Adakah Sholat Qabliyah Jum’at ?

Pertanyaan  

Assalamualaikum wrwb, maaf pak Ustad mau numpang bertanya, apakah ada sholat sunnah qobliyah Jum’at ?

Jawaban
Ustadz Farid Nu'man, SS

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim ..

Shalat Qabliyah Jum’at

Ada tiga shalat sunah yg dilakukan sebelum shalat Jumat.

Pertama. Shalat Sunah Tahiyatul Mesjid.

Ini hukumnya sunah menurut mayoritas ulama.  Walau pun ketika sampai di mesjid khatib sedang berkhutbah, Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam tetaplah menganjurkannya untuk dilakukan.

 

Dari Abu Qatadah Radhiallahu ’Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang kalian masuk ke masjid maka hendaknya dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk.” (HR. Bukhari No. 444, Muslim no. 69)

 

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata:

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَصْحَابِنَا اسْتَحَبُّوا إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ الْمَسْجِدَ أَنْ لَا يَجْلِسَحَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ عُذْرٌ

Para sahabat kami mengamalkan hadits ini, menurut mereka sunnah bagi seorang yang masuk ke masjid untuk tidak duduk dulu sampai dia menunaikan shalat dua rakaat, kecuali dia memiliki ‘udzur. (Lihat Sunan At Timridzi No. 316)

 

Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu, mengutip dari Imam Muhammad bin Hasan Radihiallahu ‘Anhu:

هذا تطوع وهو حسن وليس بواجب

“Ini sunah dan bagus, bukan wajib.”  (Al Muwaththa No. 275)[3]

 

Berkata Dr. Taqiyuddin An Nadwi –pentahqiq kitab Al Muwaththa’:

هو أمر ندب بالإجماع سوى أهل الظاهر فقالوا بالوجوب

“Ini adalah perkara sunah menurut ijma’, kecuali menurut kelompok Ahli Zhahir (tekstualist) , mereka mengatakan wajib.”

 

Lalu beliau mengomentari ucapan Imam Muhammad bin Hasan, “ … bukan wajib “:

وليس بواجب لأن النبي صلى الله عليه و سلم رأى رجلا يتخطى رقاب الناس فأمرهبالجلوس ولم يأمره بالصلاة كذا ذكره الطحاوي . وقال زيد بن أسلم : كان الصحابةيدخلون المسجد ثم يخرجون ولا يصلون وقال : رأيت ابن عمر يفعله وكذا سالم ابنهوكان القاسم بن محمد يدخل المسجد فيجلس ولا يصلي ذكره الزرقاني

“Bukan wajib ..” karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melihat seorang laki-laki yang melangkahi punggung  manusia, lalu Beliau memerintahkan laki-laki itu untuk duduk, dan dia tidak memerintahkannya untuk shalat. Demikian disebutkan oleh Ath Thahawi. Zaid bin Aslam mengatakan: “Dahulu  para sahabat memasuki masjid kemudian keluar lagi dan mereka tidak shalat.” Dia (Zaid) berkata: “Aku melihat Ibnu Umar melakukannya, demikian juga Salim – anaknya-, dan juga Al Qasim bin Muhammad memasuki masjid dia duduk dan tidak shalat. Ini disebutkan oleh Az Zarqani. (Lihat Al Muwaththa’ No. 275, Catatan kaki No. 10. Cet. 1. 1413H. Darul Qalam, Damaskus)

 

Kepada siapakah Tahiyatul Masjid Disunnahkan?

Tahiyatul masjid disunnahkan bagi yang masuk ke masjid dalam keadaan berwudhu, sebagain ulama menambahkan: serta bermaksud duduk di dalamnya, bukan sekedar lewat. Sebagian lain mengatakan walaupun cuma lewat, tetap sunah.

 

Tertulis dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يُسَنُّ لِكُل مَنْ يَدْخُل مَسْجِدًا غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ – يُرِيدُالْجُلُوسَ بِهِ لاَ الْمُرُورَ فِيهِ ، وَكَانَ مُتَوَضِّئًا – أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ قَبْل الْجُلُوسِ .وَالأَْصْل فِيهِ حَدِيثٌ رَوَاهُ أَبُو قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ قَال : إِذَا دَخَل أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ   وَمَنْ لَمْ يَتَمَكَّنْمِنْهُمَا لِحَدَثٍ أَوْ غَيْرِهِ يَقُول نَدْبًا : سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُأَكْبَرُ ، وَلاَ حَوْل وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ . فَإِنَّهَا تَعْدِل رَكْعَتَيْنِ كَمَا فِي الأَْذْكَارِ

Mayoritas  ahli fiqih berpendapat bahwa  disunnahkan bagi siapa saja yang masuk ke dalam masjid selain masjidil haram –yang berkehendak duduk bukan cuma lewat  dan dia dalam keadaan berwudhu- untuk shalat dua rakaat atau lebih sebelum duduk.  Dasarnya adalah hadits diriwayatkan Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu:bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Jika salah seorang kalian masuk ke masjid maka hendaknya dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk. Dan, siapa saja yang terhalang melakukan keduanya (shalat dan duduk) disebabkan hadats atau selainnya, disunahkan mengucapkan: Subhanallah wal hamdulillah wa laailaha illallah wallahu akbar wa laa haulaa wa laa quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Azhim. Sesungguhnya itu sebanding dengan dua rakaat tersebut sebagaimana disebutkan dalam Al Adzkar. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/305)

 

Walaupun Sudah Duduk Tetap Sunah

Di antara kita mungkin pernah lupa tahiyatul masjid, lalu langsung duduk. Sering kali hal itu membuat sebagian kita ragu-ragu; bolehkah tahiyatul masjid dilakukan padahal kita sudah duduk

