Ikut Merayakan Ulang Tahun

Pertanyaan  

Assalamu’alaykum ustadz, apa hukum merayakan ulang tahun ustadz bila diajak keponakan mau nolaknya takut beliau tersinggung?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Masalah memperingati ulang tahun, baik skup pribadi, atau instansi, dll, adalah khilafiyah ulama kontemporer. Karena memang masalah ini tidak pernah ada pada diskusi ulama salaf. Ini masalah yang baru terjadi di masa ini, lalu muncullah beragam pandangan.

Pihak yang melarang, menganggap ini sebagai tasyabbuh bil kuffar, menyerupai orang kafir. Walau isinya sudah dimodifikasi dengan acara kebaikan, tanpa pesta dan hura-hura, tetaplah tidak boleh. Sebab, syariat telah memerintahkan kita untuk berbeda dengan mereka, bukan hanya dalam urusan agama.

Dalam urusan jenggot, kumis, menyemir rambut, Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam bersabda:

(خَالِفُوا المُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ  (رواه البخارى عن ابن عمر 

“Selisihilah orang-orang musyrik. Peliharalah (jang(an cukur) jenggot dan cukurlah kumis kalian.” (HR. Al-Bukhari  dari Ibn Umar RA)

Dalam menyikapi istri haid, orang Yahudi mengucilkan istrinya sampai tidak mau makan bareng. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memerintahkan untuk bergaul dengan istri Kecuali jima’.

Semua ini menunjukkan bahwa larangan mengikuti orang kafir bukan hanya pada perkara agama, tapi juga perkara kebiasaan duniawi yang khusus yang telah menjadi “brand” mereka. Maka, karena asal dan akarnya dari budaya Barat yang notabene kafir, maka apa pun bentuk HUT, adalah terlarang. Inilah pandangan sebagian ulama zaman ini.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah berkata:

كل هذا منكر، عيدا ً له أو لأمه أو لبنته أو لولده كل هذه التي أحدثوها الآن تشبهاً بالنصارى أو اليهود، لا أصل لها، ولا أساس لها، عيد الأم أو عيد الأب، أو عيد العم أو عيد الإنسان نفسه، أو عيد بنته أو ولده، كل هذه منكرات، كلها بدع، كلها تشبه بأعداء الله، لا يجوز شيء منها أبداً

Semua ini munkar. Merayakan hari jadinya, ibunya, putrinya, atau putranya, semua ini adalah perkara baru yang muncul sekarang yang menyerupai Nasrani atau Yahudi, tidak ada dasarnya dan tidak ada asas dalam agama baginya, baik hari raya bagi ibunya, ayahnya, pamannya, atau dirinya, putrinya, putranya, semua ini munkar, semuanya bid’ah, dan menyerupai musuh Allah, sama sekali tidak boleh selamanya.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjelaskan:

فإن الاحتفال بمناسبة أعياد الميلاد، عادة دخيلة على المسلمين، ففعلها تقليد لأعداء الله تعالى وتشبه بهم، ومن تشبه بقوم فهو منهم، فلا يجوز الاحتفال بها بأي نوع من أنواع ، سواء كان خفيفاً أو كبيراً، لما في ذلك من التشبه بالمشركين الذين أمرنا الله تعالى بمخالفتهم والابتعاد عن اتباع ما سنوه من سنن.

Sesungguhnya perayaan yang terkait dengan hari ulang tahun telah menjadi kebiasaan yg merasuk kepada kaum muslimin. Maka, melakukannya sama juga mengikuti musuh-musuh Allah dan menyerupai mereka. Dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari kaum itu. Maka, tidak boleh merayakannya dengan cara dan model apa pun, baik kecil atau besar, sebab hal itu ada penyerupaan dengan kaum musyrikin yg mana Allah memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka dan menjauhi jalan hidup mereka. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 60980)

Tidak semua ulama setuju dengan pendapat di atas, yang dinilai terlalu memukul rata. Sebab, ada di antara kaum muslimin yang menjadikan hari lahirnya sebagai sarana untuk muhasabah, napaktilas, dan bersyukur atas nikmat yang Allah Ta’ala berikan. Bukan untuk membuat acara-acara yang hura-hura, apalagi disebut “perayaan”, bukan. Mereka anggap rincian seperti ini mesti diperhatikan, sebab dalam hukum beda sedikit tetaplah beda. Asy Syaikh Dr. Samiy bin Abdul Aziz Al Masjid Hafizhahullah, seorang dosen di Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud – Riyadh, menjelaskan:

