Istri Betah Menginap di Rumah Orangtuanya

Pertanyaan  

Assalamualaikum ustadzah, bagaimana jika istri tidak nurut sama suami? dia betah menginap di rumah orangtuanya dan tidak berfikir jika meninggalkan suami.

Jawaban
Ustadzah Husna Hidayati, MHI

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Setelah memasuki kehidupan rumah tangga, suami istri memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Keduanya sudah berpisah dengan kedua orang tua masing-masing dan sudah memiliki rumah tangga sendiri yang pemimpin dalam rumah tangga baru tersebut adalah suami. Seorang suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, bagi istri, juga bagi anak-anaknya. Allah SWT memberi keutamaan bagi laki-laki yang lebih besar daripada perempuan. Karena dialah yang berkewajiban memberi nafkah dan mendidik istri dan keluarganya. Allah SWT berfirman:

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya.” (QS An-Nisaa’: 34).

Meski suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban, namun suami mempunyai kelebinan atas isterinya. Allah SWT berfirman: “Dan mereka (para perempuan) memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang pantas. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana,. (QS Al-Baqarah: 228).

Namun, ada beberapa istri yang belum memahami sepenuhnya atas hal tersebut, sehingga masih saja menomorsatukan keluarganya dibanding dengan suaminya hadits Nabi SAW:

“Tidak boleh seorang perempuan puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia mengintakan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya.”

Sebagaimana hadist Nabi SAW tentang keutamaan suami di atas, maka seorang istri yang lebih mementingkan keluarganya daripada suaminya harus diberi pengertian dan kefahaman bahwa yang demikian itu tidak dibolehkan dan hukumnya menjadi haram.

Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah mengatakan: “Seorang perempuan Jika telah menikah, maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan mentaati suami itu lebih wajib dari pada taat orang tua.” (Majmu’ Fatawa 32/261).

Menurut Alquran dan hadits, istri yang salehah adalah ia yang mentaati perkataan suami. Suami merupakan imam dan pemimpin bagi wanita yang telah menikah. Dalam surat An Nisa ayat 34, Allah berfirman, “Kaum laki-laki itu pemimpin wanita. Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas Sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka.

Maka wanita yang salehah ialah mereka yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada menurut apa yang Allah kehendaki. Tentunya yang harus diikuti adalah aturan ataupun nasihat yang sejalan dengan apa yang sudah diajarkan dan diperintahkan Allah SWT.

Mentaati apa yang disampaikan dan diperintahkan suami bukan semata-mata karena dia adalah suami, melainkan, Karena memang diperintah pula oleh Allah sama seperti kewajiban kewajiban yang lain sebelumnya, ketaatan ini harus hadir atas dasar karena Allah SWT.

Dalam ayat yang sama (surah annisa ayat 34), Allah berfirman, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar”. Kewajiban mentaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim kepada orang tua.

Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al Jami fi Fiqh An Nisaa mengatakan seorang perempuan, sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orangtua. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA menguatkan hal itu. Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah.

Masih tentang hadits tersebut, Imam Nawawi mengatakan, hadis yang disepakati kesahihannya itu memerintahkan agar senantiasa berbuat baik kepada kaum kerabat. Dan, yang paling berhak mendapatkannya adalah ibu, lalu bapak, kemudian disusul kerabat lainnya.

Namun, menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Muashirah mengatakan bahwa memang benar, taat kepada orang tua bagi seorang perempuan hukumnya wajib. Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah. Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama ketaatan itu masih berada di koridor syariat dan tidak melanggar perintah agama.

Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kKaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)”. (QS an-Nisaa’ [4]: 34).

Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim kepada orangtua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini (tentunya dengan memanfaatkan kemajuan teknologi) bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dan keluarga bisa lewat telepon, misalnya. Tidak harus terus menerus mengunjungi dan berada di rumah orangyuanya sampai meninggalkan suaminya.

Hukum istri lebih mementingkan keluarganya daripada suami akan tergambar dalam ketaatan istri kepada suami. Sebab, setelah wali perempuan (isteri) menyerahkan kepada suami, maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhi, setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagaimana hadist Nabi SAW tentang keutamaan suami di atas, maka seorang istri yang lebih mementingkan keluarganya daripada suami tidak dibolehkan dan hukumnya menjadi haram. Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah mengatakan: “Seorang perempuan jika telah menikah, maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan mentaati suami itu lebih wajib dari pada taat orang tua.” (Majmu’ Fatawa 32/261).

Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al Jami fi Fiqh An Nisaa mengatakan, seorang perempuan sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orangtua. Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW. Namun, menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mushirah menerangkan bahwa kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah. Bila sudah berkeluarga, seorang istri dinaruskan lebih mengutamakan taat kepada suami.

Saat taat pada suami, istri juga akan diberi pahala surga. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya”.

Kranya akan lebih bijak jika istri anda ajak bicara dari hati kehati dan jelaskan keutamaan-keutamaan yang harus dilakukan oleh seorang perempuan (istri) setelah dia sudah menikah dan hidup bersama dalam rumah suaminya. Semoga hal yang terjadi selama ini adalah hanya karena kekurang fahaman istri anda terhadap hak dan kewajibannya yang harus ditunaikan. InsyaAllah jika sudah diberi pemahaman, ia akan berubah lebih baik dan mentaati suaminya. Wallaahu Alam.