Bagaimana Duduk Bertasyahud Ketika Masbuq

Pertanyaan  

  1. Bagaimana duduk bertasyahud kalau kita masbuk, imamnya tasyahud terakhir sementara kita masih mau nambah, apakah bacaan juga dihabiskan bersama imam?
  2. Apakah sah shalat kita kalau dibawa Sajadah ada tai burung yang suka bersarang di masjid?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Bismillahirrahmanirrahim …

1- Ketika seorang makmum bergabung di saat Imam sedang duduk tasyahud akhir, pada shalat yang tiga atau empat rakaat, apa yang dibaca oleh makmum tersebut?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat; tetap bacaannya sama dengan tasyahud awal, tanpa ada tambahan apa pun. Pendapat lainnya, sama seperti tasyahud akhir sebagaimana bacaan imam.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وإذا أدرك بعض الصلاة مع الإمام، فجلس الإمام في آخر صلاته لم يزد المأموم على التشهد الأول بل يكرره نص عليه أحمد فيمن أدرك مع الإمام ركعة قال: يكرر التشهد، ولا يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم، ولا يدعو بشيء مما يدعى به في التشهد الأخير لأن ذلك إنما يكون في التشهد الذي يسلم عقيبه، وليس هذا كذلك

Jika seseorang makmum mendapati imam sedang duduk di tasyahud akhir, maka makmum tersebut TIDAK USAH MENAMBAH bacaan apa-apa dari bacaan tasyahud awal, tetapi hendaknya dia mengulang-ulangnya. Hal itu seperti yang dikatakan Imam Ahmad tentang orang yang mendapatkan imam pada satu rakaat (akhir), Beliau berkata: “Hendaknya mengulang-ulang tasyahudnya, tanpa bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak pula berdoa apa pun sebagaimana pada doa setelah tasyahud akhir, sebab hal itu hanya pada tasyahud yang setelah itu adanya salam. Sedangkan ini tidak seperti itu.”

(Al Mughni, 1/386)

Sementara Syafi’iyyah mengatakan hendaknya makmum membaca tasyahud seperti bacaan tasyahud akhir juga, sebagaimana yang dibaca Imam.

Imam Al Baujairimi Rahimahullah mengatakan:

أما المسبوق إذا أدرك ركعتين من الرباعية فإنه يتشهد مع الإمام تشهده الأخير، وهو أول للمأموم فلا يكره الدعاء له بل يستحب

Ada pun makmum yang masbuq, jika dia mendapatkan dua rakaat pada shalat yang empat rakaat, maka hendaknya dia membaca tasyahud bersama tasyahud akhirnya imam, dan bagi makmum itu adalah tasyahud awal. tidak makruh pula jika dia berdoa, bahkan sunnah.

(Imam Al Bujairimi Tuhfatul Habib, 2/77)

Jadi, jika seseorang mau mengamalkan pendapat salah satu dari pendapat di atas, tidak masalah baginya. Ini masalah lapang.

2- Bismillah al Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Masalah ini terkait apakah kotoran burung tersebut adalah najis. Jika najis tentunya tidak boleh shalat di sajadah yang terkena kotoran tsb. Jika tidak najis, tentu tidak masalah, namun lebih baik tetap dibersihkan.

Untuk hewan yang tidak bisa dimakan dagingnya seperti kucing, anjing, dan lainnya, maka semua ulama sepakat najisnya.

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى نَجَاسَةِ بَوْل وَعَذِرَةِ الآْدَمِيِّ وَبَوْل وَرَوْثِ مَا لاَ يُؤْكَل لَحْمُهُ

“Para ahli fiqih sepakat najisnya air kencing dan kotoran manusia, serta air kencing dan kotoran hewan yang tidak bisa dimakan dagingnya.” [1]

Imam Kamaluddin Ad Damiriy Rahimahullah mengatakan:

“Kencing hewan yang hewan itu tidak bisa dimakan dagingnya adalah najis berdasarkan ijma’, tapi Al Auza’iy menyelisihinya.” [2]

Ada pun tentang hewan-hewan yang bisa dimakan seperti umumnya burung (bukan burung buas), ayam, kambing, sapi, kerbau, unta, dan lainnya, apakah kencing dan kotoran mereka suci atau najis? Terjadi perbedaan pendapat para ulama.

