Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 53) Bab Mengusap Khuf

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

BAB

MENGUSAP DUA KHUF (SARUNG KAKI)[1]

 

Yang dimaksud dengan khuf adalah apa yang dipakai di kaki, terbuat dari kulit dan sejenisnya. Sedangkan apa yang dipakai di kaki tetapi terbuat dari kain disebut kaos kaki.

Mengusap dua khuf (sarung kaki) berkaitan dengan thaharah, yaitu pada salah satu anggota wudhu’ yakni dua kaki. Mengusap dua khuf (sarung kaki) dibolehkan berdasarkan al-Quran, Sunnah dan ijma’ Salaf. Tidak ada yang berbeda pendapat dengan hal ini kecuali kaum Rafidhah, tetapi pendapat mereka tidak dianggap di dalam ijma’ dan khilaf.

Dalilnya dari al-Quran terdapat di dalam firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (al-Maidah: 6)

Jika dibaca “wa-arjulikum[2] maka kedua kaki termasuk bagian yang diusap, tetapi jika dibaca “wa-arjulakum” maka kedua kaki termasuk bagian yang dibasuh. Apakah seseorang boleh memilih antara mengusap kaki yang telanjang atau membasuhnya? Sunnah Nabi menolak hal tersebut, karena tidak ada satu hadis pun yang membolehkan mengusap kedua kaki yang terbuka. Karena itu, kita harus kembali kepada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menerapkan ayat ini, dengan kedua versi bacaannya. Dalam praktiknya, kita dapati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas kedua kakinya apabila memakai sarung kaki dan membasuh kedua kakinya apabila terbuka.

Sedangkan dalil dari Sunnah tentang masalah ini, Imam Ahmad berkata: “Di dalam hatiku tidak ada keraguan sedikit pun tentang mengusap khuf ini. Mengenai masalah ini terdapat empatpuluh hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya”.

[Al-Hasan al-Bashri berkata: Tujuh puluh orang dari sahabat Nabi telah menyampaikan hadis kepadaku bahwa beliau mengusap kedua khuf-nya.]

Sunnah Nabi, bahkan mencapai tingkatan mutawatir, membolehkan mengusap dua khuf. Jika seseorang memakai khuf lalu mengusapnya maka hal itu lebih utama dari melepasnya dan membasuh.

Sedangkan ijma’ Salaf dalam masalah ini sudah dikenal, hingga sebagian ulama menjadikan masalah ini sebagai bagian dari masalah aqidah, padahal sebenarnya tidak demikian tetapi bagian dari masalah amal, karena kaum Rafidhah, ahli bid’ah, tidak membolehkan mengusap khuf. Mengusap khuf memiliki sejumlah syarat yang akan dijelaskan.

***

– Hadist 53

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَتَوَضَّأَ, فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ, فَقَالَ: «دَعْهُمَا, فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ» فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

– Dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Saya pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau berwudhu’, lalu saya membungkuk untuk melepas kedua khufnya. Namun beliau bersabda: ‘Biarkanlah keduanya, karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci’. Kemudian beliau mengusap keduanya. Muttafaq ‘alaih.[3]

Dalam riwayat Imam yang empat darinya kecuali Nasa’i disebutkan: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas khuf dan bawahnya. Tetapi dalam sanadnya ada kelemahan.[4]

 

Derajat Hadis

Tentang tambahan Imam yang empat kecuali Nasa’i, Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: Di dalam sanadnya ada kelemahan.

Ibnu Hajar al-Asqalani berkata di dalam at-Talkhish: Hadis tentang “mengusap bagian atas khuf dan bawahnya” diriwayatkan oleh Ahmad,  Abu Dawud,  Tirmidzi dan lainnya dari Tsaur bin Yazid dari Raja’ bin Haiwah dari penulis Mughirah dari Mughirah. Sedangkan Ahmad melemahkan penulis Mughirah.

Ibnu Abi Hatim berkata di dalam al-‘Ilal dari bapaknya dari Abu Zar’ah: Hadis al-Walid tidak shahih.

Tirmidzi berkata: Hadis ini memiliki cacat dan hanya al-Walid yang menyebutkan sanadnya dari Tsaur.

