Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 29) Bab Wudhu

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

BAB Wudhu 

Muqaddimah

Kata wudhu’ secara bahasa merupakan derivasi dari kata wadha’ah yang berarti bagus, cantik dan bersih dari segala kotoran.

Secara terminology wudhu’ adalah ibadah kepada Allah dengan menyucikan empat anggota badan dengan cara yang khusus.

Wudhu’ termasuk amal yang paling utama dan memiliki sejumlah manfaat dan hikmah diantaranya:

1-Apabila di musim dingin, wudhu’ termasuk sarana yang digunakan Allah untuk menghapuskan dosa-dosa dan meningkatkan derajat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis: “Menyempurnakan wudhu’  di saat-saat yang tidak disukai, berjalan ke masjid dan menunggu shalat setelah shalat”.[1]

2-Setiap kali seseorang menyucikan salah satu anggota badannya maka anggota badan tersebut terbersihkan dari najis maknawi yaitu dosa-dosa, lalu dosa setiap anggota badan tersebut keluar bersamaan dengan tetesan air yang terakhir.

3-Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

4-Melaksanakan perintah Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…” (al-Maidah: 6)

5-Keistimewaan dan kekhususan umat ini: “Sesungguhnya mereka dipanggil pada hari Kiamat dalam keadaan berkilauan muka dan kedua tangannya karena bekas wudhu’”.[2]

6-Perhiasan yang diberikan di surga –semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapatkannya—mencapai bagian tubuh yang terbasuh air wudhu’, sebagaimana firman Allah: “Mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara”. (Fathir: 33).  “Dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak”. (al-Insan: 21) Perhiasan mereka ada tiga macam: Dari emas, mutiara dan perak. Ini semua apabila dipadukan akan menjadi pemandangan yang sangat menarik.

Yang jelas, wudhu’ memiliki banyak manfaat. Karena itu, menurut pendapat yang kuat bahwa wudhu’ adalah ibadah dan wajib disertai niat. Berbeda dengan pendapat yang mengatakan bahwa wudhu’ adalah thaharah (bersuci) dan tidak wajib disertai niat sebagaimana menghilangkan najis tidak wajib disertai niat. Jika pakaian seseorang terkena najis lalu turun hujan sehingga hujan tersebut telah membersihkannya maka pakaian itu menjadi suci sekalipun tidak disertai niat. Tetapi wudhu’ tidak sah kecuali harus disertai niat, karena merupakan ibadah.

Wudhu’ memliki beberapa sunnah, fardhu dan wajib. Diantara sunnahnya adalah bersiwak.

[1] Diriwayatkan oleh muslim, 251.

[2] Diriwayatkan oleh Bukhari, 136, dan Muslim, 246.

Hadist 29

عنْ أبي هريرةَ عن رسول الله قال : لوْلا أنْ أشُقَّ على أمّتي لأمَرْتُهُمْ بالسِواكِ مع كلّ وُضوءٍ. أخْرَجَه مالك و أحمد و النسائي و صحّحه ابن خزيمة

29-Dari Abu Hurairah radhiyallu ‘anu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Beliau bersabda: “Seandainya tidak memberatkan atas umatku niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali berwudhu’”. Diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan disebutkan oleh Bukhari secara ta’liq.[1]

 

Kosakata Dan Penjelasan

‘Ala ummati: Atas umatku. Umat Nabi terbagi menjadi dua: Umat dakwah dan umat ijabah. Setiap orang yang ada setelah kerasulan Nabi Muhammad adalah umat dakwah hingga hari Kiamat dan berkewajiban menerima dakwah (ajakan)nya. Sedangkan umat ijabah adalah mereka yang telah menyambut dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang dimaksudkan disini adalah umat ijabah, karena umat dakwah (yang diseru untuk menerima ajakan Nabi) tidak tepat diajak untuk bersiwak tetapi mereka diajak untuk masuk Islam.

La-amartuhum: Niscaya aku perintahkan mereka, yakni perintah wajib. Karena perintah tidak wajib tidak mengandung kesulitan sebab boleh ditinggalkan.

Ma’a kulli wudhu’: Setiap kali berwudhu’. Meliputi wudhu’ wajib dan sunnah. Nabi juga tidak menjelaskan kapan bersiwak itu dilakukan, apakah sebelum berwudhu’, pada saat berwudhu’ atau sesudahnya? Para ulama memilih bahwa bersiwak itu dilakukan pada saat berkumur-kumur, karena berkumur-kumur itu merupakan saat yang tepat untuk membersihkan mulut.

