Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 35) Bab Wudhu

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

– Hadits 35 –

 

وَعَنْهُ : إِذَا اِسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسُ يَدَهُ فِي اَلْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ {مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ}.‏ وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِم ٍ

35-Dari Abu Hurairah radhiyallau ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya tiga kali, karena ia tidak mengetahui dimana tangannya telah bermalam”. Muttafaq ‘alaih. Lafazh ini riwayat Muslim[1]

 

Kosakata Dan Penjelasan

Aina batat yaduhu: Dimana tangannya telah bermalam, yakni apa yang telah diperbuat tangannya pada saat seseorang tidur. Bisa jadi telah bergerak ke tempat-tempat yang kotor dan lainnya. Ini pendapat sebagian ulama, karena itu mereka berkata: Apabila tangan itu ‘bermalam’ di kantong dan sejenisnya, yang diyakini tidak menyentuh sesuatu yang najis maka tidak termasuk hadis ini.  Atau secara ghaib, bisa jadi setan telah mempermainkan tangannya pada saat tidurnya sebagaimana setan bermalam di lubang hidungnya, sehingga bisa jadi setan pun bermalam di tangannya dan mengotorinya dengan berbagai kotoran dan najis yang memengaruhi seseorang. Pendapat ini lebih dekat kepada kebenaran.[2]

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Apabila seseorang bangun dari tidur maka ia tidak boleh memasukkan tangannya ke dalam bejana air sebelum mencucinya tiga kali, karena ada larangan sedangkan larangan pada dasarnya untuk mengharamkan.[Disebutkannya bejana menjadi dalil bahwa larangan ini khusus untuk wadah bukan kolam dan telaga.]

2- Wajib membersihkan apa yang diragukan kenajisannya, berdasarkan sabdanya: “karena ia tidak mengetahui dimana tangannya telah bermalam”. Ini sekaligus merupakan isyarat agar kita mengambil sikap berhati-hati dan menjauhi sesuatu yang mungkin mengandung bahaya. [al-Khithabi berkata: Mengambil sikap hati-hati dalam urusan ibadah lebih utama.]

3- Apabila orang yang bangun dari tidurnya langsung memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya tiga kali, apakah airnya berubah menjad najis atau tidak, dan berdosa atau tidak? Apabila kita katakan larangan tersebut untuk menyatakan haram maka ia berdosa tetapi jika kita katakan untuk menyatakan makruh maka ia tidak berdosa. Sedangkan airnya tetap suci.

4-Hadis ini menjadi dalil tentang syumuliyah syari’ah (kemenyeluruhan ajaran Islam), dan bahwa ia disamping menyangkut berbagai ibadah yang agung dan besar yang merupakan pilar-pilar Islam juga menyagkut urusan lainnya. Karena itu seorang musyrik kepada kepada Salman al-Farisi radhiyallau ‘anhu: ‘Nabi kalian mengajarkan kepada kalian bahkan tentang kotoran?’ Salman menjawab: “Ya”.[3]

Abu Dzar radhiyallau ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dan tidaklah ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di langit kecuali beliau menyebutkan suatu ilmu darinya kepada kami”.[4]

5- [Orang yang mendengar tentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam harus menerimanya dengan sepenuh hati. Jika belum bisa memahami maknanya, maka hal itu karena kekurangan yang ada pada akal manusia. Semua hukum Allah didasarkan pada kemaslahatan sedangkan Allah berfirman: “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (al-Isra’: 85) Adapun lintasan-lintasan pikiran yang buruk harus ditolak dari hati dan pikirannya karena hal itu berasal dari setan dan bisikannya.]

