Pertanyaan
Assalamualaikum ustadz saya mau tanya jika seorang anak saya lahir sudah dalam keadaan yatim. Apakah wajib untuk mengaqiqahkannya?
Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Semoga Allah Ta’ala merahmati suaminya dan mengampuni semua dosanya, dan Allah Ta’ala masukan ke dalam surgaNya.
Perlu diketahui, bahwa aqiqah itu sunnah muakkadah, bukan kewajiban. Jika tidak melakukan maka tidak berdosa, apalagi jika kondisi sedang kesulitan finansial. Jika mampu melaksanakannya maka itu telah menghidupkan sunnah, semoga Allah Ta’ala berikan pahala setimpal.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
وَالْعَقِيقَةُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَلَوْ كَانَ الِابُ مُعْسِرًا، فَعَلَهَا الرَّسُولُ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَفَعَلَهَا أَصْحَابُهُ، رَوَى أَصْحَابُ السُّنَنِ أَنَّ النَّبِيَّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا، وَيَرَى وُجُوبَهَا اللَّيْثَ وَدَاوُدَ الظَّاهِرِيُّ.
“Aqiqah adalah sunah mu’akkadah walau keadaan orang tuanya sulit, Rasulullah telah melaksanakannya, begitu pula para sahabat. Para pengarang kitab As Sunan telah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ telah meng-aqiqahkan Hasan dan Husein dengan masing-masing satu kambing kibas. Sedangkan menurut Laits bin Sa’ad dan Dawud azh Zhahiri aqiqah adalah wajib.”
(Fiqhus Sunnah, jilid. 3, hal. 326)
Hal ini didasari oleh hadits berikut:
مَنْ وُلِدَ لَهُ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
“Barang siapa dilahirkan untuknya seorang bayi, dan dia mau menyembelih (kambing) untuk bayinya, maka lakukanlah.” (HR. Ahmad no. 23134. hadits Hasan. Tahqiq Musnad Ahmad, 38/212)
Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa penyembelihan dikaitkan dengan kemauan orangnya. Kalau dia mau, maka lakukanlah. Sehingga, menurut Imam ash Shan’ani Rahimahullah hadits ini adalah pengalih kewajiban aqiqah menjadi sunah. (Subulus Salam, jilid. 2, hal. 466-467)
Imam Ibnu Abdi al Bar Rahimahullahi (w. 463 H) mengomentari hadits tersebut dalam At Tamhid:
قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسِكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْعَقِيقَةَ لَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ لِأَنَّ الْوَاجِبَ لَا يُقَالُ فِيهِ مَنْ أَحَبَّ فَلْيَفْعَلْهُ
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa aqiqah bukanlah kewajiban, karena seandainya wajib tidak akan dikatakan di dalamnya, “Barang siapa yang suka maka lakukanlah.” (At Tamhid, jilid. 4, hal. 311)
Imam Ibnu al Qayyim Rahimahullah mengatakan:
قَالُوا وَفعله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لَهَا لَا يدل على الْوُجُوب وَإِنَّمَا يدل على الِاسْتِحْبَاب
“Mereka (para ulama) mengatakan perbuatan Rasulullah ﷺ melaksanakan aqiqah (dalam hadits ini), tidaklah menunjukkan kewajiban, itu hanyalah menunjukkan perbuatan yang disukai (sunah).” (Tuhfah al Maudud, hal 37)
Jika ibunya yang ingin melakukan, tidak apa-apa. Ketiadaan ayah, tidak menghapuskan kesunnahannya.
Dahulu Rasulullah ﷺ Yang juga lahir dalam keadaan Yatim, Beliau mengaqiqahkan dirinya sendiri.
Dari Anas bin Malik, katanya:
عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ بِالنُّبُوَّةِ
“Rasulullah ﷺ mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diutus menjadi nabi.” (HR. Abdurrazzaq, Al Mushannaf no. 7960)
Hadits ini lemah, tapi dikuatkan oleh beberapa jalur hadits yg lainnya, sehingga dinyatakan shahih lighairih (As Silsilah Ash Shahihah, no. 2726)
Demikian. Wallahu a’lam.