Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 22)

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

BAB 3

MENGHILANGKAN NAJIS DAN PENJELASANNYA

Muqaddimah

                Susunan (urutan bab) ini dari pengarang (Ibnu Hajar). Banyak ulama yang menyusun seperti ini. Yakni setelah menyebutkan air dan kapan air itu najis lalu disebutkan dengan apa air itu menjadi suci. Kami tegaskan bahwa apabila air najis maka bisa disucikan dengan beberapa hal:

Pertama, apabila perubahannya telah hilang maka air itu telah suci atau bersih. Telah kami sebutkan bahwa jia warna, atau rasa atau baunya berubah karena suatu najis maka air itu menjadi najis. Jika perubahannya itu, berupa rasa, warna dan baunya, telah hilang maka air itu menjadi suci. Baik hilang karena tindakan manusia atau karena lama tergenang atau karena suatu sebab yang lain, bila telah perubahan air yang najis itu telah hilang, baik air itu sedikit ataupun banyak, maka air itu menjadi suci. Dalilnya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam membagi air menjadi dua: Suci dan najis. Bila berubah karena najis maka air itu najis, bila tidak berubah karena najis tersebut maka air itu tetap suci. Hukum berputar mengikuti ‘illatnya, ada dan tidak adanya.

Kedua, suci dengan menambahkan air kepadanya sehingga najisnya hilang.

Ketiga, apabila air itu banyak sedangkan bagian yang terkena najis dan berubah itu telah dihilangkan dan bagian yang tidak berubah tetap ada, maka air itu telah suci.

Itulah tiga sarana atau cara untuk membersihkan air. Sedangkan hal-hal yang bukan air maka akan dijelaskan insya Allah.

Membersihkan tanah, sebagaimana telah disebutkan, dilakukan dengan cara menyiramkan air ke tempat yang terkena najis. Bila najis itu punya wujud benda, maka wujud itu dibuang terlebih dahulu kemudian bekasnya disiram dengan air. Misalnya najis itu berupa tahi yang ada di tanah, maka tahi itu harus dibuang terlebih dahulu kemudian bekasnya disiram dengan air. Bila berupa darah kering maka darah itu dibuang dulu kemudian bekasnya disiram air hingga hilang bekasnya.

Apakah membersihkan najis disyaratkan niat? Tidak, karena ia bukan ibadah yang diperintahkan dengan syarat niat. Tetapi najis itu adalah kotoran yang diperintahkan untuk dihilangkan. Bila najisnya telah hilang maka tempat itu telah suci.

Seandainya pakaian seseorang terkena najis di bagian atas rumah lalu turun hujan hingga menghilangkan najisnya, maka pakaian tersebut telah suci sekalipun tanpa disertai niat.

Ketahuilah bahwa padasarnya segala sesuatu itu bersih hingga ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Sebagaimana pada dasarnya segala sesuatu itu halal hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Bila ada dua orang yang berselisih pendapat, salah satunya mengatakan ini najis sedangkan yang lain mengatakan ini bersih. Maka sesuatu itu bersih sebagaimana pendapat orang pertama sampai orang yang kedua bisa menunjukkan dalil dari al-Quran atau Sunnah Nabi atau ijma’ para ahli ilmu tentang keharamannya.

***

Hadist 22 

. عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي اللّه عنه قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم عَنِ الخَمْرِ : تُتّخَذُ خَلاًّ ؟ فقال : لا
أخْرَجَهُ مسلمٌ والتِّرْمذي وقَالَ: حسن صحيح.

Dari Anas bin Malik radhiyallau ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang khamar (minuman memabukkan) yang diubah menjadi cuka? Beliau menjawab: “Tidak boleh”. Diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi, ia berkata: Hasan shahih.[1]

 

Kosakata Dan Penjelasan

Khamar: Khamar, yaitu setiap minuman yang memabukkan akal, sebagaimana ditegaskan Umar bin Khaththab bahwa khamar adalah segala sesuatu yang menutupi akal. Setiap yang memabukkan adalah khamar dan tidak dibatasi dengan sesuatu tertentu. Mabuk adalah tertutupnya akal karena kelezatan dan suka cita.