Pertama. Suci

Kelompok ini memiliki banyak dalil di antaranya:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ نَاسًا اجْتَوَوْا فِي الْمَدِينَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَلْحَقُوا بِرَاعِيهِ يَعْنِي الْإِبِلَ فَيَشْرَبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا فَلَحِقُوا بِرَاعِيهِ فَشَرِبُوا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا حَتَّى صَلَحَتْ أَبْدَانُهُمْ

Dari Anas Radhiallahu ‘anhu bahwa sekelompok orang sedang menderita sakit di Madinah, maka Nabi ﷺ memerintahkan mereka supaya menemui penggembala beliau dan meminum susu dan kencing unta, mereka lalu pergi menemui sang penggembala dan meminum air susu dan kencing unta tersebut sehingga badan-badan mereka kembali sehat. [3]

Juga terdapat dalam Shahih Muslim:

عَنْ أَبِي قِلَابَةَ حَدَّثَنِي أَنَسٌ أَنَّ نَفَرًا مِنْ عُكْلٍ ثَمَانِيَةً قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعُوهُ عَلَى الْإِسْلَامِ فَاسْتَوْخَمُوا الْأَرْضَ وَسَقِمَتْ أَجْسَامُهُمْ فَشَكَوْا ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَا تَخْرُجُونَ مَعَ رَاعِينَا فِي إِبِلِهِ فَتُصِيبُونَ مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَقَالُوا بَلَى فَخَرَجُوا فَشَرِبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا فَصَحُّوا

Dari Abu Qilabah telah menceritakan kepadaku Anas, bahwa sekelompok orang dari Bani ‘Ukl yang berjumlah delapan orang datang kepada Rasulullah ﷺ lalu mereka membai’at beliau atas Islam. Tidak beberapa lama mereka sakit karena tidak terbiasa dengan iklim Kota Madinah. Mereka kemudian mengadu kepada Nabi ﷺ , beliau bersabda: “Maukah kamu pergi ke unta-unta yang digembalakan, lalu kamu meminum susu dan air kencingnya?” Mereka menjawab, “Tentu.” Kemudian mereka pergi ke unta-unta tersebut dan meminum susu dan air kencingnya hingga mereka sehat seperti biasa .. [4]

Kisah ini dijadikan dasar bagi banyak ulama dan madzhab bahwa air kencing Unta itu suci, dan dia juga sebagai obat. Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

“Para sahabat Imam Malik (Malikiyah) dan Imam Ahmad (Hambaliyah) berdalil dengan hadits ini bawah kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan dagingnya itu SUCI.” [5]

Sebagian Syafi’iyah, seperti Imam Ibnul Mundzir, Imam Ibnu Khuzaimah, dan Imam Ar Ruyaniy, juga mengatakan suci.[6]

Dalil lainnya, adalah:

وَسُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ فَقَالَ صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ

Rasulullah ﷺ ditanya tentang shalat dikandang kambing, Beliau menjawab: “Shalatlah di sana, karena di sana berkah.” [7]

Hadits ini menunjukkan kesucian kotoran kambing dan hewan yang bisa di makan dagingnya secara umum, sebab jika najis tidak mungkin Rasulullah ﷺ membolehkan shalat di tempat najis.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menguatkan pendapat ini, sebab ketika dibolehkan untuk diminum kencing Unta, itu menunjukkan kesuciannya. Bahkan beliau memaparkan 15 dalil. Pendapat ini juga di dukung Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah.

Kedua. Najis

Sementara Syafi’iyyah tidak sepakat dengan mereka. Bagi Syafi’iyyah semua kotoran dan kencing hewan adalah najis termasuk hewan yang bisa dimakan.

Imam An Nawawi Rahimahullah melanjutkan;

“Para sahabat kami (Syafi’iyyah) dan pihak lain yang berpendapat najisnya keduanya (kencing dan kotoran Unta) memberikan jawaban; bahwasanya minumnya mereka terhadap air kencing Unta karena untuk berobat, itu (berobat) memang boleh dengan semua najis kecuali khamr (minuman keras) dan apa pun yang memabukkan.” [8]

Dalam konteks madzhab Syafi’iy, Berkata Imam Ibnu Ruslan Rahimahullah sebagaimana dikutip Imam Asy Syaukaniy:

وَالصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِنَا يَعْنِي الشَّافِعِيَّةَ جَوَازُ التَّدَاوِي بِجَمِيعِ النَّجَاسَاتِ سِوَى الْمُسْكِرِ لِحَدِيثِ الْعُرَنِيِّينَ فِي الصَّحِيحَيْنِ حَيْثُ أَمَرَهُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّرْبِ مِنْ أَبْوَالِ الْإِبِلِ لِلتَّدَاوِي

“Yang benar dari madzhab kami –yakni Syafi’iyah- bahwa dibolehkan berobat dengan seluruh benda najis kecuali yang memabukkan, dalilnya adalah hadits kaum ‘Uraniyin dalam shahihain (Bukhari-Muslim), ketika mereka diperintah oleh Nabi untuk minum air kencing Unta untuk berobat.” [9]