 

Perbedaan Pendapat Para Ulama

[Imam Syafi’I dan jumhur ulama berpendapat bahwa setiap orang yang bangun dari tidur, baik di malam hari ataupun di siang hari, disyari’atkan agar mencuci kedua tangan, berdasarkan keumuman sabdanya “dari tidurnya”. Karena ia merupakan kata mufrad yang di-idhafah-kan, ia mencakup semua tidur. Adapun sabdanya “tidak tahu dimana tangannya bermalam” adalah pembatas yang bersifat dominan (qayd aghlabiy), sedangkan pembatas yang bersifat dominan (qayd aghlabi) menurut para ahli ushul tidak memiliki  mafhum[5], sebagaimana firman-Nya: “…ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri…”. (an-Nisa’: 23). Disini ada dua pembatas (qayd):

Pertama: Firman-Nya, “yang telah kamu campuri”. Ini adalah pembatas yang dimaksudkan, karena itu mafhum-nya disebutkan yaitu firman-Nya “tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu caraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya”.

Kedua: Firman-Nya, “yang dalam pemeliharaanmu”. Ini adalah pembatas yang bersifat dominan (qayd aghlabi) yang tidak memiliki mafhum, karena itu mafhumnya tidak disebutkan di dalam ayat.

Qayd (pembatas) seperti ini ada pada hadis ini berupa sabdanya “batat yaduhu/ tangannya bermalam”. Ini adalah qayd aghlabi sehingga tidak menuntut pengkhususan (takhshish) dan tidak memiliki mafhum. Jadi, tidur malam tidak menjadi syarat untuk mencuci tangan tiga kali bagi orang yang baru bangun dari tidur.

Sedangkan pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad menyatakan bahwa tidur siang tidak ada pengaruhnya, dan bahwa kewajiban mencuci tangan tiga kali itu hanya khusus bagi orang yang bangun dari tidur malam, berdasarkan sabdanya “karena ia tidak mengetahui dimana tangannya bermalam”.

Para ulama juga berselisih pendapat tentang hikmah dari mencuci dua tangan tiga kali setelah bangun dari tidur.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hal tersebut termasuk perkara yang tidak diberitahukan hikmahnya kepada kita sehingga kita tidak dapat mengetahuinya, sekalipun kita tetap meyakini bahwa semua hukum Allah didasarkan pada kemaslahatan dan kemanfaatan. Sabda Nabi “karena ia tidak tahu dimana tangannya bermalam” mengisyaratkan ‘illat yang tersembunyi ini.

Sebagian ulama mengatakan bahwa ia memiliki ‘illat yang bisa diketahui dan dirasakan. Di dalamnya terkandung isyarat bahwa tangan orang yang sedang tidur bergerak di badannya tanpa dirasakan dan menyentuh bagian-bagian badannya yang belum disucikan dengan air sehingga tangannya terkena najis.

Ibnu Taimiyah berkata: Disyari’atkannya mencuci dua tangan ini karena adanya sentuhan setan terhadap keduanya, sebagaimana ditunjukkan oleh ‘illat yang disebutkan, “karena ia tidak mengetahui dimana tangannya bermalam”.]

[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, 162, dan Muslim, 278.

[2] Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 21/44-45.

[3] Diriwayatkan oleh Muslim, 262.

[4] Diriwayatkan oleh Ahmad, 5/153, dan ath-Thayalisi, 479, di dalam sanadnya ada orang yang tidak disebutkan namanya. Al-Bazzar meriwayatkannya sebagaimana di dalam Kasyf al-Astar, nomor 147, Ibnu Hibban, 65, ath-Thabrani, 1647, dari jalan yang lain dari Abu Dzar. Al-Haitsami berkata di daam Majma’ az-Zawa’id, 8/264: “Para perawi ath-Thabrani adalah para perawi hadis shahih, kecuali Muhammad bin Abdullah al-Muqri’, dia terpercaya”. Ahmad meriwayatkannya, 5/162, dari jalan yang lain dari Abu Dzar secara mursal, dan dikuatkan oleh ad-Daruquthni di dalam al-‘Ilal, 6/29.

[5] Mafhum ialah suatu hukum yang tidak diterangkan oleh suatu lafazh dan tidak menurut bunyi lafazh itu sendiri, melainkan menurut pemahaman. Yakni menurut makna yang tersimpan (terkandung) dalam lafazh itu. Penrj.