Beramal untuk yang Sudah Meninggal

Pertanyaan  

Apakah kita bisa beramal diniatkan untuk orang tua kita yang sudah meninggal?

Jawaban
Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Alhamdulillah allahumma shalli alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad

Pada dasarnya setiap orang bertanggungjawab atas dirinya berdasarkan amalnya masing-masing. Amal dirinya tidak ditanggung oleh orang lain sebagaimmana dosa-dosanya pun tidak ditanggung oleh orang lain. Setiap kita wajib beramal sebagaimana ajaran Allah dan Rasul-Nya dan jangan sekali-kali mengandalkan amal orang lain untuk kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah, walaupun dia memiliki nasab yang mulia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

  مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“Siapa yang diperlemah oleh amalnya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 4867)

Namun demikian, disebutkan dalam syariat beberapa perkara yang dapat dilakukan oleh orang yang masih hidup sesuatu yang dinilai memberikan manfaat bagi orang yang telah wafat. Namun hal ini sifatnya tidaklah mutlak. Jangan kita gambarkan masalahnya seperti halnya dalam urusan dunia dimana seseorang dapat memberi apasaja yang dapat dia beri. Hal ini tentu saja harus memiliki landasan dalam syariat berdasarkan pemahaman para ulama. Di sisi lain, kalaupun disebutkan bahwa ada beberapa amal yang dilakukan untuk orang yang sudah meninggal, tentu saja syarat dasarnya adalah adanya keimanan, baik bagi yang beramal, maupun bagi yang sudah wafat.

Adapun amal yang dapat dilakuan oleh orang yang hidup untuk orang yang sudah meninggal;

  1. Berdoa. Inilah amal yang paling nyata memberikan manfaat bagi yang sudah meninggal dunia. Al-Quran dan hadits terdapat doa-doa untuk orang yang sudah wafat, hal ini berikan isyarat kuat bahwa doa orang yang hidup bermanfaat bagi mereka yang sudah wafat.

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat jenazah mencontohkan doa-doa yang dapat dibaca untuk orang yang sudah wafat, di antaranya;

اللهُمَّ، اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ – أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ

“Ya Allah, ampunilah dia, sayangi dia, maafkan dia, muliakan tempatnya, luaskan tempat masuknya, mandikan dia dengan air, salju dan embun, bersihkan dosa-dosaya sebagaiman Engkau bersihkan baju putih dari kotoran, ganti rumahnya dengan rumah yang lebih baik, keluarganya dengan keluarga yang lebih baik, pasangannya dengan pasangan yang lebih baik, masukkan dia ke dalam surge dan lindungi dia dari azab neraka.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, Bab Ad-Dua Lil Mayyit Fi Ashshalah, no. 963)

  1. Haji dan umrah. Di antara amal yang dapat dilakukan untuk orang yang sudah wafat adalah melakukan haji dan umrah untuk mereka. Secara garis besar para ulama membolehkan pelaksanaan haji dan umrah untuk orang lain. Karena kedua ibadah ini boleh diwakilkan orang lain (dengan syarat tertentu) disamping dia termasuk ibadah fisik dan harta.

Bahkan ini sifatnya wajib jika orang yang wafat tersebut semasa hidupnya termasuk orang yang sudah wajib melakukan haji, hanya saja karena satu dan lain sebab dia belum melaksanakannya hingga datang ajal. Maka ahli warisnya harus mengambil harta orang tersebut secukupnya sebelum dibagikan ke ahli waris, lalu ditunaikan haji untuknya, baik dilakukan oleh ahli waris atau orang lain. Adapun haji dan umrah yang sifatnya sunah, sebagian ulama membolehkannya dan berpendapat bahwa hal tersebut bermanfaat bagi orang yang sudah wafat dengan anggapan, jika untuk perkara wajib saja dapat dilakukan apalagi yang sifatnya sunah.

Beberapa hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebolehan haji atau umrah untuk orang lain, di antaranya;

عَنْ أَبِي رَزِينٍ الْعُقَيْلِيِّ أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلَا الْعُمْرَةَ وَلَا الظَّعْنَ قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ

Dari Abu Razin Al-Uqaili, sesungguhnya dia mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua renta, tidak dapat melaksanakan haji dan umrah dan menempuh perjalanan.’ Beliau bersabda, ‘Lakukan haji dan umrah untuk ayahmu.” (HR. Tirmizi, Sunan At-Tirmizi, Bab Maa jaa fil haj an asyaikhil kabir wal mayit, no. 852, Sunan An-Nasai, no. 2598, Musnad Ahmad, no, 15595)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

“Dari Ibnu Abas radhiallahu anhuma, sesungguhnya seorang wanita dari suku Juhainah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Sesungguhnya ibuku telah bernazar untuk haji, namun dia belum melaksanakan haji hingga wafat, apakah boleh aku laksanakan haji untuknya?’ Beliau menjawab, ‘Lakukanlah haji untuknya, bukankah seandainya ibumu berhutang engkau yang akan melunasinya, maka lunasilah (hutang) kepada Allah, karena Allah lebih berhak untuk ditepati janji.” (Muttafaq alaih; Shahih Bukhari, no. 1720, Shahih Muslim, no. 1939)

  1. Sedekah. Bersedekah untuk orang yang sudah wafat disepakati para ulama sebagai perkara yang bermanfaat bagi mereka. Hal ini berdasarkan hadits muttafaq alaih;

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ، إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ

“Dari Aisyah sesungguhnya seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu saya meninggal dunia dan tidak sempat berwasiat, dan saya menduga jika dia dapat berbicara maka dia akan bersedekah, apakah dia mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya?’ Beliau bersabda, ‘Ya.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 1004)

Adapun perkara-perkara selain yang disebutkan di atas, seperti membaca Al-Quran, shalat, puasa, dsb, diperselisihkan oleh para ulama. Ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa pahalanya tidak sampai,  ada sebagian lain yang mengatakan pahalanya sampai kepada ahli kubur. Perbedaan ini lahir karne  tidak ada dalil yang secara khusus membicarakan hal tersebut, disamping bahwa ibadah-ibadah tersebut bersifat badaniah saja yang secara umum tidak dapat diwakilkan. Selayaknya dalam hal ini kaum muslimin menjaga sikap terhadap saudaranya, tidak saling berbantah-bantahan apalagi saling mencela. Karena masing-masing pendapat terdapat ulama yang mendukungnya.  Wallahu a’lam.