Ta’liqan: Secara ta’liq, yakni sebagai hadis mu’allaq. Ta’liq ialah membuang awal sanad atau seluruh sanadnya. Hadis mu’allaq termasuk dalam kategori hadis dha’if. Tetapi hadis mu’allaq bisa dianggap shahih apabila sanad yang digugurkan (dibuang) itu disebutkan oleh hadis yang bersanad lain, seperti hadis mu’allaq yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari (sebanyak 1341 hadis) dan di dalam Shahih Muslim (sebanyak 3 hadis) telah disambungkan sanadnya di tempat lain.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Belas kasihan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini perkara yang diketaui umum dan disepakati, berdasarkan firman Allah: “Sesngguhnya telah dating kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat mengnginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin”. (at-Taubah: 128)

2- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam punya hak untuk melakukan ijtihad, berdasarkan sabdanya: “Seandainya tidak memberatkan atas umatku niscaya aku perintahkan mereka”. Nabi tidak mengatakan: “Seandainya Allah tidak memerintahkanku niscaya aku perintahkan mereka”. Faktor yang menghalangi keluarnya perintah yang wajib itu adalah adanya kesulitan, bukan tidak adanya perintah Allah. Dengan demikian, Nabi memiliki hak untuk berijtihad. Kemudian jika Allah mengakui dan menetapkannya maka hukum tersebut bernilai syar’i dengan ketetapan Allah. Inilah yang menjadi dasarnya. Jika Allah tidak mnetapkannya maka hukum tersebut terhapus. Pemaafan Nabi kepada orang-orang yang tidak ikut berperang tidak diakui Allah bahkan Allah berfirman:

Semoga Allah mema’afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta”. (at-Taubah: 43).

Allah memulai dengan pemaafan terhadap apa yang telah terjadi sebelum menyebutkannya.

Allah juga berfirman:

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang”. (at-Tahrim: 1)

Jadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam punya hak untuk berijtihad dalam menetapkan hukum. Kemudian jika diakui dan ditetapkan Allah maka ia menjadi syari’at dari sisi Allah, tetapi jika tidak diakui dan tidak ditetapkan Allah, sekalipun hal ini jarang terjadi, maka hukum tersebut terhapus. Masalah ini menjadi perdebatan panjang di kalangan para ulama, tetapi menurut saya (syaikh Utsaimin) tidak ada kemusykilan di dalamnya, alhamdulillah. Masalahnya sudah jelas, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah dan melarang, baik dengan wahyu dari Allah atau pengakuan dan penetapan dari-Nya.

3-Menguatkan [anjuran] penggunaan siwak, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mewajibkannya disebabkan adanya kesulitan.

4-Perintah pada dasarnya untuk mewajibkan, berdasarkan sabdanya “niscaya aku perintahkan mereka”. Demikianlah pendapat sebagian ulama. Mereka berkata: Ini menunjukkan bahwa perintah yang bersifat mutlak itu untuk menyatakan wajib. Tetapi pendapat ini masih perlu didiskusikan dan bisa dijawab bahwa sabdanya, “niscaya aku perintahkan mereka” yakni perintah wajib, sebab perintah secara mutlak telah ada. Tetapi kedudukan perintah untuk mewajibkan atau menganjurkan atau memberi bimbingan itu tidak bisa ditentukan patokannya, karena sebagian perintah disepakati untuk mewajibkan, sebagian perintah disepakati untuk menganjurkan, dan sebagian perintah diperselisihkan kedudukannya. Karena itu para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mereka mengatakan bahwa perintah pada dasarnya wajib berdasarkan dalil yang ada, sebagian yang lain mengatakan bahwa perintah pada dasarnya sunnah berdasarkan dalil yang ada. Ada juga yang mengatakan, jika suatu perintah dimaksudkan sebagai ibadah maka perintah tersebut wajib, jika yang dimaksudkan sebagai adab maka perintah itu sunnah.

Jika ada orang yang mengatakan: Saya ingin memberatkan diriku dengan bersiwak setiap kali berwudhu’, apakah ini lebih utama, atau yang lebih utama menerima rukhshah Nabi? Menurut penulis, yang lebih utama adalah yang kedua. Bisa juga dikatakan: Jika menimbulkan keberatan yang nyata maka lebih utama mengikuti rukhshah, tetapi jika hanya mengeluarkan siwak dari kantong baju dan menggosok gigi maka lakukanlah, karena hal ini tidak berat.

Apakah keutamaan bersiwak bisa dicapai tanpa penggunaan kayu siwak?

Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama mengatakan, tidak tercapai keutamaan bersiwak kecuali dengan menggunakan kayu siwak. Sebagian yang lain mengatakan, sunnah bersiwak itu bisa dicapai dengan membersihkan sekalipun tidak menggunakan kayu siwak. Pendapat kedua ini lebih mendekati kebenaran.[2] Atau bisa dikatakan: Tidak diragukan bahwa yang lebih sempurna dan lebih utama adalah menggunakan kayu siwak atau sesuatu yang bisa menggantikannya. Tetapi bila membersihkan dengan sarana yang lain maka hal ini cukup untuk bisa mendapatkan sunnah.

Apakah wudhu’ menjadi kekhususan umat ini atau milik semua umat?