Jadi, bagi Syafi’iyyah, diminumnya air kencing unta karena ada konteksnya; saat dharurat untuk berobat. Bukan karena air kencing Unta itu suci. Tapi, Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Ruslan ini ditanggapi oleh Imam Asy Syaukaniy Rahimahullah, sebagai berikut:

وَلَا يَخْفَى مَا فِي هَذَا الْجَمْع مِنْ التَّعَسُّف ، فَإِنَّ أَبْوَال الْإِبِل الْخَصْم يَمْنَع اِتِّصَافهَا بِكَوْنِهِمَا حَرَامًا أَوْ نَجَسًا ، وَعَلَى فَرْض التَّسْلِيم فَالْوَاجِب الْجَمْع بَيْن الْعَامّ وَهُوَ تَحْرِيم التَّدَاوِي بِالْحَرَامِ وَبَيْن الْخَاصّ وَهُوَ الْإِذْن بِالتَّدَاوِي بِأَبْوَالِ الْإِبِل بِأَنْ يُقَال يَحْرُم التَّدَاوِي بِكُلِّ حَرَام إِلَّا أَبْوَال الْإِبِل ، هَذَا هُوَ الْقَانُونَ الْأُصُولِيّ

“Jelaslah, bahwa kompromi tersebut adalah keliru, sebab sesungguhnya sifat kencing Unta tidaklah dikatakan haram atau najis, dan wajib menerima hal itu. Maka, wajib memadukan antara dalil yang ‘am (umum) yakni keharaman pengobatan dengan yang haram, dengan dalil yang khas (khusus) yaitu diidzinkannya berobat dengan kencing Unta, maka seharusnya dikatakan: Haram berobat dengan segala yang haram kecuali dengan Unta, demikianlah aturan dasarnya.” [10]

Apa yg dikatakan Imam Asy Syaukaniy berdasarkan kaidah: Hamlul muthlaq Ilal muqayyad – dalil yang masih umum mesti dibawa pemahamannya berdasarkan yang khusus.

Misal, ketika Allah Ta’ala haramkan bangkai secara umum berdasarkan ayat: hurrimat ‘alaikumul mayyitah – diharamkan bagi kalian daging bangkai .. , ternyata dikecualikan dua bangkai, yaitu ikan dan belalang berdasarkan riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma: Uhillat lanaa mayitan Al Huut wal Jarad – Dihalalkan bagi kita dua bangkai; yaitu ikan dan belalang. Beginilah jalan berpikirnya; semua air kencing hewan adalah najis kecuali yg khususkan oleh dalil, misalnya kencing Unta.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah berkata:

“Ya, inilah yang benar, bahwa air kencing dan kotoran dari hewan yang bisa dimakan dagingnya adalah SUCI. Seperti Unta, sapi, kambing, dan hasil buruan laut, dan dahulu Nabi ﷺ pernah shalat di kandang kambing.

Saat kaum ‘Uraniyun sakit, Nabi ﷺ mengutus kepada mereka para gembala untuk mereka bisa minum susah dan air kencingnya. Saat Nabi ﷺ mengizinkan mereka meminumnya menunjukkan kesuciannya.” [11]

Kesimpulan:

– Hewan yang bisa dimakan dagingnya (seperti ayam, sapi, kerbau, kambing), menurut mayoritas ulama kencing dan kotorannya suci, kecuali bagi Syafi’iyyah, itu tetap najis sebagaimana kotoran hewan yang haram dimakan dagingnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🍀🍃🌻🍁🌿🌷🌳🌸

[1] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 40/91

[2] Imam Kamaluddin Ad Damiriy, Najm Al Wahhaaj fi Syarhil Minhaaj, 1/410. Ini juga menjadi jawaban atas perdebatan kenajisan kotoran kucing beberapa tahun lalu. Bahwa telah ijma’ najisnya kencing dan kotoran hewan yang tidak bisa dimakan dagingnya, dan kucing termasuk didalamnya. Diakui memang ada ulama yang menyelisihi ijma’ ini sebagaimana kata Imam Ad Damiriy.

[3] HR. Bukhari no. 5686

[4] HR. Muslim no. 1671

[5] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/154

[6] Imam Kamaluddin Ad Damiriy, Najm Al Wahhaaj fi Syarhil Minhaaj, 1/410

[7] HR. Abu Daud no. 184, Ahmad no. 18538. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad, 30/510)

[8] Ibid

[9] Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar, 13/166

[10] Ibid

[11] Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Majmu’ Al Fatawa, 29/105