Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 2 & 3)

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

 

Hadist 2 

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَد

2- Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya air itu bersih, tidak ada sesuatu pun yang menjadikannya najis”. Diriwayatkan oleh Imam yang tiga dan dishahihkan oleh Ahmad.[1]

Kosakata Dan Penjelasan

Innal ma’a” (sesungguhnya air) yakni jenis air, yaitu meliputi semua jenis air.

Thahur” (bersih) yakni suci dzatnya dan menyucikan yang lain.

La yunajjisuhu syai’un” (tidak ada sesuatu pun yang menjadikannya najis). Kata syai’un adalah kata nakirah dalam konteks nafi (negasi) sehingga bermakna meliputi segala sesuatu yang jatuh ke dalam air, maka sesuatu tersebut tidak bisa menjadikannya najis. Tidak diragukan lagi bahwa makna umum ini tidak menjadi tujuannya, karena jika ada najis yang jatuh ke dalam air lalu mengubahnya maka air itu menjadi najis, sebagaimana sudah menjadi ijma’. Karena itu, Nabi saw bersabda tentang minyak samin yang kejatuhan tikus: “Buanglah tikus itu dan apa yang ada di sekitarnya”.[2] Karena tikus itu dan apa yang ada di sekitarnya akan menjadi najis, yakni bila tikus itu mati maka baunya menjadi busuk dan busuk pula minyak saminnya.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Air itu bersih (suci) dan dapat mensucikan segala najis, baik najis berat seperti najis anjing atau najis ringan seperti najis anak bayi yang belum makan makanan atau antara itu. Baik thaharah hadats atau thaharah kotoran, maka air bisa mensucikannya.

2- Pada dasarnya air itu suci, berdasarkan sabdanya: “Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan”. Dengan demikian, bila kita ragu apakah air yang ada najis atau kotor? Maka air itu suci.

3- Bila air berubah karena sesuatu yang suci maka air itu tetap suci, berdasarkan sabdanya, “Tidak ada sesuatu pun yang menjadikannya najis”.

4- Apabila seseorang yang baru bangun dari tidur malam lalu memasukkan tangannya ke dalam air maka air itu tetap suci. Sekalipun Nabi saw melarang orang yang baru bangun dari tidur malam untuk “memasukkan tangannya ke dalam bejana hingga ia mencucinya tiga kali”.[3]  Nabi saw tidak menyatakan air itu najis tetapi hanya melarang memasukkan tangan ke dalamnya. Karena Nabi saw tidak menyatakan air itu najis maka masuk ke dalam keumuman hadis ini, sehingga air itu tetap suci.

5-Boleh mengkhususkan as-Sunnah dengan ijma’. Sabdanya, “tidak ada sesuatu pun yang menjadikannya najis” dikhususkan dengan ijma’ bahwa air apabila berubah karena najis maka air itu menjadi najis. Tetapi perkataan ini disanggah, yakni tidak boleh mengkhususkan as-Sunnah dengan ijma’ semata-mata, karena ada beberapa nash yang mengisyaratkan bahwa sesuatu yang berubah karena najis maka sesuatu itu menjadi najis, sebagaimana akan kami sebutkan insya Allah.

***

 

Hadist 3 

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ

                3-  Dari Abu Umamah al-Bahiliy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang menjadikannya najis, kecuali sesuatu yang mengubah baunya, rasanya dan warnanya”. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dilemahkan oleh Abu Hatim.[4]

Dalam riwayat al-Baihaqi disebutkan: “Air itu bersih kecuali berubah baunya atau rasanya atau warnanya, karena najis yang terjadi padanya”. [5]

 

Derajat Hadis

Bagian awal hadis ini shahih sedangkan tambahannya lemah, dilemahkan oleh Abu Hatim di dalam at-Talkhish, 1/21. Sedangkan tambahannya: “Kecuali sesuatu…”, Imam Nawawi berkata: Para ahli hadis sepakat melemahkan tambahan ini karena di dalam sanadnya ada Rasydin bin Sa’ad yang disepakati kelemahannya. Ibnu Hibban mengutip di dalam Shahih-nya kesepakatan ulama dalam mengamalkan maknanya.

Shadiq Khan berkata di dalam ar-Raudhah: Para ulama sepakat tentang kelemahan tambahan ini tetapi teradi kesepakatan tentang maknanya.

 

Kosakata Dan Penjelasan

Sesungguhnya air tidak ada sesuatu yang menjadikannya najis”. Apabila dibandingkan antara hadis ini dan hadis sebelumnya, “sesungguhnya air itu bersih (suci) tidak ada sesuatu yang menjadikannya najis”, maka arti ‘tidak ada sesuatu yang menjadikannya najis’ di sini adalah bahwa ‘air itu suci tidak ada sesuatu yang menjadikannya najis’. Karena jika tidak ada sesuatu yang menjadikannya najis maka air itu suci.

Kecuali sesuatu yang mengubah baunya, rasanya dan warnanya”, yakni bau najis itu mengubah dan terlihat jelas dari air itu. Tetapi apakah disyaratkan perubahan ini terlihat nyata oleh setiap orang, atau cukup terlihat oleh sebagian orang, jika dia bukan orang peragu? Cukup terlihat oleh sebagian orang, dengan syarat dia bukan peragu. Karena orang peragu mengira apa yang tidak berubah sebagai telah berubah. Bila telah terlihat nyata oleh sebagian orang maka ditetapkan hukumnya. Demikian pula, jika ada dua orang, salah satuya lemah penciuman sedangkan yang lain kuat penciumannya, lalu orang kedua berkata: Air telah berubah karena bau najis, maka dianggap cukup.

