Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 4 & 5)

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

 

Hadist 4

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّان

 4- Dari Abdullah bin Umar radhiyallau ‘anhuma, ia berkata: Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila air itu dua qullah maka ia tidak mengandung kotoran”. Di dalam lafazh yang lain disebutkan: “Tidak najis”. Diriwayatkan oleh Imam yang empat, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan Ibnu Hibban.[1]

 

Kosakata Dan Penjelasan

Qullatain: Dua Kullah. Qullah ialah bejana besar yang terbuat dari tembikar. Dua kullah setara dengan lima qirbah (kantong air) ukuran sedang.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Apabila air dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran yakni tidak najis. Apakah hal ini berlaku umum? Disepakati bahwa ia tidak berlaku umum. Karena jika berlaku umum maka secara tekstual bahwa air tersebut tidak bisa najis baik berubah atau pun tidak berubah. Ini bertentangan dengan kesepakatan ulama. Karena para ulama sepakat apabila air berubah karena najis maka air itu najis. Dengan demikian ketentuan ini tidak berlaku umum.

2-Hadis ini memiliki mafhum (pengertian yang tersirat), bahwa apabila air tidak mencapai dua kullah maka menadi najis, baik air itu berubah ataupun tidak berubah. Dengan demikian mafhum ini bertentangan dengan hadis Abu Umamah terdahulu yang menunjukkan bahwa air tidak najis kecuali karena terjadinya perubahan. Dilalah hadis Abu Umamah yang menunjukkan bahwa air tidak najis kecuali karena perubahan adalah dilalah manthuq (pengertian yang tersurat) sedangkan dilalah hadis Ibnu Umar ini adalah dilalah mafhum (pengertian yang tersirat).

3-Para ulama mengatakan: Apabila dilalah manthuq bertentangan dengan dilalah mafhum maka dilalah manthuq didahulukan. Adapun mafhum (pengertian yang tersirat) maka pengamalannya cukup dalam satu bentuk. Apabila mafhum telah benar pengamalannya dalam satu bentuk maka hal itu sudah cukup. Misalnya kita mengatakan bahwa mafhumnya apabila air tidak mencapai dua kullah maka ia najis. Kemudian kita katakan: Ini berlaku umum baik berubah atau pun tidak berubah. Maka cukuplah kita katakan bahwa ketentan itu berlaku apabila air itu berubah. Dengan demikian kita telah mengamalkan mafhum hadis ini.

4-Dalam masalah ini seorang Muslim harus berhati-hati. Bila menurut dugaan kuatnya bahwa najis telah memengaruhi air maka hendaklah ia berhati-hati dan tidak menggunakannya kecuali karena keperluan yang mendesak. Tetapi bila menurut dugaan kuatnya bahwa najis tidak memengaruhi air tersebut atau telah mendapat kepastian bahwa najis tidak memengaruhinya maka ia tidak perlu ragu untuk menggunakannya baik air itu sedikit ataupun banyak.

5-[Majlis Ulama Saudi Arabia telah mengeluarkan keputusan (nomor 65 tanggal 25/10/1398 H) tentang air yang terkontaminasi berbagai najis apabila diproses melalui berbagai sarana tehnologi kemudian najis itu hilang:

“Setelah melakukan penelitian, kajian dan diskusi maka Majlis memutuskan sebagai berikut:

Berdasarkan apa yang disebutkan para ilmuwan bahwa air dalam jumlah banyak yang berubah karena najis bisa menadi bersih apabila perubahannya itu telah hilang dengan sendirinya, atau karena ditambahkan air bersih kepadanya, atau perubahannya itu hilang karena lama menetap, atau karena pengaruh matahari dan tiupan angin, atau karena hal lain, karena hilangnya hukum itu mengikuti hilangnya ‘illat yang ada.