 

Kosakata Dan Penjelasan

Saya pernah bersama Nabi, yakni pada perang Tabuk, di bulan Rajab tahun kesembilan Hijrah. Ketika kembali bersama Nabi, Mughirah mengambilkan air wudhu’ dan istinja’ untuk Nabi. “Kemudian Nabi berwudhu’, lalu saya membungkuk untuk melepas kedua khufnya”, yakni menunduk dengan kepalaku untuk melepas kedua khufnya. Sepertinya ia berdiri menuangkan air untuk Nabi. Ketika sampai kedua kaki, Mughirah membungkuk untuk melepas kedua khuf, lalu Nabi bersabda: “Biarkanlah keduanya” yakni jangan dilepas.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Boleh menjadikan orang merdeka sebagai pelayan.

2-Boleh meminta bantuan orang lain, tetapi dengan syarat orang lain itu tidak mengungkit-ungkit kebaikannya. Ketika melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Mughirah bin Syu’bah memandang hal tersebut sebagai kemuliaan dan keutamaan. Jika pelayanan Anda kepada seseorang dalam melakukan sesuatu tertentu itu bisa menyenangkannya maka pelayanan Anda tersebut tidak dianggap sebagai permintaan yang tercela.

3- Keutamaan Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu. Pelayanannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan ketawadhu’an dan jiwanya yang besar, karena Mughirah bin Syu’bah termasuk salah seorang pemimpin kabilah Tsaqif.

4-Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang sangat baik. Karena ketika memerintahkan Mughirah bin Syu’bah agar membiarkan kedua khufnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan sebabnya agar tidak terdetik sesuatu di hatinya.

5- Boleh melepaskan sandal atau sepatu orang lain, sekalipun hal ini tidak mudah bagi banyak orang. Tetapi jika hubungan telah kuat maka masalah ini menjadi mudah. Yakni, bila hanya mengambilkan tongkat atau baju dan yang sejenisnya maka hal itu sangat mudah bagi jiwa, tetapi bila memakaikan sandal atau melepaskannya maka ada keengganan di hati banyak orang. Tetapi bila hubungan sangat kuat maka hal itu menjadi mudah.

Bolehkah seseorang membantu mewudhu’kan orang lain? Menurut pendapat yang benar tidak boleh, kecuali karena darurat. Sebab wudhu’ merupakan ‘ibadah fi’liyah yang harus dilakukan oleh orang itu sendiri. Karena itu, Allah menyampaikan ayat-Nya kepada orang-orang beriman dalam firman-Nya: ”Maka basuhlah wajahmu dan tanganmu” (al-Maidah: 6). Ini menunjukkan bahwa seseorang harus melakukan wudhu’nya sendiri. Tetapi boleh membantu mengambilkan dan menuangkan air untuk orang yang berwudhu’.

6- Membangun sikap berdasarkan hukum asal, yakni boleh bertindak melakukan sesuatu berdasarkan hukum asal, karena perkataan Mughirah, “untuk melepas kedua khufnya” didasarkan pada hukum asal. Hukum asal di sini adalah membasuh kedua kaki, sehingga Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu tidak meminta ijin lagi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak mengatakan: “Apakah engkau mengjinkan aku untuk melepasnya?”. Tetapi langsung membungkuk untuk melepas berdasarkan hukum asal.

7-Pengajaran yang baik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menutup lintasan pikiran yang tidak baik, karena sabdanya, “Biarkanlah keduanya karena saya memasukkan keduanya dalam keadaan suci”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan hukum dan ‘illatnya.

8- Isyarat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengusap kedua khuf (sarung kaki) apabila keduanya dipakai dalam keadaaan tidak suci. Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan ‘illat (alasan) tidak melepas kedua khuf tersebut karena keduanya dipakai dalam keadaan suci. Ini menunjukkan syarat dibolehkannya mengusap kedua khuf adalah ketika dipakai harus dalam keadaan suci.

Sabdanya, “keduanya dalam keadaan suci”, ini menunjukkan bahwa kedua kaki harus dimasukkan setelah keduanya suci yakni setelah selesai wudhu’. Tentang hal ini terdapat hadis yang mengisyaratkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian telah berwudhu’ lalu memakai kedua khufnya maka hendaklah dia mengusap keduanya”.[5]  Sabdanya, “apabila telah berwudhu’” yakni apabila telah sempurna wudhu’nya. Disamping hal ini lebih berhati-hati.

