Hukum Jual Beli di Masjid

Pertanyaan  

Assalamu’alaykum wr wb

Mau tanya ustadz. Ada hadist yang menyebutkan bahwa haram berjual beli di dalam masjid. Tapi terkadang saya temui ada Masjid yang memiliki koperasi, yang 1 bangunan dengan Masjid tersebut. Misal, ruang utama di Lt. 2, lantai dasar/1 tempat wudhu, dan ada koperasi yg menjual buku dan makanan. Bagaimanakah hukumnya?

Jazakallah

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

 

Bismillahirrahmanirrahim ..

Kami bagi menjadi dua pertanyaan ya:

  1. Hukum Jual Beli di Masjid?
  2. Apakah ruangan yang menyatu dengan dinding masjid juga termasuk masjid?

 

Jual Beli di Masjid

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

“Jika kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.” (HR. At Tirmidzi No. 1336, katanya: hasan gharib. Hadits ini dishahihkan Imam Al Hakim, dalam Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 2339)

 

Umar Radhiallahu ‘Anhu pernah melihat seorang bernama Al Qashir sedang berdagang di masjid, maka beliau berkata:

يَا هَذَا إِنَّ هَذَا سُوقُ الآْخِرَةِ فَإِِنْ أَرَدْتَ الْبَيْعَ فَاخْرُجْ إِِلَى سُوقِ الدُّنْيَا .

“Hei ..! sesungguhnya ini adalah pasar akhirat, jika engkau mau jualan, keluarlah ke pasar dunia!” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,  17/179)

Tertulis dalam Al Muwaththa’, dari Imam Malik:

أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ وَمَا تُرِيدُ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ قَالَ عَلَيْكَ بِسُوقِ الدُّنْيَا وَإِنَّمَا هَذَا سُوقُ الْآخِرَةِ

 

“Bahwa telah sampai kepadanya tentang Atha’ bin Yasar, bahwa jika lewat di hadapannya sebagian orang yang berjualan di masjid, dia memanggilnya dan bertanya: “Kamu bawa apa? Mau apa?” Jika dikabarkan kepadanya bahwa orang tersebut mau berdagang, beliau berkata: “Hendaknya  kamu ke pasar dunia, ini adalah pasar akhirat.” (Imam Malik, Al Muwaththa, No. 421)

 

Hadits di atas  menunjukkan larangan jual beli di masjid, bahkan celaan bagi pelakunya. Tetapi apakah larangan ini bermakna haram? Zahirnya memang demikian, tetapi bagaimanakah penjelasan para ulama? Jumhur (mayoritas)  mereka mengatakan makruh bukan haram, ada pun Imam Ahmad, ada dua riwayat darinya; mengharamkan dan memakruhkan.

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

وَاخْتَلَفُوا فِي صِفَةِ الْمَنْعِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِِلَى الْكَرَاهَةِ ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى التَّحْرِيمِ .

“Mereka berbeda pendapat tentang sifat larangannya, menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah adalah makruh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) mengharamkannya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 17/179. Maktabah Misykah)

Berkata Imam At Tirmidzi Rahimahullah:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ

“Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka memakruhkan jual beli di masjid. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sedangkan, ulama lainnya memberikan keringanan (boleh) jual beli di masjid.” (Sunan At Tirmidzi  lihat penjelasan No. 1336)

 

Apa pun yang Rasulullah doakan: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.” Jelas menunjukkan ketidaksukaannya dengan aktifitas perniagaan di masjid. Maka, mana mungkin dikatakan boleh?

Imam Abu Hanifah membolehkannya tetapi jika barang dagangannya dibawa ke masjid maka itu makruh tanzih (makruh mendekati boleh namun sebaiknya tinggalkan). Sedangkan Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i memakruhkannya. Sedangkan Imam Ahmad mengharamkannya. (Lihat Fiqhus Sunnah, 3/87. Darul Kitab Al ‘Arabi)

 

Sementara itu, Imam Amir Ash Shan’ani mengatakan hadits ini menunjukkan keharaman jual beli di masjid, dan kewajiban bagi yang melihatnya untuk mengatakan: Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu. Alasannya, karena nabi mengatakan: Masjid dibangun bukan untuk itu. Apakah jual beli ini sudah dalam bentuk akad? Al Mawardi mengatakan: telah disepakati, bahwa  maksud larangan itu adalah akad jual beli.  (Subulus Salam, 2/46)

Jadi, keharaman berlaku bagi akad jual beli. Sedangkan jika baru tahap tawar menawar atau berbicara bisnis, tidak termasuk keharaman.

