Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram
Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.
Penerbit: Dar Ummil Qura
Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.
– Hadist 44 –
وَعَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا فِي صِفَةِ حَجِّ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صلى الله عليه وسلم اِبْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اَللَّهُ بِهِ أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ, هَكَذَا بِلَفْظِ اَلْأَمْر ِ وَهُوَ عِنْدَ مُسْلِمٍ بِلَفْظِ اَلْخَبَر ِ
-Dari Jabir radhiyallau ‘anhu –tentang sifat haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda: “Mulailah dengan apa yang telah dimulai Allah”. Diriwayatkan oleh Nasa’i demikian[1], dengan lafazh perintah, sedangkan dalam riwayat Muslim dengan lafazh berita.[2]
Kosakata Dan Penjelasan
Jabir: adalah putra Abdullah bin Harram radhiyallahu ‘anhu. Ia meriwayatkan haji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam paling lengkap. Karena itu, hadis ini bisa dijadikan rujukan manasik, sebagaimana dilakukan oleh syaikh al-Albani di dalam bukunya “Sifat Haji Nabi”. Hadis Jabir dijadikan pokok sedangkan riwayat-riwayat yang lain dijadikan pelengkap apa yang tidak disebutkan di dalam riwayat Jabir.
Hadis ini diriwayatkan Muslim dengan lafazh: “Saya memulai dengan apa yang telah dimulai Allah”. Setelah selesai dari thawaf, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua raka’at di belakang Maqam, kemudian mengusap hajar aswad, kemudian keluar dari pintu masjid ke Shafa. Setelah dekat dengan Shafa, Nabi membaca: “Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah”. (al-Baqarah: 158). “Saya memulai dengan apa yang telah dimulai Allah”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat tersebut dan berucap demikian untuk menyadarkan dirinya bahwa Beliau melakukan sa’I antara Shafa dan Marwa dengan memulainya dari Shafa dalam rangka melaksanakan perintah Allah.
Demikianlah seharusnya apabila kita melakukan apa yang diperintahkan Allah. Kita harus menyadari bahwa kita melaksanakan perintah Allah. Karena hal ini akan menambah keikhlasan dan kekhusyu’an dalam beribadah. Demikian pula ketika kita melakukan wudhu’ dan shalat.
Sabdanya, “mulailah dengan apa yang telah dimulai Allah” mengisyaratkan bahwa apa yang dimulai Allah itu lebih penting dari apa yang disebutkan berikutnya. Karena itu, para ulama berkata tentang ayat zakat: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…”. (at-Taubah: 60) bahwa orang-orang fakir lebih memerlukan daripada orang-orang miskin, karena Allah memulai dengan mereka.
Hadis ini tentang haji, kenapa dicantumkan oleh pengarang (Ibnu Hajar al-Asqalani) di dalam bab wudhu’? Untuk menjelaskan bahwa hadis ini bersifat umum, yakni kita diperintahkan untuk memulai dengan apa yang dimulai Allah. Maka dalam konteks wudhu’, kita memulai membasuh muka, kemudian kedua tangan, kemudian kepala, kemudian kedua kaki, karena Allah memulainya demikian.
Pelajaran Hadis Ini
1-Mendahulukan apa yang didahulukan Allah, sampai dalam penyebutan, baik berdalil dengan sabdanya, “saya memulai” atau dengan sabdanya, “mulailah”.
2-Mengambil hukum berdasarkan keumumuman bukan berdasarkan kekhususan sebab, karena sabdanya, “saya memulai dengan apa yang dimulai Allah”. Ini bersifat umum, sekalipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam masalah yang bersifat khusus, tetapi mengambil pelajaran berdasarkan keumuman lafazh.
3-Memerhatikan tadabbur al-Quran dengan mendahulukan apa yang didahulukannya, dan mengakhirkan apa yang diakhirkannya. Dengan demikian kita mengetahui bahwa kaum Muhajirin lebih utama dari kaum Anshar, karena Allah berfirman: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang muhajirin dan anshar…”. (at-Taubah: 100) Jadi, kaum Muhajirin lebih utama dari kaum Anshar, karena Allah mendahulukan mereka, juga karena kaum Muhajirin menghimpun antara hijrah dan membela Nabi.
4-Wajib menjaga urutan dalam berwudhu’, karena sabdanya, “saya memulai dengan apa yang dimulai Allah” atau “mulailah dengan apa yang dimulai Allah”. Pertama, membasuh muka, kemudian kedua tangan, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kaki.
Para ulama menyimpulkan dalil urutan ini dari sisi lain dari ayat yang sama: bahwa Allah memasukkan anggota wudhu’ yang diusap –yaitu kepala—diantara anggota wudhu’ yang dibasuh. Sedangkan kaidah balaghiyah mengharuskan penyebutan jenis secara tersendiri, bagian yang dibasuh tersendiri, bagian yang diusap tersendiri. Karena Allah memasukkan bagian yang diusap diantara bagian yang dibasuh maka diketahui bahwa ia harus berurutan. Sebagian ulama menjadikan urutan sebagai syarat dan tidak gugur karena lupa. Jika seseorang lupa maka ia harus mengulangi wudhu’nya secara berurutan.
5- [Urutan antara berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung lalu menghembuskannya, dan membasuh muka, juga urutan antara satu tangan dan tangan lainnya, atau antara satu kaki dan kaki lainnya, atau antara dua telinga dan kepala, para ulama menyepakati bahwa urutan ini sunnah bukan wajib, karena kedudukannya sama dengan satu anggota wudhu’, tetapi mendahulukan yang kanan lebih utama sebagaimana telah dijelaskan.]
[1] Diriwayatkan oleh Nasa’I, 3968, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 6745.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim, 1218.