hujan, sakit, dan keperluan yang mendesak. Inilah barang kali yang disangka “Kok tidak safar, shalatnya dijamak?” Karena memang menjamak itu bukan hanya karena safar!.

Jamak ketika hujan

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة.

“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada malam hujan.”   (Ibid, 1/290)

Jamak ketika Sakit

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل.

Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu  kuat.”   (Ibid, 1/ 291)

Jamak karena adanya keperluan (kesibukan)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّة إِلَى جَوَاز الْجَمْع فِي الْحَضَر لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذهُ عَادَة ، وَهُوَ قَوْل اِبْن سِيرِينَ وَأَشْهَب مِنْ أَصْحَاب مَالِك ، وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ الْقَفَّال وَالشَّاشِيّ الْكَبِير مِنْ أَصْحَاب الشَّافِعِيّ عَنْ أَبِي إِسْحَاق الْمَرْوَزِيِّ عَنْ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَاب الْحَدِيث ، وَاخْتَارَهُ اِبْن الْمُنْذِر وَيُؤَيِّدهُ ظَاهِر قَوْل اِبْن عَبَّاس : أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره وَاللَّهُ أَعْلَم .

“Sekelompok para imam, membolehkan jamak ketika tidak bepergian apabila ia memiliki keperluan, namun hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu Abbas, bahwa yang dikehendaki dari jamak adalah ‘agar umatnya keluar dari kesulitan.’ Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya. Wallahu A’lam.”   (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/219)

Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dan  inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh Imam An Nawawi di atas.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari saat tidak ketakutan dan tidak hujan.” (HR. Muslim No. 70)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله.

“Madzhab yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia membolehkan jamak karena kesibukkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam An  Nasa’i  secara marfu’ (sampai)  kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.”   (Al Fatawa Al Kubra, 5/350)

Menjamak Karena Sedang Proses Menuntut Ilmu

Bahkan dibolehkan pula menjamak, karena sedang menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu. Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمًا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَبَدَتْ النُّجُومُ وَجَعَلَ النَّاسُ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ قَالَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ لَا يَفْتُرُ وَلَا يَنْثَنِي الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ

فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتُعَلِّمُنِي بِالسُّنَّةِ لَا أُمَّ لَكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ فَحَاكَ فِي صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَأَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَسَأَلْتُهُ فَصَدَّقَ مَقَالَتَهُ

Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia berteriak: “shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq: “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.”   (HR. Muslim No. 705)

Demikian. Wallahu a’lam.