Pertanyaan
Hukum memasang foto di dinding rumah ?
Tentang hukum fotografi (makhluk bernyawa) para ulama kita telah berselisih pendapat, ada yang mengharamkan karena itu termasuk keumuman hadits larangan untuk menggambar, kecuali untuk kebutuhan mendesak seperti KTP, Pasport, dan lainnya.
Ada pula yang membolehkan selama isi fotonya adalah hal-hal yang baik, tidak diagungkan, bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan informasi. Namun, yang benar adalah kelompok kedua, sebab fotografi bukanlah menggambar atau melukis, melainkan bayangan manusia itu sendiri, sebagaimana bercermin.
Jadi, sumber penyebab perbedaan pendapat ini adalah perbedaan para ulama ini dalam mempersepsikan fotografi. Berkata Fadhilatus Syaikh As Sayis: “Anda berharap mengetahui hukum fotografi, maka kami katakan, ‘Mungkin menurut anda hukumnya sama dengan hukum gambar di pakaian/kain, dan anda telah mengetahui ada nash yang mengecualikannya. Anda juga mengatakan, ‘Sesungguhnya fotografi bukanlah menggambar, tetapi menahan (merekam-pent) gambar, sebagaimana gambar di cermin, tidak mungkin anda mengatakan yang di cermin itu adalah gambar (lukisan), dan sesungguhnya itu satu bentuk (dengan aslinya).
Apa-apa yang dibuat oleh alatut tashwir (tustel) adalah gambar sebagaimana di cermin, tujuan dari ini adalah bahwa alat tersebut menghasilkan dengan pasti bayangan nyata yang terjadi padanya (negatif film – klise), sedangkan cermin tidak seperti itu. Kemudian klise itu diletakkan pada zat asam tertentu, maka tercetaklah sejumlah gambar/foto (proses ini disebut cuci cetak-pent).
Jelas ini secara hakiki bukanlah menggambar. Sebab ini sekadar upaya memperjelas dan menampakkan gambar yang sudah ada, supaya tertahan dari sinar matahari langsung (agar tidak terbakar –pent). Mereka berkata: “Sesungguhnya seluruh foto yang ada bukanlah hasil dari pemindahan (gambar) dengan perbuatan sinar dan cahaya, selamanya tidak ada larangan dalam memindahkan dan mengasamkannya, dan selamanya di dalam syariat yang luas ini foto itu dibolehkan, sebagaimana pengecualian gambar pada pakaian/kain, tidak ada dalil secara khusus yang mengharamkannya. Telah tampak bahwa manusia menjadikannya sebagai barang kebutuhan yang sangat penting bagi mereka.” (Ayatul Ahkam lis Sayis, Juz. 4, hal. 61) Sementara Syaikh Ali Ash Shabuni sendiri cenderung mengharamkan fotografi, kecuali darurat kebutuhan. Beliau berkata: Aku (Syaikh Ali Ash Shabuni) mengatakan, “Sesungguhnya fotografi tidaklah keluar dari prinsip larangan menggambar, tidak juga keluar dari apa-apa yang oleh ayat disebut shurah (gambar/lukisan), dan orang yang membuatnya oleh bahasa dan tradisi disebut mushawwir (pelukis).
Jika pun foto tidak termasuk yang dimaksud oleh ayat yang jelas ini -lantaran ia tidak dibuat langsung oleh tangan, dan tidak ada unsur penyerupaan terhadap ciptaan Allah- namun ia tidak keluar dari keumuman maksud dari pembuatan gambar/lukisan (tashwiir). Maka hendaknya pembolehan foto dibatasi atas dasar kebutuhan mendesak (dharurah), dan karena jelas manfaatnya. Sebab, telah terjadi kerusakan besar yang dihasilkan oleh foto, sebagaimana keadaan majalah-majalah hari ini yang telah menyemburkan racunnya kepada pemuda-pemuda kita, sehingga lahirlah fitnah (bencana) dan kelalaian, di mana terpampang foto-foto bentuk tubuh wanita dan wajah-wajah mereka, dengan kepalsuan dan penampilan yang merusak agama dan akhlak.
Adapun foto-foto telanjang, pemandangan yang rendah dan hina, dan rupa-rupa yang membawa fitnah (kerusakan) yang terlihat pada majalah-majalah porno, di mana kebanyakan halamannya mengandung kegilaan, maka akal tidak ragu atas keharamannya, walau gambar tersebut bukan buatan tangan secara langsung, namun kerusakan dan bencana yang dihasilkannya lebih besar dibanding lukisan dengan tangan.
Kemudian, sesungguhnya ‘ilat (alasan) pengharaman foto bukan karena ia menyerupai dan menyamai makhluk Allah, tetapi karena adanya titik persamaan dengan jenis gambar yang telah diberi peringatan, yaitu bahwa watsaniyah (paganisme – keberhalaan) yang merasuki umat-umat terdahulu terjadi karena melalui jalan ‘gambar’. Di mana jika orang shalih mereka wafat, mereka membuat gambarnya (patung) dan mengabadikannya untuk mengingatnya dan mengikutinya.
Kemudian datang generasi setelah mereka, menyembah patung tersebut. Maka apa-apa yang dilakukan manusia, menggantung foto besar yang diberi perhiasan di dinding rumah, walau sekadar untuk kenang-kenangan, dan tidak dibuat dengan tangan (bukan lukisan), ini termasuk yang tidak dibolehkan oleh syariat. Karena, nantinya berpotensi untuk mengagungkannya dan menyembahnya, sebagaimana yang dilakukan Ahli Kitab terhadap para nabi dan orang-orang shalih mereka. Maka pemutlakan kebolehan foto dengan alasan ia bukanlah melukis melainkan menahan (merekam) bayangan. Seharusnya pembolehannya terikat yaitu karena dharurat kebutuhan seperti foto identitas pribadi, dan semua hal yang berkaitan dengan maslahat dunia yang dibutuhkan manusia. Wallahu A’lam