Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram
Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.
Penerbit: Dar Ummil Qura
Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.
Hadist 23
وَعَنْهُ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَبَا طَلْحَةَ, فَنَادَى: «إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ [الْأَهْلِيَّةِ] , فَإِنَّهَا رِجْسٌ». مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pada hari perang Khaibar, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Abu Thalhah untuk berseru: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian (memakan) daging keledai-keledai yang jinak, karena sesungguhnya ia kotor. Muttafaq ‘alaih.[1]
Kosakata Dan Penjelasan
Khaibar: Nama bagi benteng-benteng dan ladang pertanian orang-orang Yahudi. Berjarak kira-kira 100 mil sebelah barat laut kota Madinah. Hari peperangan tersebut terjadi pada awal tahun ketujuh Hijriyah –akhir-akhir Muharram dan awal-awal Shafar.
Fanaada: Untuk berseru, yakni berkata dengan suara keras. Seruan ini disampaikan kepada para sahabat yang telah menyalakan api untuk membakar daging-daging keledai setelah mereka mendapat pampas an keledai dalam jumlah yang banyak. Mereka pun mulai menyembelih keledai-keledai itu dan memasaknya, kemudian Allah mengharamkannya pada saat itu sebelum dimasak di dalam periuk. Inilah waktu diharamkannya keledai setelah sebelumnya halal.
Al-Humur al-Ahliyah: Keledai-keledai yang jinak, yang biasa dijadikan tunggangan dan digunakan untuk mengangkut berbagai kebutuhan. Kebalikannya adalah keledai-keledai liar yang tidak diharamkan.
Fa-innaha: Sesungguhnya ia, yakni keledai atau daging keledai. Jika kembalinya dhamir (kata ganti) ini kepada keledai maka air liur, air mata dan ingusnya, semuanya najis. Jika kembalinya dhamir itu kepada daging keledai maka hanya dagingnya saja yang najis.
Rijsun: Kotor, yakni najis.
Pelajaran Hadis Ini
1-Hadis ini menjadi dalil diharamkannya daging keledai yang jinak. Kesimpulan ini diambil dari sabdanya: “Yanhayanikum” (melarang kalian) dan “fa-innaha rijsun” (karena sesungguhnya ia kotor). Pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan. Demikian pula pada dasarnya najis itu wajib dijauhi.
2-Hukum-hukum syari’ah harus diumumkan dengan sarana pengumuman yang paling kuat. Alasannya, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Abu Thalhah mengumumkan hukum syari’ah ini karena suaranya yang keras.
3-Boleh mewakilkan dalam menyampaikan ilmu dan syari’ah. Kesimpulan ini diambil dari perinta Nabi kepada Abu Thalhah untuk berseru, tetapi disyaratkan agar wakil ini bisa dipercaya. Jika tidak terpercaya maka tidak boleh.
4-Boleh mengangkat penerjemah. Seorang ulama yang ingin berbicara kepada suatu kaum yang tidak memahami bahasanya boleh mengangkat penerjemah untuk menyampaikan apa yang dikatakannya, dengan syarat penerjemah ini jujur dan menguasai dua bahasa.
5-Penggunaan sound system untuk menyampaikan khutbah kepada jama’ah shalat, bahkan menggunakan radio karena lebih luas siarannya, termasuk perkara yang diakui Sunnah. Sehingga hal ini menjadi bantahan bagi orang yang menolak sarana ini dan menganggapnya bid’ah karena tidak dikenal di zaman Nabi.
6-Boleh mengabungkan nama Allah dan Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan huruf “wawu” (dan) dalam hukum-hukum syari’ah. Alasannya, karena larangan Rasul adalah bagian dari larangan Allah, sebagaimana firman Allah: “Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”. (al-Ahzab: 36). Allah juga berfirman: “Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah”. (an-Nisa’: 80) Karena hukum yang berasal dari Nabi sama dengan hukum yang berasal dari Allah maka boleh menggabungkan nama Allah dan nama Rasul dengan huruf “wawu” (dan).
Jika ada yang bertanya: Mana larangan Allah dari hal tersebut (makan daging keledai)? Sedangkan Allah berfirman kepada Nabi-Nya: “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor”. (al-An’am: 145) Jadi yang diharamkan itu tiga hal sedangkan keledai tidak termask didalamnya. Mana larangan Allah?
Kami jawab: Ayat ini terdapat di dalam surat al-An’am yang merupakan surat Makkiyah, sedangkan hadis ini disampaikan di Khaibar sesudah hijrah. Ayat tersebut tidak menyatakan “lan ajida fima uhiya ilaiyya muharraman”. Sekiranya disebutkan dengan kalimat “lan ajida” (tidak akan aku peroleh) pasti hadis ini bertentangan dengannya. Tetapi ayat tersebut menyatakan: “La ajidu fima uhiya ilaiyya” dan tidak mengatakan: “Fima yuha ilaiyya”. Jadi, ayat ini turun di Makkah dan pada saat turunnya tidak diharamkan kecuali tiga macam hal tersebut. Tidak ada pertentangan antara ayat tersebut dan hadis ini sama sekali. Juga tidak ada pertentangan antara ayat tersebut dan larangan Nabi dari (memakan) “setiap binatang buas yang bertaring dan burung yang memiliki kuku untuk mencengkeram”[2].