Wudhu’ disyari’atkan untuk semua umat, tidak hanya untuk umat ini saja. Tetapi sesuatu yang menjadi kekhususan umat ini menyangkut wudhu’ adalah kilauan cahaya muka dan kedua tangan karena bekas wudhu’, sebab mereka dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan muka dan kedua tangan berkilauan cahaya karena bekas wudhu’. Nabi bersabda: “Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku: …dan tayammum”. [3] Yakni pada saat tidak mendapatkan air. Ini menunjukkan bahwa umat lain bersuci sebagaimana kita bersuci kecuali tayammum. Demikian pula sabdanya: “Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari Kiamat dalam keadaan berkilauan muka dan kedua tangan mereka karena bekas wudhu’”. Jelas, bahwa pengkhususan tersebut adalah pahala yang didapat umat ini.

Keadaan apa saja yang disunnahkan untuk bersiwak?

Pada saat berwudhu’, pada saat hendak melaksanakan shalat, pada saat bangun dari tidur, pada saat masuk rumah[4] dan pada saat perubahan bau mulut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaih wasallam: “Bersiwak bisa membersihkan mulut dan mendapatkan ridha Allah”.[5]

Apakah dikecualikan pada waktu tertentu?

Tidak dikecualikan waktu tertentu karena keumuman sabda Nabi: “Setiap kali berwudhu’”, yakni meliputi wudhu’ orang yang sedang berpuasa dan lainnya. Jadi, orang yang sedang berpuasa pun disunnahkan bersiwak sebagaimana disunnahkan bagi orang lain di setiap waktu.

5-Di dalam hadis ini terdapat dalil bahwa syari’at ini mudah dan memberikan kemudahan, tidak ada kesulitan di dalamnya. Kaidah orisinal dan mendasar di dalam Islam ini tersirat dalam firman Allah: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (al-Baqarah: 185) Dan firman-Nya: “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (al-Hajj: 78) Karena itu, tidaklah Nabi diberi dua pilihan melainkan Beliau memilih yang lebih mudah, selama tidak mengandung dosa.

Berdasarkan kaidah ini, apabila para ulama berbeda pendapat tentang suatu masalah, lalu sebagian mereka menghalalkan dan sebagian yang lain mengharamkan, atau sebagian mereka membolehkan dan sebagian yang lain mewajibkan, sedangkan tidak ada dalil yang menguatkan salah satu dari kedua pendapat tersebut, maka kami menguatkan pendapat yang menghalalkan dan membolehkan karena lebih mudah, sekalipun sebagian ulama mengatakan: Kami mengambil pendapat yang lebih berat karena berhati-hati.

Tetapi bisa dijawab: Berhati-hati itu dalam berkomitmen kepada kaidah syari’at, bukan dalam mewajibkan dan membebani manusia dengan sesuatu yang belum jelas status wajibnya.

6-[Banyak ibadah utama yang ditinggalkan Nabi bersama umatnya atau tidak diperintahkan kepada umatnya, karena khawatir menjadi kewajiban atas mereka, seperti shalat malam di bulan Ramadhan secara berjama’ah, bersiwak, dan mengakhirkan shalat Isya’ pada waktunya yang utama. Semua itu sebagai wujud belas kasihan, kasih sayang dan kekhawatiran Nabi kepada umatnya.

7-Hadis yang agung ini menjadi dalil bagi kaidah syar’iyah: “Menolak berbagai bahaya didahulukan daripada menarik berbagai kemaslahatan”. Bahaya terjatuh ke dalam dosa karena meninggalkan kewajiban (dalam masalah ini) menghalangi kemaslahatan mewajibkan bersiwak setiap kali berwudhu’.

8-Ibnu Daqiq al-Id berkata: Rahasianya, kita diperintahkan mendekatkan diri kepada Allah di setiap keadaan agar kita senantiasa dalam keadaaan bersih secara sempurna, untuk menampakkan kemuliaan ibadah.

Sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan malaikat, karena malaikat terganggu dengan bau yang tidak sedap.

Ash-Shan’ani berkata: Tidak mustahil bahwa kedua hal yang disebutkan itu benar, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, 854, dan Muslim, 564, dari hadis Jabir secara marfu’: “Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah atau daun kucai maka janganlah dia mendekati tempat-tempat shalat kami, karena para malaikat merasa terganggu dari apa yang membuat anak Adam terganggu”.]

[1] Diriwayatkan oleh Malik, 148, Ahmad, 7364, Nasa’I, 7, Ibnu Khuzaimah, 140, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 5317.

[2] Lihat: al-Mughni, 1/137, dan al-Inshaf, 1/120.

[3] Diriwayatkan oleh Bukhari, 1, 335, dan Muslim, 521.

[4] Dari Miqdam bin Syuraih radhiyallahu ‘anhu, dari bapaknya, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha; ‘Pekerjaan apakah yang pertama-tama dilakukan Nabi kalau masuk rumah?” Jawab Aisyah: “Bersiwak”. Diriwayatkan oleh Muslim, 199. Penj.

[5] Diriwayatkan oleh Bukhari, 1934.