Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram
Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.
Penerbit: Dar Ummil Qura
Penerjemah: KH. Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.
– Hadist 54 –
وَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
54- Dari Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Sekiranya agama itu berdasarkan akal fikiran niscaya bagian bawah khuf lebih utama diusap daripada bagian atasnya. Sungguh saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas kedua khufnya”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad hasan.[1]
Kosakata Dan Penjelasan
Birra’yi: Berdasarkan akal fikiran, yakni akal fikiran yang dangkal. Tetapi agama tidak berdasarkan akal yang dangkal tetapi berdasarkan akal yang mendalam dan matang. Karena itu, nash yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan akal yang mendalam dan matang. Di dalam al-Qur’an Allah sering menyebutkan: “afala ta’qilun” (al-Baqarah: 44). Ini menunjukkan bahwa syari’ah sesuai dengan akal dan bahwa orang yang menentang syari’ah berarti menentang akal. Karena itu, kebanyakan orang yang mendasarkan urusan mereka pada akal fikiran yang dangkal itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki, karena mereka tidak mempertimbangkan berbagai akibat dan hasil.
Ketika ditanya tentang orang-orang yang keluar melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan kekerasan dan pemaksaan, Abu Hanifah rahimahullah menjawab: ‘Mereka tidak boleh melakukan hal tersebut’. Mereka berkata: Tetapi mereka melakukan amar ma’ruf nahi munkar? Abu Hanifah menjawab: ‘Ya, tetapi mereka lebih banyak merusak ketimbang memperbaiki’. Kaidah ini harus dijadikan landasan seseorang dalam membangun manhaj dan kehidupannya, yakni “mempertimbangkan berbagai akibat dan konsekwensi”. Mungkin Anda bisa memuaskan keinginan anda tetapi terjadi berbagai kerusakan yang lebih banyak dan besar disbanding kemaslahatan yang bisa Anda dicapai. Perhatikan dan pertimbangkanlah berbagai akibat dan konsekwensi.
Jika kita melihat masalah ini dengan akal yang mendalam maka kita dapati bahwa mengusap bagian atas khuf itu lebih tepat, karena jika Anda mengusap bagian atas khuf maka Anda mengusap sesuatu yang bersih, yang tidak dikotori oleh tanah dengan suatu kotoran. Tetapi jika Anda mengusap bagian bawahnya, pasti tangan Anda menjadi kotor. Padahal yang dimaksudkan usapan ini bukan untuk mencuci kaki, sebab kalau yang dimaksudkan untuk mencuci kaki pasti kita diwajibkan melepasnya. Tetapi yang dimaksudkan adalah melakukan ta’abbud kepada Allah dengan mengusap anggota ini dengan sesuatu yang bisa menjadi pensucian baginya. Dengan demikian mengusap bagian atas khuf sesuai dengan akal yang sehat dan benar.
Pelajaran Hadis Ini
1-Jika terjadi pertentangan antara akal dan syari’at maka syari’at wajib didahulukan, tetapi tidak mungkin terjadi pertentangan sama sekali antara syari’at yang shahih dan akal yang mendalam dan sehat.
2-Sesungguhnya agama tidak berdasarkan pada akal yang dangkal.
3- Menyandarkan hukum-hukum syari’ah kepada pihak yang berhak menetapkan syari’ah yaitu –dari kalangan makhluk—Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, Ali berkata, “Sungguh saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam…”.
4- Mengusap khuf di bagian atasnya bukan di bagian bawahnya. Orang yang mengusap bagian bawahnya termasuk orang-orang yang berlebih-lebihan dan pelaku bid’ah.
Zhahir (tekstual) hadis ini yaitu perkataannya, ‘ala zhahiri khuffaihi (bagian atas kedua khufnya) mengisyaratkan bahwa sedikit usapan sudah cukup, karena Ali tidak mengatakan, bi khuffaihi (seluruh bagian atas kedua khufnya) seperti dalam firman Allah: “wamsahu bi-ru’usikum” (al-Maidah: 6) sehingga seluruh bagian atas kepala harus diusap dalam wudhu’, karena ba’ dalam ayat ini untuk menunjukkan arti meliputi. Masalah ini diperselisihkan para ulama. Madzhab pertengahan dikemukakan oleh Imam Ahmad, bahwa mengusap kedua khuf cukup sebagian besar atasnya, sekalipun tidak meliputi tumit.
5- Dalam mengusap kedua khuf, boleh diusap secara bersamaan, yaitu tangan kanan mengusap kaki tangan dan tangan kiri mengusap kaki kiri. Juga boleh mengusap kaki kanan terlebih dahulu kemudian kaki kiri.
6- Dalam hadis ini ada penolakan terhadap kaum Rafidhah, karena mereka menganggap Ali bin Abu Thalib sebagai Imam para Imam, sedangkan para Imam menurut mereka terhindar dari dosa. Mereka tidak membolehkan mengusap kedua khuf, padahal Ali bin Abu Thalib termasuk salah seorang sahabat yang meriwayatkan hadis tentang mengusap khuf ini. Sekalipun demikian, mereka tetap tidak menerima pendapat ini. Ini menunjukkan bahwa mereka hanya mengikuti hawa nafsu, tidak mengikuti kebenaran.
7- Berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
8- [Wajib mematuhi dan menerima perintah-perintah Allah dan perintah-perintah Rasul-Nya. Ini merupakan puncak ibadah dan kesempurnaan kepatuhan.
9- Para ulama sepakat bahwa mengusap khuf hanya satu kali usapan.
10- Mengusap kedua khuf di dalam hadis Mughirah bersifat global (mujmal) sedangkan hadis ini menjelaskan caranya.]
[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 162, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abi Dawud, 147. Pengarang (Ibnu Hajar al-Asqalani) berkata di dalam at-Talkhis, 218: Isnadnya shahih.