Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram
Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.
Penerbit: Dar Ummil Qura
Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.
Hadist 27
وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ -فِيْ دَمِ الحَيْضِ يُصِيْبُ الثَّوْبَ- : ((تَحُتُّهُ ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ ، ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ)). متفق عليه.
Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang darah haid yang mengenai pakaian: “(Hendaklah) ia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, kemudian menyiramnya, kemudian shalat dengan pakaian itu”. Muttafaq ‘alaih.[1]
Kosakata Dan Penjelasan
Damul haidh: Darah haid, yaitu darah normal dan alami yang dilepaskan oleh rahim apabila wanita telah mencapai usia haid dan siap untuk hamil. Ini merupakan perkara alami, sebagaimana sabda Nabi kepada Aisyah radhiyallau ’anha ketika mendapatinya sedang menangis karena mengalami haid: “Ini adalah sesuatu yang ditetapkan Allah atas anak-anak perempuan Adam semenjak mereka diciptakan”.[2]
Taqrudhu: Menggosoknya, yakni dengan ujung-ujung jari.
Pelajaran Hadis Ini
1-Darah haid itu najis, karena setelah menyebutkan pembersihannya melalui beberapa tahapan seperti itu Nabi kemudian bersabda: “Kemudian shalat dengan pakaian itu”. Ini menunjukkan bahwa darah haid itu harus dihilangkan sebelum shalat, karena ia najis.
2-Darah haid, sekalipun sedikit, tidak dimaafkan yakni harus dibersihkan, berdasarkan sabdanya, “Kemudian menggosoknya dengan air”. Ini biasanya dilakukan terhadap sesuatu yang sedikit. Sedangkan najis yang banyak harus dikucek dengan menggunakan tangan sepenuhnya. Ini menunjukkan bahwa darah haid sekalipun sedikit tidak dimaafkan.
Sedangkan darah yang lain, yang keluar dari tubuh manusia, menurut pendapat yang kuat, tidak najis. Karena hingga detik ini saya (syaikh Utsaimin) tidak menemukan dalil yang menunjukkan bahwa ia najis. Telah menjadi ketetapan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu suci kecuali ada dalil yang mengubahnya.
Apakah darah istihadhah itu najis seperti semua darah?
Pendapat yang lebih mendekatai kebenaran, menurut saya, bahwa darah istihadhah itu sama seperti darah haid yakni harus dihindari, tetapi suami boleh menyetubuhi istrinya yang sedang mendapati darah istihadhah, karena kebutuhan. Pakaian yang terkena darah istihadah harus dicuci, banyak ataupun sedikit.
3-Penjelasan bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum hidup sederana, karena kaum wanita mereka shalat dengan menggunakan kain yang sebelumnya dipakai ketika haid sedangkan kaum lelaki mereka shalat dengan menggunakan kain yang dipakai bersetubuh sebelumnya. Ini menunjukkan kesederhanaan hidup mereka dan bahwa mereka tidak memaksakan diri.
4-Material najis harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum dicuci, berdasarkan sabdanya, “mengeriknya”. Karena jika Anda menyiramkan air kepadanya sebelum dikerik (dihilangkan) maka najisnya makin melebar dan menjadi banyak, sehingga harus dikerik (dihilangkan) terlebih dahulu. Diqiyaskan kepadanya najis yang serupa, misalnya tahi, harus dibuang terlebih dahulu kemudian tempat yang terkena najis itu baru dicuci.
5-Bertahap dalam menghilangkan najis, berdasarkan sabdanya, “mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, kemudian menyiramnya”.
6-Wanita boleh shalat dengan menggunakan pakaian yang dipakai saat haid, apabila telah dicuci.
7-Pada saat menghilangkan najis sebaiknya tidak banyak diguyur air sebelum najisnya hilang agar najisnya tidak meluas. Tetapi dicci sedikit demi sedikit hingga najisnya hilang kemudian bekas najisnya disiram dengan air yang banyak.
8-Najis tidak bisa dihilangan kecuali dengan air, berdasarkan sabdanya, “Kemudian menggososknya dengan air”. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Tetapi pendapat yang kuat bahwa najis bisa dihilangkan dengan apa saja yang dapat menghilangkannya seperti air, dikerik, digosok, atau lainnya. Beberapa hadis menyebutkan air karena pada saat itu merupakan sarana yang paling mudah digunakan untuk menghilangkan najis.
9-Menghilangkan najis dari pakaian yang digunakan shalat menjadi syarat sahnya shalat, berdasarkan sabdanya, “kemudian shalat dengan pakaian tersebut”. Tekstual hadis ini menunjukkan bahwa tidak boleh shalat dengan menggunakan pakaian tersebut hingga dilakukan apa yang disebutkan Nabi tersebut.
10-Memercikkan atau meyiram berarti mencuci, berdasarkan sabdanya, “kemudian menyiramnya”. Maksud menyiram atau memercikkan disini adalah mencuci, kecuali jika setelah dikerik dan digosok dengan air najisnya telah nyaris hilang sehingga bisa dihilangkan dengan siraman atau percikan.
[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, 227, dan Muslim, 291.
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari, 294, dan Muslim, 1211.