Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 36) Bab Wudhu

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

– Hadist 36 –

 

وَعَنْ لَقِيطِ بْنُ صَبْرَةَ, ‏- رضى الله عنه ‏- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ‏- صلى الله عليه وسلم ‏-{ أَسْبِغْ اَلْوُضُوءَ, وَخَلِّلْ بَيْنَ اَلْأَصَابِعِ, وَبَالِغْ فِي اَلِاسْتِنْشَاقِ, إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا } أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari Laqith bin Shabirah radhiyallau ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sempurnakanlah wudhu’ dan sela-selailah antara jari-jari dan bersungguh-sungguhlah dalam mengisap air ke dalam hidung kecuali jika kamu sedang berpuasa”. Diriwayatkan oleh Imam yang empat dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.

Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan; “Apabila kamu berwudhu’ maka berkumur-kumurlah”.[1]

 

Kosakata Dan Penjelasan

Khallil baina al-ashabi’: Sela-selailah antara jari-jari, yakni masukkanlah jari-jarimu sebagiannya kepada sebagian yang lain (untuk meratakan air ke sela-selanya). Maksudnya jari-jari tangan dan kaki, terutama jari-jari kaki karena jari-jari kaki lebih lekat.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Wajib menyempurnakan wudhu’.

2-Kaidah syar’iyah yaitu sadd adz-Dzara’i’ (menutup sarana) yang bisa membawa kepada sesuatu yang dilarang.

3- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berusaha menyempurnakan wudhu’, karena itu kita tidak selayaknya meremehkan urusan wudhu’.

4-Apabila kita diperintahkan untuk menyempurnakan wudhu’ yang merupakan syarat shalat maka lebih utama lagi menyempurnakan shalat, sehingga hadis ini mengandung isyarat tentang kewajiban memperhatikan shalat.

5-Perintah menyela-nyelai jari-jari adalah perintah sebagai anjuran (sunnah). Apakah ada tata cara yang disyari’atkan atau bebas terserah kita? Caranya diserahkan kepada kita.

6-Disyari’atkan bersungguh-sungguh dalam mengisap air ke dalam hidung ketika berwudhu’ sampai batas nyaris turun ke perut. Dalilnya adalah pengecualian yang ada dalam sabdanya “kecuali jika kamu sedang berpuasa”.

7-[Perintah bersungguh-sungguh dalam memasukkan air ke dalam hidung ketika berwudhu’ ini adalah perintah anjuran, bukan wajib. Karena seandainya wajib tentu tidak terhalangi oleh puasa. Demikian pula dianjurkan bersungguh-sungguh dalam berkumur-kumur ketika berwudhu’ bagi orang yang tidak sedang berpuasa.]

8-Minuman yang sampai ke dalam perut melalui hidung sama seperti minuman yang sampai ke dalam perut melalui mulut, yakni membatalkan puasa. Karena hidung menjadi tempat saluran untuk memasukkan sesuatu ke dalam perut. Sedangkan sesuatu yang sampai ke dalam perut tidak melalui saluran ini, seperti obat tetes mata apabila sampai ke tenggorokan, maka terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Sebagian ulama mengatakan: Apa yang sampai ke tenggorokan sama seperti apa yang sampai ke perut, membatalkan puasa, karena tenggorokan merupakan bagian dalam.

Ibnu Taimiyah berkata: Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa manath al-hukmi (tempat bergantungnya hukum) itu adalah sampainya sesuatu ke tenggorokan. Karena itu, ia tidak memengaruhi pendapat yang kuat, seperti orang yang mengobati matanya dengan obat mata lalu terasa di tenggorokannya maka hal ini tidak membatalkan puasa, karena mata bukan tempat saluran untuk memasukkan makanan dan minuman ke dalam perut.[2]

9- Orang yang berpuasa tidak dianjurkan bersugguh-sungguh dalam memasukkan air ke dalam hidung, baik puasa sunnah ataupun wajib.

10-Mengambil sikap hati-hati, karena bersungguh-sungguh dalam memasukkan air ke dalam hidung bagi orang yang sedang berpuasa bisa menurunkan air ke perutnya.

11-Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada satu orang adalah perintah kepada semua orang di dalam umat ini. Karena itu para ulama memahami hadis yang ditujukan kepada seseorang seperti ini sebagai dalil untuk umum. [Demikian pula semua perintah dan larangan sayari’at. Karena hukum-hukum itu tidak berkaitan dengan pribadi-pribadi tetapi berkaitan dengan makna-makna dan ‘illat-‘illat yang mewajibkannya. Hal ini selama tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan orang tertentu, seperti kisah Abu Burdah bin Niyar dan binatang kurbannya.] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya tentang seekor kambing muda yang ditanyakannya: “Kamu boleh berkurban dengannya, tetapi tidak mencukupi bagi orang lain sesudahmu”.[3]

[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 142, 144, Tirmidzi, 788, Nasa’I, 87, Ibnu Majah, 448, Ibnu Khuzaimah, 150, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 927.

[2] Lihat: al-Inshaf, 3/299.

[3] Diriwayatkan oleh Bukhari, 955, dan Muslim, 1908.