Apakah Ada Hak Harta Bersama Saat Cerai?

Pertanyaan  

Assalamualaikum ustadzah, jika seorang istri yang menggugat cerai, apa benar dia tidak ada hak atas harta bersama?

Jawaban
Ustadzah Husna Hidayati, MHI.

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 97, telah diatur bahwa masing-masing janda dan duda memiliki hak setengah bagian (50:50) dari harta bersama yang didapat selama perkawinan. Tentunya tidak semua harta dapat dibagi atau dikategorikan sebagai harta bersama. Yang dimaksud harta bersama, yaitu harta yang dimiliki oleh pasangan suami istri dari hasil usaha bersama atau usaha masing-masing yang kemudian digabung kepemilikannya dan tidak dipisah, maka harta seperti ini menjadi milik bersama dan inilah yang umum terjadi di Indonesia.

Ketika terjadi perceraian antara pasangan suami istri, maka harta yang menjadi milik pribadi, kepemilikannya tetap menjadi milik pribadi baik suami maupun istri. Adapun pembagian harta yang menjadi milik bersama suami dan istri, maka sebaiknya diselesaikan dengan perdamaian (ash-shulh) antara suami dan istri sesuai kesepakatan keduanya. Sulh sendiri adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Dalil pensyariatan perdamaian suami istri antara lain:

Dari Katsir bin Abdillah bin Amr bin Auf al-Muzani, dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Berdamai itu boleh dilakukan antara kaum musliimin, kecuali sebuah perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin itu tergantung pada syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.’ (HR. Tirmidzi no.1370, Ahmad 2:366, dan Abu Dawud no. 3594).

Saat menerangkan hadis di atas, Ash-Shanani berkata, “Para ulama telah membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam: perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami dan istri, perdamaian antara kelompok yang bughat (zalim) dan kelompok yang adil, perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim, perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik Bersama dan hak-hak. Pembagian inilah yang dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para ahli figih dengan ash-shulh (perdamaian).

Dengan demikian berdasarkan dalil hadis Amr bin Auf al-Muzani di atas, jika suami istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaian adalah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama. Dengan jalan perdamaian ini, pembagian harta gono-gini bergantung pada musyawarah antara suami istri. Bisa jadi suami mendapat 50% dan istri 50% atau suami mendapat 30% dan istri 70%, pun suami bisa mendapat 70% dan istri 30%, dan boleh pula pembagian dengan nisbah (prosentase) yang lain.

Semuanya dibenarkan syara, selama merupakan hasil dari perdamaian yang telah ditempuh berdasarkan kerelaan masing-masing. Perlu diketahui bahwa harta yang diperoleh sebuah keluarga tidak mesti secara otomatis menjadi harta gono-gini. Gambarannya kira-kira sebagai berikut: Secara umum suamilah yang bekerja dan bertanggung jawab atas nafkah dan ekonomi keluarga. Ini banyak disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya. (di antaranya dalam QS. Ath Thalaaq: 7).

Dalam sebuah hadits dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit. Dia tidak memberi harta yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang saya ambil sendiri tanpa sepengetahuannya. Maka Rasulullah bersabda,

خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ

“Ambillah yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari no.5364 dan Muslim no.1714).

Dari Hakim bin Muawiyah dari bapaknya berkata: Saya bertanya, “Ya Rasulullah apakah hak istri kami?” Beliau bersabda:

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ

“Engkau memberinya makan jika kamu makan, engkau memberinya pakaian jika kamu berpakaian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Al-Irwa’ 2033). Adapun istri, terkait hartanya ada dua kemungkinan:

1. Sama sekali tidak mempunyai aktivitas yang bernilai ekonomis. Jika demikian, maka harta dalam keluarga tersebut adalah harta suami, dan tidak ada harta gono-gini. Karena memang tidak ada andil istri dalam harta tersebut.

2. jika istri memiliki aktivitas yang bernilai ekonomis. Misalnya dia bekerja sendiri, atau membantu suami dalam pekerjaanya, atau menjadi partner kerja bagi suami, dsb, maka dalam kondisi seperti inilah harta dalam keluarga tersebut ada yang digolongkan harta gono-gini.

Syariat tidak membagi harta gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti, misalnya istri 50% dan suami 50%. Sebab, sepengetahuan kami tidak ada nash yang mewajibkan demikian baik dari Alquran maupun sunah. Memang, dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar suami istri dibagi dengan masing-masing mendapat jatah 50%. Dalam pasal 97 KHI disebutkan: ‘Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Namun ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum yang paten, jika suami istri sepakat membagi harta dengan prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan. Jika dalam masalah harta gono-gini tidak ada kesepakatan antara suami istri, maka dilihat apakah dalam masyarakat tersebut ada ‘urf (kebiasaan yang berlaku sesuai kondisi) yang berlaku tentang permasalahan harta gono-gini atau tidak.

Jika ada, itulah yang diberlakukan. Jika tidak selesai dengan sulh dan ‘urf, barulah masuk dalam sistem terakhir, yaitu qadha. Qadha sendiri adalah keputusan yang ditetapkan oleh hakim setempat tentang masalah yang disampaikan kepadanya. Dalam kondisi ini seorang hakim harus melihat kepada kondisi suami istri tersebut, untuk bisa menentukan pembagian harta gono-gini secara baik.

Pasangan suami istri (pasutri) yang beragama Islam berdasarkan UU Peradilan Agama boleh mengajukan permohonan cerai talak atau cerai gugat disertai pembagian harta gono gini di pengadilan agama, sehingga proses persidangannya dilakukan bersama-sama. Boleh setelah (diputus) cerai, baru mengajukan harta gono gini boleh diajukan secara bersama-sama. Dasar hukum perceraian dalam Islam diatur Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 132 ayat (1) jo Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam (KHI), ada dua format gugatan yang biasa digunakan terkait dengan proses cerai dan gono gInI:

Pertama, sidang harta bersama didahului dengan putusan pengadilan tentang putusnya hubungan perkawinan karena perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap. Baru kemudian diajukan gugatan harta bersama (gono gini).

Kedua, bisa dilakukan penggabungan antara gugatan cerai dan gugatan harta bersama (gono gini) secara bersama-sama.

Tapi pada prakteknya, seringkali dilakukan sidang cerai dulu, baru diajukan gugatan harta bersama agar proses cerai lebih cepat dibanding kasus cerai yang digabung dengan gugatan harta bersama. Wallaahu alam.

Konsultasi Terkait