7-Pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan, berdasarkan sabdanya: “yanhayanikum” (melarang kalian) kemudian dijelaskan ‘illatnya bahwa ia najis sedangkan najis pasti haram.
8-Apabila disebutkan daging maka meliputi semua bagian tubuh, karena keledai disepakati haram, baik dagingnya, susunya, hatinya, ususnya ataupun perutnya, semuanya disebut daging dalam syari’at.
9-Daging keledai liar halal. Kesimpulan ini diambil dari sabdanya: “al-Ahliyah” (yang jinak). Apakah pengharaman tersebut karena orang-orang memerlukannya sebagai tunggangan dan pengangkut beban, sehingga apabila dihalalkan akan menimbulkan kesulitan bagi manusia? Atau diharamkan karena najis? Ia diharamkan karena najis, sebab Nabi menegaskan hal ini. Alasan pertama tertolak, karena manusia lebih memerlukan onta sebagai tunggangan dan pengangkut beban, sekalipun demikian ia dihalalkan.
10-Setiap yang najis pasti haram, tetapi tidak setiap yang haram pasti najis, seperti racun.
11-Semua bagian keledai najis, kencingnya, tahinya, air liurnya, keringatnya dan semua yang keluar dari tubuhnya seperti nanah atau lainnya, berdasarkan keumuman sabdanya: “Karena sesungguhnya ia kotor (najis)”. Ini pendapat yang popular dalam madzhab Hanbali, tetapi pendapat ini –yang mengatakan bahwa semua bagian keledai itu najis–bertentangan dengan sabda Nabi tentang kucing bahwa “ia tidak najis” karena ia termasuk binatang yang berkeliaran diantara kalian. Kita semua tahu bahwa keledai (di tanah Arab) lebih banyak ‘berkeliaran’ daripada kucing. Jadi, ‘illat yang ada pada kucing juga ada pada keledai sehingga hukumnya sama. Disamping itu Nabi dan para sahabatnya juga biasa menaiki keledai sedangkan orang yang naik keledai tidak terhindar dari basah baik keringat keledai atau terkena air hujan dan lainnya. Keledai juga minum dan menggoyangkan kepalanya setelah minum sehingga percikan airnya mengenai orang yang ada di sekitarnya. Ini tidak diragukan mengandung kesulitan terutama bagi orang yang banyak menggunakan keledai. Sedangkan agama datang untuk menghilangkan kesulitan. Pendapat inilah yang kuat. Yakni air liurnya, apa yang keluar dari hidungnya, apa yang keluar dari matanya seperti air mata, dan keringatnya, semuanya suci. Karena keledai termasuk binatang yang berkeliaran di sekitar kita, sedangkan Nabi bersabda tentang kucing: “Karena sesungguhnya ia termasuk binatang yang berkeliaran diantara kalian”.
12-Pengarang (Ibnu Hajar al-Asqalani) tidak mengutip hadis secara lengkap, tidak disebutkan bahwa mereka (para sahabat) tengah memasak daging keledai dan bahwa periuk mereka tengah mendidih berisi daging keledai, bahkan Nabi memerintahkan agar periuk-periuk dibalik dan dipecahkan, tetapi mereka meminta agar periuk-periuk itu dicuci lalu Nabi bersabda: “Atau cucilah periuk-periuk itu”. Kelengkapan hadis ini menunjukkan bahwa kita tidak boleh melanjutkan perbuatan yang diharamkan sekalipun pada awalnya dibolehkan. Apabila telah terbukti haram maka tidak boleh dilanjutkan dan harus segera ditinggalkan. Misalnya, seorang lelaki yang memakai kain sutera lalu diingatkan bahwa hal itu diharamkan bagi orang lelaki maka ia harus segera melepasnya, kecuali jika tidak memiliki pakaian yang lain.
13-Pengajaran yang baik dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan cara menyebutkan hukum disertai dengan ‘illatnya. Apabila seorang guru dan lainnya menyebutkan suatu hukum hendaknya menyebutkan pula dalilnya, baik berupa nash atau ‘illat, agar jiwa bisa menerimanya dengan tenang dan mantap. Ada beberapa manfaat menyebutkan ‘illat (alas an hukum), diantaranya:
- Jiwa merasa tenang dengan hukum yang ada.
- Menjelaskan ketinggian syari’at dan bahwa ia tidak memerintahkan dan tidak melarang kecuali karena suatu hikmah.
- Dimungkinkan melakukan qiyas kepada hukum tersebut.
14-Penjelasan tentang hikmah syari’ah dalam menyebutkan ‘illat dan bahwa ia tidak mengharamkan sesuatu kecual karena suatu ‘illat yaitu keburukan, baik keburukan material atau keburukan maknawi. Syari’at tidak mewajibkan kita mengetahui berbagai ‘illat yang ada tetapi ketidaktahuan kita tentang ‘illat suatu hukum tidak menafikan adanya hukum tersebut. Ini merupakan kekurangan pemahaman dan pengetahuan kita, bukan kekurangan hukum yang ada.
***
[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, 4198, dan Muslim, 1940.
[2]Diriwayatkan oleh Muslim, 1890.