[Imam Nawawi berkata: Jika ia memakai dalam keadaan berhadas maka tidak boleh mengusap. Ini merupakan ijma’ ulama.]

9- Bagi orang yang memakai khuf, mengusap kedua khuf lebih utama dari membasuh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkanlah keduanya karena saya memasukkannya dalam keadaan suci”. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap keduanya. Berdasarkan hal ini kami mengatakan: Usaplah dan jangan Anda lepas untuk membasuh. Tetapi jika seseorang memakai khuf untuk menghindari kewajiban membasuh maka ia tidak boleh mengusap. Ini sama seperti orang yang sengaja bepergian di bulan Ramadhan untuk tujuan berbuka, maka orang ini tidak boleh berbuka, karena ia mengakali atau menyiasati hukum untuk menghindari kewajiban.

10- Mengusap kedua khuf boleh dilakukan secara bersamaan atau kaki kanan terlebih dahulu kemudian kaki kiri.

11-  Mengusap khuf di bagian atasnya saja, tidak termasuk bagian bawahnya. Karena riwayat yang menyebutkan mengusap khuf di bagian bawahnya itu adalah riwayat yang lemah.

[Al-Wazir berkata: Para ulama sepakat bahwa mengusap itu hanya pada bagian atas khuf saja.

Ibnul Qayyim berkata: Tidak ada hadis shahih yang menyebutkan bahwa Nabi mengusap bagian bawah kedua khuf. Hadis yang menyebutkan Nabi mengusap bagian bawah kedua khuf adalah hadis yang terputus sanadnya, sedangkan hadis–hadis yang shahih menyebutkan kebalikannya.]

Cara mengusapnya sebagaimana disebutkan para ulama: Seseorang membasahi tangannya dengan air, kemudian mengusapkannya dari ujung-ujung jemari sampai merata. Jemari direngggangkan, karena jika rapat tidak terkena usapan.

12-  Kemudahan syari’ah, karena Allah tidak mewajibkan para hamba-Nya untuk melepas dan membasuh, sebab hal tersebut mengandung kesulitan. Karena itu, diberikan rukhshah (keringanan) untuk mengusap. Ini masuk dalam keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya agama itu mudah”.[6]

Bila seseorang memakai khuf dalam keadaan suci ketika bertayamum, apakah boleh mengusap kedua khuf ketika mendapatkan air?

Tidak boleh. Karena tayamum hanya mengusap muka dan kedua tangan, dan tidak berkaitan dengan thaharah kaki. [Atau karena tayamum tidak menghilangkan hadas dan hanya membolehkan dalam keadaan darurat. Tetapi pendapat yang lain membolehkannya karena tayamum menggantikan air dalam segala hal.]

13- Mengusap kedua khuf secara mutlak, yakni apa saja yang disebut khuf boleh diusap, sekalipun ada sedikit robek atau bolong, karena nash-nash yang ada menyebutkan khuf secara mutlak tanpa rincian.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Para sahabat pada umumnya orang-orang yang miskin, sehingga khuf mereka tidak terhindar dari adanya robekan”. [7]

Sebagian ulama mensyaratkan khuf harus menutupi kaki dan tidak ada sedikitpun bagian kaki yang keluar, hingga sebagian mereka berlebihan dengan mengatakan: jika ada bolong sedikit saja maka tidak boleh mengusapnya. Ini berlebihan dan mempersempit apa yang diperluas Allah.

***

[1] Khuf lebih tepat diterjemahkan dengan sarung kaki (yang menutupi kaki sampai dengan mata kaki), karena bukan sepatu yang biasa kita kenal. (penj.)

[2] Berdasarkan qira’ah Sab’ah yang shahih.

[3] Diriwayatkan oleh Bukhari, 206, dan Muslim, 274.

[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 165, Tirmidzi, 97, Ibnu Majah, 550, dan dilemahkan oleh al-Albani di dalam al-Misykat, 521.

[5] Diriwayatkan oleh ad-Daruquthni, 1/203, al-Hakim, 643, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 447.

[6] Diriwayatkan oleh bukhari, 39.

[7] Lihat: Majmu’ al-Fatawa, 21/174.