Karena air yang terkena najis itu bisa dibersihkan najisnya dengan berbagai sarana, dan karena penjernhan dan pembersihannya dari berbagai najis yang tercampur itu dilakukan melalui berbagai sarana tehnik modern dan canggih, sehingga tidak diragukan tingkat kebenarannya bahkan diakui oleh para ahli di bidangnya, maka Majlis berpendapat bahwa air tersebut telah menjadi bersih setelah melalui proses penjernihan yang sempurna sehingga air itu kembali kepada kondisinya yang semula, tidak terlihat adanya perubahan rasa, warna atau pun baunya akibat terkena najis. Air ini boleh digunakan untuk menghilangkan najis dan hadats sehingga dengannya bisa tercapai thaharah secara sempurna.

Sebagaimana air ini juga boleh diminun, kecuali apabila ada bahaya yang ditimbulkan oleh penggunaannya. Bila masih mengandung bahaya maka dilarang penggunaannya demi menjaga jiwa dan menghindari bahaya, bukan karena najis. Wallahul muwaffiq”.

Demikian pula Lembaga Fiqh Islami di bawah naungan Rabithah Alam Islami pada pertemuannya yang ke-11 yang diselenggarakan di Mekkah, 13 Rajab 1409 H – 20 Rajab 1409 H, menetapkan bahwa air pam yang telah dijernihkan (biasanya melalui empat tahapan yaitu tarsib (pengendapan), tahwiyah (peranginan atau ventilasi), pembunuhan kuman dan sterilisasi) sehingga tidak ada lagi najis yang tersisa pada rasa, warna dan baunya, maka air tersebut menjadi bersih dan boleh digunakan untuk menghilangkan najis dan hadats, berdasarkan kaidah fiqh yang menetapkan bahwa air dalam jumlah banyak apabila terkena najis lalu najis itu bisa dihilangkan dan tidak ada bekasnya maka air itu menjadi bersih.]

*  *   *

 

Hadist 5

 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

لِلْبُخَارِيِّ لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ

وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ وَلِأَبِي دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ

5-Dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah salah seorang diantara kalian mandi di air yang tergenang (tidak mengalir) ketika ia dalam keadaan junub”. Diriwayatkan oleh Muslim, 283.

Dalam riwayat Bukhari disebutkan: “Janganlah salah seorang diantara kalian kencing di air yang tergenang yang tidak mengalir, kemudian ia mandi di dalamnya”.[2]

Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Darinya” (yakni kemudian mandi dari air itu di luarnya).[3]

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: “Dan janganlah ia mandi junub di dalamnya”.[4]

 

Kosakata Dan Penjelasan

Al-Ma’ ad-Da’im: Air yang tergenang, yakni tidak mengalir, seperti rawa.

Wahuwa junubun: Ketika ia dalam keadaan junub. Karena orang junub sekalipun badannya suci tetapi bisa jadi ada cairan-cairan tersembunyi yang keluar akibat junub sedangkan kita tidak mengetahuinya lalu memengaruhi air dan mengotorinya. Karena itu orang yang sedang junub dilarang mandi di dalam air yang tidak mengalir.

 

Pelaaran Hadis Ini

1-Syari’at selalu menjaga kemaslahatan, karena orang junub yang mandi di air yang tergenang dan tidak mengalir itu bisa mengotorinya dan akan menyebabkan penyakit bagi dirinya dan orang lain.

2-Syari’at yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meliputi semua aspek kehidupan dan mencakup semua kemaslahatan manusia baik di dunia ataupun di akhirat. Tidak sebagaimana dikatakan sebagian orang bahwa syari’at hanya mengatur urusan ibadah antara manusia dan Tuhan sedangkan urusan lainnya diserahkan kepada manusia. Anggapan ini tidak benar bahkan dikhawatirkan menyebabkan kekafiran terhadap sebagian syari’at dan mengimani sebagiannya.