Tuttakhadzu khallan: Diubah menjadi cuka. Yakni diproses hingga berubah menjadi cuka setelah sebelumnya berupa khamar.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Mengharamkan khamar, karena larangan untuk mengubahnya menjadi cuka menunjukkan pengharamannya lebih utama. Hal ini disepakati berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ kaum Muslimin. Para ulama berkata: Siapa yang mengingkari pengharamannya sedangkan dia hidup di negeri kaum Muslimin maka dia kafir, murtad dan diminta bertaubat. Jika bertaubat dan mengakui keharamannya maka taubatnya diterima tetapi jika tidak mau bertaubat maka wajib dibunuh karena murtad.

2-Sadd al-Dzara’i’ (mengambil langkah preventif). Nabi sallallahu alaihi wasallam melarang mengubah khamar menjadi cuka agar tidak disimpan dan tidak tergoda untuk meminumnya.

3-Jawaban dengan menggunakan “la” (tidak) kedudukannya sama dengan kalimat sempurna. Ini berlaku umum bahkan di dalam berbagai akad. Jika dikatakan kepada sesorang yang melakukan transaksi jual beli: Apakah kamu telah menerima jula beli ini? Ia menjawab: “Ya”. Maka jal beli tersebut telah terjadi. Jika wali anak perempuan berkata: Aku nikakan kamu dengan anak perempuanku. Kemudian dikatakan kepada suami: Apakah kamu telah menerima? Ia menjawab: “Ya”. Maka jawaban itu cukup dan akad nikah telah terjadi. Jika dikatakan kepada seseorang: Apakah kamu telah menceraikan istrimu? Ia menjawab: “Ya”, maka istrinya telah tercerai. Jadi, jawaban dengan “tidak” atau “ya” sama dengan kalimat sempurna.

4-Pengarang (Ibnu Hajar al-Asqalani) mencantumkan hadis ini di dalam bab ini untuk menjadi dalil bahwa khamar itu najis dan tidak boleh diproses menjadi cuka. Jika diproses (diasamkan), setelah menjadi khamar, maka ia tetap najis. Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama.[2]  Mayoritas ulama –diantaranya Imam madzhab yang empat—berpendapat bahwa khamar najis. Apabila mengenai badan atau pakaian atau bejana maka wajib dibersihkan karena ia najis. Sebagian ulama berpendapat bahwa khamar itu suci secara material (‘ainiyah), bukan suci secara maknawi. Mereka berkata: Siapa yang menganggapnya najis secara material maka ia harus mengemukakan dalil, karena pada dasarnya suci.

Jumhur ulama berdalil, atas najisnya khamar, dengan firman Allah: “Sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu”. (al-Maidah: 90). Perbuatan keji yakni najis, berdasarkan firman Allah: “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor”. (al-An’am: 145).Kotor yakni najis.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu datang kepada Nabi membawakan dua batu dan kotoran (kering) untuk digunakan beristinja’, lalu Nabi mengambl dua batu dan membuang kotoran seraya bersabda: “Sesungguhnya ia najis” yakni tidak bisa membersihkan kotoran karena najis.

Para ulama yang berpendapat khamar suci menjawab dalil di atas dengan mengatakan: Bahwa yang dimaksudkan ayat di atas adalah najis maknawi bukan najis hissi (material). Dalilnya, bahwa Allah menjelaskan najis ini dengan firman-Nya: “Perbuatan keji termasuk perbuatan setan” yakni najis amali maknawi bukan najis material.

Jadi, najis disini maknawi bukan material. Dalilnya, bahwa Allah menyebutkan sesudahnya sesuatu yang bukan najis material yaitu judi, berhala dan undian nasib. Dalil lainnya, bahwa ketika khamar diharamkan, penduduk Madinah membawa khamar mereka keluar dan menumpahkannya di jalan-jalan Madinah. Sedangkan sesuatu yang najis tidak boleh ditumpahkan di jalan-jalan. Bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah tiga hal yang bisa mengundang laknat: Buang hajat di aliran air, di tengah jalan dan di tempat naungan”.[3]  Nabi juga bersabda: “Jauhilah dua hal yang bisa mengundang laknat”. Mereka bertanya: “Apa itu dua hal yang bisa mengundang laknat wahai rasulullah?” Nabi bersabda: “Orang yang membuang hajat di tengah jalan dan di tempat naungan mereka”.[4] Jadi, tidak boleh membuang sesuatu yang najis di tengah jalan yang dilewati kaum Muslimin. Sekiranya khamar itu najis pasti para sahabat tidak menumpahkan dan membuangnya di pasar-pasar. Jadi, khamar itu najis maknawi, kunci segala kejahatan dan induk semua keburukan. Karena itu para penguasa kaum Muslimin di setiap tempat berkewajiban memerangi dan melarang minuman berbahaya ini.

