Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 26)

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

Hadist 26

وَعَنْ أَبِي السّمْحِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ، ويُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الغُلامِ)). أخرجه أبو داود والنسائي، وصححه الحاكمُ .

Dari Abu as-Samh radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Bekas kencing bayi perempuan harus dicuci dan bekas kencing bayi laki-laki cukup disiram dengan air”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh al-Hakim.[1]

 

Kosakata Dan Penjelasan

Abu as-Samh: Salah seorang pembantu Nabi shallallahu alaihi wasallam, namanya Iyad.

Sebab hadis ini: Ketika Abu as-Samh radhiyallau ‘anhu membantu Nabi datanglah Hasan atau Husain lalu kencing di atas dadanya, kemudian Abu as-Samh ingin mencucinya, lalu Nabi menyampaikan hadis ini. Maka hadis ini memiliki sebab, tetapi hukum disimpulkan berdasarkan keumuman lafazh bukan berdasarkan kekhususan sebab.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Hadis ini menjadi dalil untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik secara syar’I ataupun qadari (kodrat), banyak sekali. Di sini disebutkan tentang perbedaan kencing bayi laki-laki dan kencing bayi perempuan. Kencing bayi perempuan harus dicuci sebagaimana kencing-kencing yang lain, sedangkan kencing bayi laki-laki cukup diperciki dengan air yakni disiram hingga rata tanpa perlu diperas dan dikikis.

Apa perbedaan antar keduanya?

Perbedaan antar keduanya adalah hukum Allah dan Rasul-Nya. Bila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan hukum sesuatu dan membedakan antar dua hal yang berdekatan maka ‘illat tersebut adalah hukum Allah dan Rasul-Nya. ‘Illat ini bisa diterima oleh setiap orang beriman tanpa memerlukan diskusi lagi, karena ia beriman bahwa hukum Allah pasti didasarkan pada hikmah. Dengan demikian kita mengetahui bahwa disana pasti ada hikmah yang mengharuskan perbedaan hukum tersebut. Saat itulah kita menerima dengan puas hati.

2-Kencing bayi laki-laki dan kencing bayi perempuan najis, kareka masing-masing dari keduanya diperintahkan untuk dibersihkan, tetapi kencing bayi perempuan dibersihkan dengan dicuci sedangkan kencing bayi laki-laki, yang belum mengonsumsi makanan, dibersihkan dengan diperciki air atau disiram.

3-Dengan demikian kita memahami hikmah syari’ah dalam membedakan beberapa hal sesuai tuntutan keadaan, baik kita katakan bahwa hukum ini bersifat ta’abbudi atau dijelaskan alasannya, karena kita mengetahui tidak mungkin dibedakan kecuali bila ada ‘illat yang memengaruhi.

4-Bila bayi laki-laki telah besar dan telah mengonsumsi makanan, atau konsumsi makanannya lebih  banyak, maka hukumnya sama dengan anak yang sudah akil baligh, yakni kencingnya harus dicuci.

[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 376, Nasa’I, 304, al-Hakim, 589, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 8117.