الأظهر –والله أعلم- أن مجرد التذكير بيوم ميلاد أحد الأعضاء لا يدخل في بدع الأعياد، فمجرد حساب أيام العمر وتذكر يوم الميلاد كل عام لا يضفي بدعة عيد على أعياد الإسلام، كيف وقد قال الله –في معرض المن والتذكير بنعمته-:”هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نوراً وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب” [يونس: 5]، “وجعلنا الليل والنهار آيتين فمحونا آية الليل وجعلنا آية النهار مبصرة لتبتغوا فضلاً من ربكم ولتعلموا عدد السنين والحساب” [الإسراء: 12].
كذلك تذكير المرء بما يوافق يوم ميلاده من العام الجديد لا يعدو أن يكون مجرد تذكير، ليس إلا!.
أفلا يحسن مع التذكير أن يُدعى له ببركة العمر، ويذكر بوجوب المبادرة بالتوبة ومحاسبة النفس، وانتهاز بقية العمر في طاعة الله، والتحذير من التسويف، والاعتبار بسرعة مضي الأعوام…إلخ.

وهذا الصنيع بمجرده –والذي هو مجرد تذكير ودعوة- لا يمكن أن يطلق عليه اسم العيد، بل لا أرى فرقاً بين التذكير والتهنئة ببداية عام هجري جديد، والتذكير والتهنئة بيوم الميلاد، أليست هي تذكيراً باكتمال عام وبداية عام جديد في عمر الإنسان؟

Pendapat yang benar -Wallahu alam- bahwa semata-mata mengingat hari kelahiran seseorang tidaklah termasuk dikatakan perayaan yang bid’ah. Maka, semata-mata introspeksi hari-hari pada usianya, dan mengingat hari kelahiran pada tiap tahunnya bukanlah menambah bid’ah perayaan di hari-hari raya Islam, bagaimana bisa disebut bid’ah padahal Allah Ta’ala telah berfirman tentang pemberian dan mengingatkan ni’matNya:

Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). (QS. Yunus: 5)

Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. (QS. Al Isra: 12)

Demikian juga seseorang yang memperingati hari kelahirannya dengan sebatas untuk mengingat tahun kelahirannya di tahun yang baru, tidaklah dihitung semata-mata mengingat, hanya itu tidak lainnya. Bukankah hal yang baik bersamaan peringatan itu dia diajak untuk hal yang membuat berkahnya umur, mengingat kewajiban bersegera taubat, muhasabah, mengisi sisa umur dengan ketaatan, dan memperingatkan dari sikap menunda-nunda, dan mengambil pelajaran dari begitu cepatnya tahun-tahun berjalan, dst.

Perbuatan ini -semata-mata mengingat dan ajakan kebaikan- tidak mungkin disebut perayaan. Bahkan saya melihat tidak ada perbedaan antara peringatan ini dengan berbahagia (tahniah) dengan datangnya tahun baru Hijriyah. Bukankah keduanya sama-sama mengingat telah sempurnanya setahun dengan mulainya tahun yang baru?

Demikian. Para ulama sepakat tentang haramnya perayaan ulang tahun yang diisi dengan kemungkaran, nyanyi-nyanyi, tiup lilin, petasan, dan hura-hura lainnya. Tapi, mereka tidak sepakat jika diisi dengan kebaikan semata-mata mengingat dan titik tolak perbaikan diri. Sebagain tetap melarang, sebab itu sama saja bagi mereka; tasyabbuh bil kuffar, dan untuk muhasabah tidaklah menunggu dihari ulang tahun.

Sementara ulama lain, tidak mempermasalahkan jika semata-mata untuk mengingat dan berbahagia atas apa yang Allah berikan, untuk kemudian berbenah diri, dst. Itu bukan hari raya dan bukan pula bid’ah dalam agama. Tidak melakukannya pun tidak masalah, sebagaimana melakukannya pun tidak masalah.

Demikian. Wallahu a’lam.