Jawabnya: boleh, dan tetap sunah. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu katanya :

دخلت المسجد فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم جالس وحده قال يا أبا ذر إنللمسجد تحية وإن تحيته ركعتان فقم فاركعهما قال فقمت فركعتهما

Saya masuk ke masjid ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang duduk sendirian. Beliau bersabda: “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya untuk masjid itu sambutannya, sambutan bagi masjid adalah shalat dua rakaat. Maka bangunlah dan shalatlah dua rakaat!” Abu Dzar berkata: “Maka saya bangun dan shalat dua rakaat.” (HR. Ibnu Hibban No. 361)

 

Hadits ini sangat lemah, lantaran dalam sanadnya terdapat Ibrahim bin Hisyam bin Yahya bin Yahya Al Ghathafani . Imam Abu Zur’ah mengatakan tentang dia: Kadzdzaab (pembohong). (Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin No. 133. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Abu Hatim dan lainnya mengatakan: laisa bitsiqah(bukan orang yang bisa dipercaya). (Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fi Adh Dhu’afa no. 201)

Imam Abu hatim juga mengatakan tentang Ibrahim bin Hisyam: Kadzdzaab (pembohong). Lalu Ali bin Al Husain bin Al Junaid berkata: “Abu Hatim benar, hendaknya jangan mengambil hadits darinya (Ibrahim bin Hisyam).” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal No. 244)

 

Namun dalam riwayat lain, diriwayatkan secara shahih dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

 جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ يَافُلَانُ قَالَ لَا قَالَ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ

Datang seorang laki-laki dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamsedang berkhutbah di hadapan manusia pada hari Jumat. Beliau bersabda: “Wahai fulan, apakah engkau sudah shalat?” orang itu menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Bangunlah dan shalatlah dua rakaat.” (HR. Bukhari No. 930, dan Muslim No. 875)

Perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Bangunlah ..”menunjukkan bahwa sebelumnya orang tersebut telah duduk lebih dahulu.

Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa terlanjur“duduk” tidaklah membuat kesunahan tahiyatul masjid menjadi gugur. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/228)

 

Kedua. Shalat Sunah mutlak.

Ini juga sunah hukumnya, tak ada perselisihan ulama. Shalat sunah mutlak adalah shalat yang dilakukan tanpa terikat oleh waktu atau peristiwa. Misalnya, sambil menunggu adzan Jumat, anda mengisi kekosongan waktu dengan melakukan shalat sunah, itulah shalat sunah mutlak dengan dilakukan dua rakaat, dan boleh berulang-ulang, hingga kita sendiri yang memutuskan untuk berhenti, atau karena khatib sudah naik mimbar.

 

Ketiga. Shalat Sunah Qabliyah Jumat setelah adzan pertama.

 

Para ulama berselisih faham tentang ini. Ada yang  menilainya tidak disyariatkan, sebab menurut mereka memang tak ada satu pun keterangan dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau pernah melakukannya setelah adzan berkumandang. Dalam masalah ibadah ritual seperti shalat, harus memiliki dalil. Justru yang Nabi ﷺ contohkan adalah ketika  setelahke mimbar, lalu adzan,  kemudian  khutbah.

 

Dalam Shahih Bukhari, diriwayatkan:

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ

Saib bin Yazid berkata, “Adalah azan pada hari Jumat, permulaannya adalah apabila imam duduk di atas mimbar, yakni pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar Radhiallahu ‘anhuma. Maka pada masa UtsmanRadhiallahu ‘Anhu dan orang-orang sudah banyak, ia menambahkan azan yang ketiga diatas Zaura’. Berkata Abu Abdillah, Zaura’ adalah suatu tempat di pasar di kota Madinah. (HR. Al Bukhari No. 912)

Bagi mereka, masalah ini tidak boleh diqiyaskan dengan shalat qabliyah zhuhur, sebab dalam ibadah tidak boleh ada qiyas, berbeda dengan masalah muamalah.  Tidak disyariatkannya qabliyah Jumat merupakan pendapat Imam Malik dan umumnya pengikut Imam Ahmad bin Hambal.

Sementara ulama lain yang mengatakan qabliyah jumat adalah sunah, inilah pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i. Mereka beralasan dengan beberapa hadits berikut:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ

“Di antara setiap dua adzan hendaknya ada shalat (sunah), (nabi mengatakan tiga kali), bagi yang menghendaki.” (HR. Al Bukhari No. 624, 627, Muslim No. 838)

 

Maksud dari ‘antara dua adzan’ adalah di antara adzan dan iqamah. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Zubeir bahwa Rasulullah ﷺ   bersabda:

ما من صلاة مفروضة إلا وبين يديها ركعتان

“Tiada satu shalat fardhu (wajib) pun, melainkan pasti sebelumnya ada dua rakaat sunah.”  (HR. Ibnu Hibban No. 2455, 2488. Syaikh Syu’aib Al Arnauth: isnadnya kuat. Ath Thabarani, Musnad Asy Syamiyyin, 3/282. Syaikh Hamdi bin Abdul Majid mengatakan: shahih)

 

Nah, bagi mereka, karena Shalat Jumat juga shalat fardhu sebagimana yang fardhu yang lain, maka ia termasuk keumuman hadits di atas. Yakni yang namanya  shalat fardhu, pasti sebelumnya ada dua rakaat sunah.

Demikian, semoga bermanfaat, dan tidak menjadikan masalah khilafiyah sebagai sumber perpecahan.

Wallahu A’lam

Wa Shalallahu’Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Sallam.