 

Sementara Imam Asy Syaukani mengatakan, bahwa jumhur (mayoritas) ulama menafsirkan makna larangan dalam hadits tersebut adalah  makruh jual beli di masjid. Al ‘Iraqi mengatakan bahwa telah ijma’ (aklamasi) jika telah terjadi akad jual beli di masjid, maka akad tersebut tidak boleh dibatalkan.

Imam As Syaukani lebih cenderung pada pendapat yang mengharamkan, sebab jika makna larangan adalah makruh, maka itu harus ditunjukkan oleh qarinah (korelasi)nya. Sedangkan maksud dari pengucap dengan larangan secara hakiki adalah menunjukkan haramnya. Menurutnya inilah yang benar. Ada pun kesepakatan ulama bahwa jual beli tidak boleh dibatalkan dan tetap sah, maka itu tidak menafikan keharamannya. Hal itu bukan qarinah yang menunjukkan larangan adalah bermakna makruh.  Sebagian sahabat Asy Syafi’i ada yang tidak memakruhkan jual beli di masjid, tetapi hadits ini membantah pendapat mereka. Para sahabat Abu Hanifah berbeda dengan pandangan umumnya, kebanyakan memakruhkan dan sedikit di antara mereka tidak memakruhkannya, namun ini pendapat yang tidak berdalil. (Nailul Authar,  2/158-159. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

 

Maka, pendapat yang lebih hati-hati adalah akad jual beli di masjid adalah haram, mengingat larangan hadits tersebut, dan tidak ada dalil lain yang mengalihkannya menjadi makruh atau boleh. Ada pun bila belum terjadi akad, baru sekedar ‘ngobrol’ atau tawar menawar, maka tidak terlarang. Tetapi, jika sudah terlanjur terjadi akad jual beli di masjid, maka menurut ijma’ ulama akadnya tidak boleh di batalkan alias tetap sah, walau itu haram.

Sedangkan batasan masjid adalah tempat yang sudah layak untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid, maka itu adalah masjid. Maka, tempat parkir, taman, halaman masjid, aula, atau ruang serba guna bukan termasuk di dalamnya.

 

Apakah Ruangan Yang Berhubungan dengan masjid termasuk masjid?

Pada bangunan masjid, ada bagian yang diistilahkan Ar Rahbah – الرحبة, yaitu bagian lapang   yang menyatu dengan masjid, baik itu terasnya, atapnya, termasuk basement jika ada.

Imam Ibnu Hajar berkata tentang makna Ar Rahbah ini:

 هِيَ بِنَاء يَكُون أَمَام بَاب الْمَسْجِد غَيْر مُنْفَصِل عَنْهُ ، هَذِهِ رَحَبَة الْمَسْجِد

Itu adalah bangunan yang berada di depan pintu masjid yang tidak terpisah dari masjid, inilah makna Ar Rahbah-nya masjid. (Fathul Bari, 13/155)

 

Para ulama berbeda pendapat, apakah Ar Rahbah termasuk bagian dari masjid atau tidak. Jika dia TERMASUK bagian masjid, maka berlakulah hukum-hukum masjid, termasuk tidak bolehnya jual beli di situ. Jika BUKAN TERMASUK masjid, maka boleh jualan di situ, karena bukan area masjid.

