Niat Sholat Ghaib untuk Pria dan Wanita

Pertanyaan  

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh ustadz jika dalam satu hari ada beberapa yang meninggal, kemudian yang meninggal ada laki-laki dan perempuan, apakah sholat gaibnya satu-satu atau bisa digabung?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man Hasan, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Shalat ghaib itu disyaratkan. Berkata Al Ustadz Dr. Su’ud Abdullah Al Funaisan:

فالحنفية والمالكية لا يجوزون الصلاة على الميت الغائب وهي رواية في مذهب أحمد. ووجه ذلك عندهم أنه لم ينقل عن الرسول صلى الله عليه وسلم أنه صلى صلاة الغائب على غير النجاشي ، ويرون أن صلاة الغائب خاصة به، وقالوا أيضا أنه مات كثير من الصحابة خارج المدينة ولم ينقل أن الرسول – صلى الله عليه وسلم – صلى عليهم أو أمر بذلك. وذهبت الشافعية والحنابلة إلى مشروعية الصلاة على الميت الغائب وتمسكوا بصلاة الرسول – صلى الله عليه وسلم – وصحابته على النجاشي عند موته ولا يرون خصوصيتها به لعدم النص على ذلك، وقالوا : الأصل في الأحكام العموم وعدم الخصوصية. والذي يظهر لي – والله أعلم – بعد النظر والتأمل في النصوص: أن صلاة الغائب جائزة إذا كان المتوفى له شأن بين المسلمين في الصلاح والعلم أو الدعوة إلى الله، أو كان زعيما وأميراً – كما هي الحال في النجاشي – رحمه الله – . أما إذا كان الميت من آحاد الناس وعامتهم فلا تشرع صلاة الغائب عليه حينئذ .

Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan tidak bolehnya shalat kepada mayit yang ghaib, dan ini juga satu riwayat dari pendapat Ahmad. Alasan mereka adalah karena tidak pernah diriwayatkan dari Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat ghaib kepada selain Najasyi, mereka berpendapat bahwa shalat ghaib adalah khusus bagi Najasyi. Mereka juga mengatakan, bahwa para sahabat banyak yang wafat di luar Madinah, tetapi tidak ada riwayat yang menyebut bahwa beliau melakukan shalat ghaib atau memerintahkan hal itu. Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat disyariatkannya shalat ghaib, berdasarkan riwayat shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama sahabatnya untuk Najasyi ketika hari wafatnya. Mereka tidak menilai bahwa ini khusus bagi dia saja, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan itu. Mereka mengatakan: asal dari hukum adalah keumumannya, tidak secara khusus. Adapun yang benar menurutku adalah –wallahu a’lam- setelah memperhatikan dan melihat nash-nash yang ada; shalat ghaib adalah boleh jika yang wafat itu tinggal bersama kaum muslimin dalam keadaan baik, berilmu, dan penyeru dakwah ilallah, atau dia seorang pemimpin dan penguasa, sebagaimana begitulah keadaan Najasyi Rahimahullah. Sedangkan jika yang wafat adalah salah satu dari manusia dan rakyat kebanyakan, maka saat itu tidak disyariatkan shalat ghaib. (Al Khulashah, 2/223).

Berbeda dengan di atas, ulama lain mengatakan shalat ghaib juga berlaku bagi umat Islam secara umum. Disebutkan dalam Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid juga:

فإن الصلاة على الغائب (أي: المسلم الذي مات في بلد آخر) جائزة، فقد روى الشيخان صلاة النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة معه على النجاشي لما مات في الحبشة. وتصلى صلاة الغائب على كل مَن تُصلى عليه صلاة الجنازة، وهو: كل مسلم مات: ذكراً كان أم أنثى، صغيراً كان أم كبيراً، باتفاق الفقهاء.

Sesungguhnya shalat ghaib [yaitu shalat kepada muslim yang wafat di negeri lain] adalah boleh. Telah diriwayatkan oleh Syaikhan [Bukhari dan Muslim] tentang shalatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat bersamanya terhadap mayat Najasyi yang wafat di Habasyah. Dilakukannya shalat ghaib adalah untuk setiap orang yang dishalatkan jenazahnya, dia adalah setiap muslim yang wafat, baik laki-laki atau wanita, anak-anak atau orang tua, menurut kesepakatan para fuqaha. (Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid, 2/141)

Demikianlah perbedaan pendapat para fuqaha dalam hal ini. Pandangan yang mengatakan bahwa shalat ghaib boleh dilakukan untuk setiap muslim adalah pendapat yang lebih kuat. Insya Allah. Inilah pendapat Syafi’iyah, Hanabilah, dan lainnya.

Ada beberapa alasan:

– Tidak ada dalil yang menunjukkan khusus buat Najasyi dan khusus buat tokoh saja. Nash yang ‘am (global – umum) mesti dipakai selama yang khas (khusus-spesifik) tidak ada.

– Walaupun Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sekali melakukan shalat ghaib, dan tidak pernah melakukannya kepada mayat lainnya, itu sama sekali tidak menghilangkan nilai pensyariatannya. Pengulangan bukanlah syarat untuk pensyariatan sebuah amalan. Syariat shalat ghaib tetaplah berlaku selama belum ada yang menasakh (menghapus)-nya, walaupun dalam sejarahnya Nabi hanya melakukan sekali seumur hidupnya.

– Pensyariatan shalat ghaib untuk semua mayit muslim di tempat lain, adalah lebih sesuai dengan rahmat dan keadilan Islam yang tidak pilih kasih bagi umatnya. Adapun bagi mayit muslim yang berada di negeri kafir, dan di sana tidak ada yang menshalatkannya, maka wajib -bukan hanya boleh- bagi muslim di negeri lain yang mengetahuinya untuk menshalatkan secara ghaib, sebab shalat ghaib saat itu seperti shalat jenazah, yakni fardhu kifayah. Adapun jika mayit tersebut tinggal di negeri muslim, dan sudah ada yang menshalatkannya maka gugurlah kewajiban yang lainnya, termasuk shalat ghaib. Gugur kewajiban bukan berarti tidak boleh dilaksanakan.

Jika di suatu daerah ada beberapa orang yang wafat, cukup bagi seseorang shalat ghaibnya sekali saja. Dengan mendoakan dhomir jamak: Allahummaghfirlahum warhamhum, dst.

Demikian. Wallahu a’lam.

Konsultasi Terkait