Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram
Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.
Penerbit: Dar Ummil Qura
Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.
Hadist 25
وَعَنْ عَائِشَةَ رضِي اللّه عنها ، قالت : (( كَانَ رَسُوْلُ اللّهِ صلى اللّه عليه وسلم يَغْسِلُ الْمَنِيَّ ، ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلاَةِ فِيْ ذَلِكَ الثّوْبِ ، وَأنَا أَنْظُرُ إِلَى أثَرِ الْغَسْلِ )) متفق عليه .
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mencuci mani kemudian keluar untuk shalat dengan (memakai) kain tersebut, sedangkan saya melihat bekas cucian tersebut.” Muttafaq ‘alaih.[1]
Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Saya pernah benar-benar menggosok mani dari kain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian Beliau shalat dengan menggunakan kain tersebut”.[2]
Dalam riwayat Muslim yang lain disebutkan: “Saya pernah mengikis mani itu dalam keadaan kering dengan kuku saya dari kainnya”.[3]
Kosakata Dan Penjelasan
Al-Maniy: Mani, yaitu air yang terpancar, kental dan berwarna putih, yang keluar dari seseorang dalam keadaan bersyahwat.
Ada tiga hal yang keluar dari dzakar (kemaluan) seseorang: Mani, madzi dan kencing. Sedangkan wadi termasuk bagian dari kencing.
Mani itu suci dan mewajibkan mandi. Ia keluar terpancar dalam keadaan bersyahwat dengan kuat. Sedangkan madzi antara suci dan najis. Bukan termasuk najis yang berat dan tidak pula termasuk kategori suci. Sebabnya juga syahwat tetapi tidak keluar ketika syahwat sedang menguat. Justru ia keluar setelah syahwat itu reda dan ketika mengingat atau melihat wanita. Ia keluar tanpa dirasakan seseorang dan tidak diketahui kecuali melalui basahnya. Syari’at menjadikannya antara mani dan kencing. Ia mewajibkan mencuci dzakar dan kedua biji kemaluan, sekalipun tidak terkena basahnya. Sesuatu yang terkena madzi harus disiram dengan air tanpa harus diperas dan digosok. Kencing dan wadi hukumnya sama, keduanya najis, harus dicuci dengan sempurna, disiram dengan air hingga menetes serta digosok dan diperas.
Pelajaran Hadis Ini
1-Boleh menyebut secara tegas sesuatu yang dirasa malu menyebutkannya pada saat diperlukan, berdasarkan perkataan Aisyah: “Mencuci mani”.
2-Wajib menghilangkan bekas mani, baik dikatakan mani itu suci ataupun najis.
3-Mani tidak najis, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak memerintahkannya untuk mencucinya. Sekedar perbuatan Nabi tidak menunjukkan wajib. Wajib harus ditegaskan melalui perintah. Sebagian ulama mengatakan bahwa perbatan yang terus menerus menunjukkan wajib sekalipun tidak diperintahkan. Tetapi perbuatan Nabi dalam hal ini tidak terus menerus, karena terkadang belia mengikisnya apabila mani itu kering.
4-Bisa diqiyaskan kepada mani semua hal yang bisa menimbulkan rasa malu jika terlihat. Maka seseorang harus menghilangkannya dari pakaian, seperti bekas darah, sekalipun suci.
5-Termasuk bergaul dengan cara yang patut ialah seorang istri melayani suaminya, berdasarkan perkataan Aisyah: “Saya pernah mengikis mani itu”.
Apakah istri wajib melayani suaminya? Sesungguhnya Allah menetapkan hukum yang adil dalam masalah ini dalam firman-Nya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut”. (an-Nisa’: 19). Jika seorang istri melayani suaminya itu merupakan sesuatu yang baik dan patut menurut masyarakat maka istri wajib melayani suaminya. Jika seorang istri dianggap tidak patut melayani suaminya dan bisa menggunakan jasa pembantu maka ia tidak wajib melayani suaminya. Jika seorang istri dianggap patut dan baik melayani suaminya pada sebagian urusan tanpa urusan yang lain maka ia wajib melayani suaminya sesuai apa yang menurut tradisi patut dilakukan sedangkan pada hal-hal yang dianggap tidak patut maka tidak wajib. Semua ini disimpulkan dari dua kalimat: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut”. Dalam tradisi generasi salaf yang shalih seorang suami dianggap patut meminta istrinya melayaninya dalam mencuci pakaian, memasak dan membersihkan rumah, sampai Asma’ istri Zubair radhiyallahu ‘anhuma membawa biji-biji gandum dari Madinah ke kebunnya di luar Madinah, berbeda dengan tradisi orang-orang Barat.
6-Boleh hanya mengikis mani jika telah kering dan tidak wajib mencucinya, tetapi sebagian orang maninya tetap berbekas sekalipn telah dikikis, apakah wajib dicuci? Ya, cucilah bekas mani tersebut agar orang-orang tidak merasa jijik melihatnya.
7-Zuhud Nabi shallallahu alaih wasallam, karena pakaiannya yang terkena mani itu dicucinya dan dipakai untuk shalat. Yakni beliau tidak memerlukan pakaian khusus untuk shalat, pakaian khusus untuk tidur, pakaian khusus untuk di rumah dan lainnya.
Apakah jika Allah mengaruniai kita harta yang lapang kita harus kembali kepada hal tersebut dan memakai pakaian tidur untuk shalat? Tidak demikian. Apabila Allah mengaruniai kita kelapangan maka Allah suka melihat jejak nikmat-Nya pada hamba-Nya.
Apakah mani yang dikikis Aisyah dari kain Nabi itu mani karena mimpi atau karena hubungan suami istri? Ia adalah mani karena berhubungan suami istri, sebab Nabi tidak bermimpi, sebagaimana disebutkan para ulama.
8-[Ibnu Mulqan berkata di dalam Syarh al-‘Umdah: Sejumlah ulama berdalil dengan hadis Aisyah ini bahwa kelembaban yang ada pada vagina wanita itu suci. Pendapat ini paling benar menurut kami –madzhab Syafi’i.]
***
[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, 229, dan Muslim, 289.
[2] Diriwayatk an oleh Muslim, 288.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim, 290.