 

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

فَاَلَّذِي يُفْهَمُ مِنْ كَلامِ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ فِي الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ أَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ الْمَسْجِدِ , وَمُقَابِلُ الصَّحِيحِ عِنْدَهُمْ أَنَّهَا مِنْ الْمَسْجِدِ , وَجَمَعَ أَبُو يَعْلَى بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ بِأَنَّ الرَّحْبَةَ الْمَحُوطَةَ وَعَلَيْهَا بَابٌ هِيَ مِنْ الْمَسْجِدِ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إلَى أَنَّ رَحْبَةَ الْمَسْجِدِ مِنْ الْمَسْجِدِ , فَلَوْ اعْتَكَفَ فِيهَا صَحَّ اعْتِكَافُهُ

Maka, yang bisa difahami dari perkataan kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, menurut pendapat yang  sah sebagai pendapat madzhab adalah Ar Rahbah bukan termasuk masjid, dan ada pun pendapat mereka  yang berlawanan dengan pendapat ini bahwa  Ar Rahbah adalah bagian dari masjid. Abu Ya’la memadukan di antara dua riwayat yang berbeda ini bahwa Ar Rahbah yang termasuk masjid merupakan Ar Rahbah (bagian lapang) yang diberikan pagar (batasan/tembok) dan di atasnya dibuat pintu. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 5/224)

 

Manakah pendapat yang lebih kuat?  Imam Ibnu Hajar berkata :

 وَوَقَعَ فِيهَا الِاخْتِلَاف ، وَالرَّاجِح أَنَّ لَهَا حُكْم الْمَسْجِد فَيَصِحّ فِيهَا الِاعْتِكَاف

Telah terjadi perbedaan pendapat tentang ini, namun pendapat yang lebih kuat adalah Ar Rahbah memiliki hukum-hukum masjid, dan SAH I’tikaf di dalamnya. ( Fathul Bari, 13/155)

 

Imam Al ‘Aini menerangkan tentang Ar Rahbah:

وهي الساحة والمكان المتسع أمام باب المسجد غير منفصل عنه وحكمها حكم المسجد فيصح فيها الاعتكاف في الأصح بخلاف ما إذا كانت منفصلة

Ar Rahbah adalah lapangan atau tempat yang luas di depan pintu masjid yang tidak terpisah dari masjid, hukumnya sama dengan hukum masjid, maka sah beri’tikaf di dalamnya menurut pendapat  yang lebih benar dari perbedaan pendapat yang ada, selama dia masih bersambung dengan masjid. (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 35/254)

 

Imam An Nawawi menjelaskan pula:

وقد نص الشافعي علي صحه الاعتكاف في الرحبة قال القاضي أبو الطيب في المجرد قال الشافعي يصح الاعتكاف في رحاب المسجد لانها من المسجد

Imam Asy Syafi’i telah mengatakan bahwa SAH-nya I’tikaf di Ar Rahbah. Al Qadhi Abu Ath Thayyib berkata dalam Al Mujarrad: “Berkata Asy Syafi’i: I’tikaf sah dilakukan di bangunan yang menyatu dengan masjid, karena itu termasuk bagian area masjid. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/507)

Inilah pendapat yang dianut oleh  Hasan Al Bashri, Zurarah bin Abi Aufa, Al Bukhari, dan kuatkan oleh Imam Ibnu Hajar, Imam An Nawawi, Imam Al ‘Aini, Imam Ibnul Munayyar, dan lainnya.  Juga Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Abdul Aziz Alu Asy Syaikh, dan lainnya.

 

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

وَيَجُوزُ لِلْمُعْتَكِفِ صُعُودُ سَطْحِ الْمَسْجِدِ ؛ لِأَنَّهُ مِنْ جُمْلَتِه

Dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk menaiki atap masjid karena itu bagian dari bangunannya. (Al Mughni, 6/227)

Kebolehan i’tikaf di atap masjid, tidaklah diperselisihkan oleh imam madzhab. (Lihat Al Mausu’ah, 5/224, juga  6/228)

Atap adalah bagian yang menyatu dengan masjid, sebagaimana basement yang menyatu dengannya, tidak ada bedanya. Hanya saja yang satu di atas, dan yang satu dibawah.

Jadi, selama bangunan itu (baik tegelnya atau dindingnya)  masih menyatu dengan masjid –seperti teras, atap, ruang samping mihrab, basement, menara-  maka dia termasuk masjid, dan terlarang jualan di sana. Inilah pendapat yang lebih kuat di antara dua perselisihan yang ada, dan pendapat ini sesuai dengan kaidah:

الحريم له حكم ما هو حريم له

Sekeliling dari sesuatu memiliki hukum yang sama dengan hukum yang berlaku pada sesuatu itu sendiri. (Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 125)

 

Sekian. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Sallam.

Wallahu A’lam