Dan rasanya”. Indra perasa manusia berbeda-beda. Ada orang yang sangat tajam indra perasanya sehingga mengetahui adanya perubahan sekalipun sedikit, dan ada yang lemah indra perasanya sehingga tidak bisa membedakan kecuali jika terjadi perubahan yang kuat. Maka yang menjadi ukuran adalah orang yang indra perasanya pertengahan, atau orang yang paling kuat indra perasanya jika dia bukan orang peragu.

Dan warnanya”. Kemampuan manusia dalam melihat warna juga berbeda-beda. Ada orang yang bisa membedakan warna dengan kuat dan ada orang yang kurang bisa membedakan warna. Bila salah seorang diantara mereka menetapkan bahwa air telah berubah, dengan syarat dia bukan peragu, maka penilaiannya diterima.

Tekstual hadis ini menegaskan bahwa air itu harus berubah karena ketiga hal tersebut seluruhnya, yaitu bau, warna dan rasanya. Apakah ini yang dimaksudkan?

Jawab, tidak. Bukan itu yang dimaksudkan. Karena perkataan pengarang: “Di dalam riwayat al-Baihaqi disebutkan, ‘Air itu bersih (suci), kecuali berubah baunya, atau rasanya atau warnanya, karena najis yang terjadi padanya”. Di dalam riwayat ini dijelaskan bahwa jika salah satu sifat tersebt berubah maka berlaku hukumnya. Dalilnya, ungkapan dengan kata “atau”. Kata “atau” di sini untuk menunjukkan tanwi’ (salah satunya), berbeda dengan riwayat Ibnu Majah yang menyebutkan dengan kata “dan” yang menunjukkan terjadi semuanya. Dengan demikian, kita membatasi riwayat Ibnu Majah dengan riwayat al-Baihaqi sehingga bisa kita katakana: Apabila salah satu sifatnya berubah karena najis maka dinilai najis.

 

Pelajaran hadis ini

1-Pada dasarnya air itu bersih (suci), dan tidak dihukumi najis kecuali karena adanya perubahan.

2-Membatasi keumuman hadis Abu Sa’id terdahulu, karena hadis Abu Sa’id bersifat mutlak. Kemutlakan ini dibatasi yakni apabila berubah rasanya atau warnanya atau baunya.

3-Bahwa dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah saling memiliki keterkaitan karena berasal dari satu sumber, tidak mungkin difahami secara terpisah-pisah. Bahkan kita mengatakan: al-Qur’an itu sebagiannya membatasi sebagian yang lain, dan sebagiannya mengkhususkan sebagian yang lain. Demikian pula as-Sunnah. Perkara ini sudah menjadi kesepakatan. Tetapi para ulama berbeda tentang sebagian masalah karena suatu sebab. Jika tidak, maka para ulama sepakat bahwa syari’at hanya satu, apa yang disebutkan secara umum di suatu tempat dan dibatasi atau dikhususkan di tempat yang lain maka harus difahami sebagai nash yang sudah dibatasi atau dikhususkan.

4-Air, apabila berubah rasanya atau warnanya atau baunya, dengan suatu perubahan yang nyata maka beralih dari bersih menjadi najis.

5-Bahwa air terbagi menadi dua saja: Bersih dan najis.

6-Dengan apakah kita membersihkan air dari najis?

Air yang najis bisa dibersihkan dengan apa saja yang bisa menghilangkan najis, karena hukum mengikuti ada dan tidak adanya ‘illat. Selagi syari’at mengaitkan kenajisan air dengan perubahan rasa atau warna atau bau, maka air itu menjadi bersih bila najis yang ada padanya telah hilang   dengan sebab apapun. Misalnya dengan menambahkan bahan kimia hingga hilang najisnya. Atau najis itu hilang dengan sendirinya karena hembusan angin dan sinar matahari. Demikian pula jika kita melihat bekas najis itu pada sebagiannya tetapi sebagian yang lain tidak berubah, kemudian yang terkena najis itu kita buang maka air itu menjadi bersih dari najis.

Kaidah tentang membersihkan najis: Bila najis telah dihilangkan dengan apa saja yang dapat menghilangkannya, atau najis itu hilang dengan sendirinya, maka air itu penjadi bersih dan dapat memberishkan hadats dan najis.

[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, kitab thaharah, nomor 66, Tirmidzi, kitab thaharah, nomor 66, ia berkata: Hadis ini hasan. An-Nasa’I, kitab al-Miyah, nomor 326. Dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 1925.

[2] Diriwayatkan oleh Bukhari, kitab al-wudhu’, nomor 235.

[3] Diriwayatkan oleh Muslim, kitab thaharah, nomor 278.

[4]  Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, 521, dan dilemahkan oleh al-Albani di dalam Dha’if al-Jami’, 1765.

[5]Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, kitab thaharah, nomor 521. Al-Baihaqi meriwayatkannya di dalam as-Sunan al-Kubra, 1/259, dari hadis Abu Umamah juga. Hadis ini isnadnya lemah. Abu Hatim berkata: Rasydin tidak kuat. Yang benar hadis ini mursal”. Lihat: at-Talkhish, 1/14-15 dan ‘Ilal al-Hadits, 1/44. Dilemahkan oleh al-Albani di dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah, 2644.