3-Haram atau makruh mandi di dalam air yang tidak mengalir bagi orang yang sedang dalam keadaan junub. Para ahli ushul berbeda pendapat tentang larangan (yang tidak ditegaskan sebagai sesuatu yang diharamkan), apakah ia bernilai haram atau makruh, atau mereka membedakan antara sesuatu yang landasannya ibadah dan sesuatu yang landasannya adab dan kebersihan. Jika landasannya ibadah maka larangan itu bernilai haram tetapi jika landasannya adab dan kebersihan maka larangan itu bernlai makruh. [Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa larangan ini bernilai makruh, karena air tersebut tetap bersih. Madzhab Hanbali dan Zhahiri berpendapat bahwa larangan ini bernilai haram. Sebagian ulama berpendapat bahwa ia diharamkan bila airnya sedikit dan makruh bila airnya banyak.]

4-[Riwayat Muslim melarang mandi di dalam air yang tergenang dengan mencebur ke dalamnya dan mengambil air darinya lalu mandi di luarnya. Riwayat Bukhari melarang kencing dan mandi di dalamnya. Riwayat Abu Dawud melarang masing-masing dari keduanya secara terpisah. Kesimpulan dari semua riwaya ini bahwa semuanya dilarang, karena kencing atau mandi di dalam air yang tergenang (bagi orang yang junub) menyebabkan air tersebut menjadi kotor sekalipun tidak menyebabkannya menjadi najis.]

5-Boleh mandi di air yang tidak menggenang. Air yang tidak menggenang ada dua macam: Pertama, air yang selalu mengalir seperti sungai dan saluran air. Air ini bisa digunakan untuk bersuci, tanpa ada kemusykilan, bagi orang yang junub atau tidak junub. Kemudian ia berniat mandi dan menceburkan diri ke dalamnya. Tidak diragukan bahwa air yang mengenai badan adalah air yang baru. Apakah setiap aliran air sudah cukup sebagai sekali mandi? Jawabnya, ya. Setiap aliran air telah mencukupi untuk sekali mandi. Karena itu al-Muwaffiq rahimahullah berkata di dalam al-Mughni: ‘Apabila seseorang menggerakkan tangannya di dalam air tiga kali berarti ia telah mencucinya tiga kali”. Karena air itu menjadi baru dengan gerakan tangan tersebut. Demikian pula air yang mengalir, setiap aliran yang mengenai badan dianggap sekali mandi. Kedua, air yang tidak tergenang tetapi diam dan akan dibuka setelah beberapa jam lalu mengalir dan diganti dengan air yang lain. Tidak diragukan lagi bahwa air ini termasuk air yang mengalir.

6-Boleh mandi di air yang tergenang bagi orang yang tidak sedang dalam keadaan junub, seperti mandi untuk membersihkan badan atau mandi sunnah, misalnya orang yang baru siuman lalu mandi. Ini termasuk mandi sunnah. Tetapi hal ini memerlukan rincian. Jika badan orang yang mandi tersebut banyak mengandung kotoran dan bisa mengganggu orang, sekalipun tidak menceburkan diri ke dalamnya, maka ia dilarang mandi di dalam air yang tergenang. Tetapi kesimpulan ini kita ambil berdasarkan kaidah fiqhiyah, bukan berdasarkan hadis ini, karena manusia tidak boleh mengganggu dan menyakiti kaum Muslimin.

7-Orang yang junub ialah orang yang wajib mandi karena telah melakukan jima’ atau keluar mani. Orang yang melakukan jima’ sekalipun tidak keluar mani tetap wajib mandi. Badan orang yang junub tidak najis. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah berpapasan dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam di jalan lalu Abu Hurairah menghindar dan segera mandi kemudian datang menemui Nabi shalallahu alaihi wasallam. Nabi bertanya: “Kemana kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab: “Aku tadi junub sehingga aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak suci”. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang Mukmin tidak najis”. [5]

8-Demikian pula dilarang buang air besar dan beristinja’ di dalam air yang tergenang.

[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, kitab thaharah, nomor 63, Tirmidzi, kitab thaharah, nomor 67, an-Nasa’I, kitab thaharah, nomor 52, dan Ibnu Majah, kitab thaharah, nomor  517. Dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 416.

[2] Diriwayatkan oleh Bukhari 239.

[3] Diriwayatkan oleh Muslim 282.

[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 70, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 7595.

[5] Diriwayatkan oleh Bukhari, 283 dan Muslim, 371.