Ikhtilat Saat Kegiatan Belajar Mengajar

Pertanyaan  

Assalamu’alaikum ustadz saya seorang mahasiswi baru di salah satu universitas di Jakarta, saya mau bertanya bagaimana cara menyikapi kondisi ikhtilat ketika belajar mengajar yang sulit dihindari? Selain itu juga saya berencana mengikuti organisasi mahasiswa untuk meningkatkan skill tapi di sisi lain saya takut dengan dosa Iktilat/khalwat yang kemungkinan besar akan terjadi, bagaimana saya menyikapi kondisi ini dengan benar?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Idealnya memang seorang muslim bisa menjaga diri dari Ikhtilat di banyak sisi kehidupan. Namun jika ada kondisi sulit menghindarinya seperti di pasar, rumah sakit, bahkan sekolah, maka selama kita bisa menjaga pandangan, pakaian, adab, bicara, dan hati, maka tidak apa-apa. Apalagi jika ada sisi maslahat yang bisa kita raih.

Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya, membuat enam bab tentang peran muslimah dalam peperangan yang dilakukan kaum laki-laki, di antaranya mengobati bahkan menggotong para sahabat yang terluka. Artinya, saat itu terjadi ikhtilat antara sahabat dan shahabiyah yang sulit dihindari.

1. Bab Ghazwil Mar’ah fil Bahr (Peperangan kaum wanita di lautan)

2. Bab Hamli Ar Rajuli Imra’atahu fil Ghazwi Duna Ba’dhi Nisa’ihi (Laki-laki membawa isteri dalam peperangan tanpa membawa isteri lainnya)

3. Bab Ghazwin Nisa’ wa Qitalihinna ma’a Ar Rijal (Pertempuran wanita dan peperangan mereka bersama laki-laki)

4. Bab Hamlin Nisa’ Al Qiraba Ilan Nas fil Ghazwi (Wanita membawa (tempat) minum kepada manusia dalam peperangan)

5. Bab Mudawatin Nisa’ Al Jarha fil Ghazwi (Pengobatan Wanita untuk yang terluka dalam peperangan)

6. Bab Raddin Nisa’ Al Jarha wal Qatla Ilal Madinah (Wanita Memulangkan Pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah)

Dalam kitab Shahih-nya pula, Imam Al Bukhari dalam Bab “Iyadatun Nisaa Ar Rijaal” yang artinya wanita menjenguk kaum laki-laki.

Tertera di sana:

وَعَادَتْ أُمُّ الدَّرْدَاءِ، رَجُلًا مِنْ أَهْلِ المَسْجِدِ، مِنَ الأَنْصَارِ

Ummu Ad Darda menjenguk seorang laki-laki ahli masjid dari kalangan Anshar. (HR. Al Bukhari, 7/116)

Begitu pula ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau menjenguk ayahnya dan Bilal bin Rabah Radhiallahu ‘Anhu yang sedang demam. Padahal Aisyah bukanlah mahramnya Bilal.

‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ، وُعِكَ أَبُو بَكْرٍ وَبِلاَلٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: فَدَخَلْتُ عَلَيْهِمَا، قُلْتُ: يَا أَبَتِ كَيْفَ تَجِدُكَ؟ وَيَا بِلاَلُ كَيْفَ تَجِدُكَ؟

Ketika Rasulullah ﷺ sampai di Madinah, Abu Bakar dan Bilal mengalami demam. Lalu aku masuk menemui keduanya. Aku berkata: “Wahai ayah, bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal bagaimana keadaanmu?” (HR. Al Bukhari No. 5654)

Namun, pembolehan ini terikat oleh syarat bahwa tetap menutup aurat secara sempurna dan aman dari fitnah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/118)

Oleh karena itu, Syaikh Isham Talimah menjelaskan bahwa Ikhtilat ada yang mamnu’ (terlarang), ada yang masyru’ (dibolehkan).

Mamnu’ itu jika bercampur baur laki perempuan:

– tanpa hajat syar’i
– tanpa adab Islami (misal tidak menutup aurat, menjaga ucapan, tabarruj)

Seperti yang terjadi di diskotik, konser-konser, dan semisalnya.

Masyru itu jika ikhtilat tersebut:

– terjadi karena hajat syar’i
– tetap menjaga adab-adab Islami.

Demikian. Wallahu A’lam.