Abu Dawud dan lainnya meriwayatkan di dalam hadis Abdullah bin Amer bin al-Ash bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang peminum khamar: “Apabila dia minum maka deralah dia, kemudian apabila minum lagi maka deralah dia, kemudian apabila minum lagi maka deralah dia, kemudian apabila minum lagi maka bunuhlah dia”.[5] Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk membunhnya pada kali yang keempat.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: Ini menjadi kewajiban penguasa. Apabila pihak berwenang telah mendera peminum khamar tiga kali tetapi dia masih mengulangi lagi maka boleh dibunuh pada kali yang keempatnya. Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadis ini mansukh (dihapus).[6] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Bahkan wajib membunuh peminum khamar pada kali yang keempat apabila orang-orang tidak mau berhenti kecuali dengan hal tersebut. Ibnu Taimiyah mengompromikan antara dua pendapat: Pendapat yang mengatakan hadis di atas mansukh dan pendapat yang mengatakan tetap berlaku hukumnya. Ia berkata: Jika orang-orang tidak berhenti kecuali dengan tindakan tersebut maka peminum khamar tersebut wajib dibunuh. Pendapat Ibnu Taimiyah ini sangat kuat. Karena peminum khamar tersebut merupakan virus yang merusak sehingga lebih baik dibunuh, karena dia akan terbebas dari kemaksiatan ini disamping keluarganya juga lebih terselamatkan dari mencontohnya atau terpengaruh apabila mereka terus melihatnya meminum khamar. Dengan demikian membunuhnya lebih selamat bagi keluarganya.

5-Larangan memroses khamar menjadi cuka. Lalu bagaimana hukum cuka yang ada di pasar sekarang ini? Apakah cuka ini diproses setelah menjadi khamar atau sebelumnya? Jika setelah menjadi khamar maka tidak boleh. Tetapi jika sebelum menjadi khamar lalu ditambahkan kepadanya beberapa bahan kimia yang mencegahnya menjadi khamar maka tidak dilarang sekalipun dinamakan cuka.

6-[Jika berproses dengan sendirinya, tanpa sengaja diproses, yaitu berubah dari status khamar menjadi cuka maka dibolehkan karena didihannya yang memabukkan telah hilang, sehingga menjadi boleh. “Hukum beredar bersama ‘illatnya, ada dan tidak adanya”.]

 

Perbedaan Pendapat Para Ulama

[Para ulama berbeda pendapat, apakah najis bisa suci dengan terjadinya perubahan? Yaitu berubah dari keadaannya kepada keadaan yang lain.

Abu Hanifah dan Zhahiriyah berpendapat bahwa najis bisa suci dengan terjadinya perubahan. Demikian pula satu riwayat dalam madzhab Malik dan Ahmad. Pendapat ini juga merupakan pilihan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Jumhur ulama berpendapat bahwa najis tidak bisa suci dengan terjadinya perubahan. Ini merupakan pendapat tiga imam madzhab.

Ibnu Taimiyah berkata: Yang benar bahwa najis bisa suci dengan terjadinya perubahan, apabila tidak tersisa bekas najis, rasa, warna ataupun baunya, karena Allah menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang buruk, sedangkan yang demikian itu mengikuti sifat-sifat benda dan hakikatnya. Bila benda tersebut telah kembali menjadi cuka maka ia masuk kategori hal-hal yang baik.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh berkata: Perubahan bisa menyucikan najis.

Pendapat inilah yang benar dan dalil-dalilnya kuat.]

[1] Diriwayatkan oleh Muslim, 1983, dan Tirmidzi, 1294.

[2] Baca tentang masalah ini dalam kitab Adhwa’ al-Bayan, 2/127.

[3] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 26, dan Ibnu Majah, 328.

[4] Diriwayatkan oleh Muslim, 269.

[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 4484, Tirmidzi, 1444, Ibnu Majah, 2572, dari hadis Abu Hurairah.

[6] Lihat masalah ini dalam kitab Tahdzib as-Sunan, 6/238, ‘Aun al-Ma’bud, 12/184, dan al-Muhalla, Ibnu hazm, 11/368.