Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 37 & 38) Bab Wudhu

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

– Hadist 37 –

وَعَنْ عُثْمَانَ ‏- رضى الله عنه ‏- { أَنَّ اَلنَّبِيَّ ‏- صلى الله عليه وسلم ‏-كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ فِي اَلْوُضُوءِ } أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

37-Dari Utsman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyela-nyelai jenggotnya dalam berwudhu’. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.[1]

 

 Pelajaran Hadis Ini

1-Anjuran menyela-nyelai jenggot. Kami tidak mengatakan wajib, karena hal tersebut hanya berupa perbuatan Nabi, sedangkan perbuatan semata tidak menunjukkan wajib.

2-Rambut yang tumbuh di tempat yang wajib dibasuh harus dibasuh. Sedangkan rambut yang ada di bawahnya seperti rambut yang ada di leher tidak perlu dibasuh. Rambut alis dan kumis tidak disebutkan karena tidak perlu disela-selai, karena biasanya sedikit dan tipis.

Para ulama menyebutkan bahwa rambut yang tumbuh di wajah terbagi menjadi dua bagian: Tipis dan tebal. Dikategorikan tipis bila dari baliknya masih bisa terlihat kulit. Dikategorikan tebal bila dari baliknya tidak terlihat kulit. Kemudan mereka membagi penyucian rambut ini menjadi tiga bagian: Dalam tayammum tidak wajib kecuali mengusap bagian luar rambut dan tidak wajib memasukkan debu ke dalam rambut, baik tayammum karena junub atau tayammum karena hadas kecil. Dalam thaharah karena junub wajib meratakan air sampai ke bagian dalam dan luar rambut, baik rambutnya tipis ataupun tebal. Sedangkan wudhu’ , jika rambutnya tipis dan terlihat kulit dari baliknya maka wajib meratakan air sampai ke kulit. Jika rambutnya tebal maka tidak wajib meratakan air sampa ke bagian dalam rambut dan cukup membasuh bagian luarnya.

Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang rambut jenggot yang panjang, apakah wajib dibasuh atau tidak wajib kecuali sebatas kedua dagunya saja?  Pendapat yang benar bahwa jenggot tersebut wajib dibasuh, karena masuk dalam keumuman wajah. Jenggot, sekalipun panjang, wajib dibasuh. Jika jenggotnya tebal cukup dibasuh bagian luarnya saja, tetapi jika jenggotnya tipis wajib dibasuh bagian luar dan dalamnya.

3-Di dalam hadis ini terdapat dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki jenggot yang tebal. Jenggot termasuk ketampanan wajah orang lelaki, sunnah para Rasul dan sunnah fitrah.

***

 

– Hadist 38 –

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدٍ ‏- رضى الله عنه ‏- {أَنَّ اَلنَّبِيَّ ‏- صلى الله عليه وسلم ‏-أَتَى بِثُلُثَيْ مُدٍّ, فَجَعَلَ يَدْلُكُ ذِرَاعَيْهِ } أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

38-Dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dibawakan (air) dua pertiga mud, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggosok kedua lengannya”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.[2]

 

Kosakata Dan Penjelasan

Mudd: Mud, yaitu seperempat sha’ Nabi, sedangkan satu sha’ Nabi sama dengan 2,40 kg biji gandum yang baik. Satu mud berkapasitas 510 g biji gandum. Mereka berkata: Yakni sepenuh dua telapak tangan ukuran sedang. Intinya, dua pertiga mud itu sedikit, sekalipun demikian Nabi berwudhu’ dengan air dua pertiga mud.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berlebihan dalam menggunakan air, karena hanya menggunakan dua pertiga mud untuk berwudhu’.

2-Tidak selayaknya berlebihan dalam menggunakan air, dan seseorang bisa menghemat air untuk menyempurnakan wudhu’nya.

3-Anjuran menggosok anggota wudhu’. Jika air yang digunakan wudhu’ banyak maka menggosok anggota wudhu’ adalah sunnah. Tetapi jika air yang ada sedikit maka menggosok anggota wudhu’ menjadi wajib supaya air bisa merata ke kulit.

[1] Diriwayatkan oleh Tirmidzi, 31, Ibnu Khuzaimah, 167, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 4699.

[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, 16006, Ibnu Khuzaimah, 118, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam al-Irwa’, 142.