Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 16)

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَعِنْدَ الْأَرْبَعَةِ: ( أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ

16-Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Apabila kulit binatang telah disamak maka ia telah suci”. Diriwayatkan oleh Muslim.[1] Dalam riwayat Imam yang empat disebutkan: “Kulit binatang apa saja yang telah disamak”.[2]

Kosakata Dan Penjelasan

                Dubigha: Disamak. Metode menyamak dalam Islam adalah dengan membersihkan lender-lendir najis yang terdapat pada pori-pori kulit dengan menggunakan bahan yang permukaannya kasar seperti dedaunan dan rempah-rempah.

Ihab: Kulit binatang. Yakni kulit binatang sebelum disamak. Yang dimaksudkan disini adala kulit yang najis, karena sabdanya: “Maka ia telah suci”. Ini menunjukkan bahwa kulit tersebut sebelum disamak adalah najis. Jadi, Nabi shallallahu alaihi wasallam berbicara tentang kulit binatang yang najis apabila disamak apakah ia menjadi suci atau tidak? Hadis ini menunjukkan bahwa ia menjadi suci. Kata ihab di sini adalah ismu jinsin yang disertai “al” sehingga menjadi umum. Keumumuman ini juga didukung dengan riwayat yang disebutkan oleh Imam yang empat: “Kulit binatang apa saja”. Ayyuma adalah adatu syarthin (media untuk menyatakan syarat), sedangkan kata nakirah dalam konteks syarat berarti menunjukkan umum. Demikian pula hadis: “Menyamak kulit bangkai adalah cara untuk menyucikannya”. Hadis ini menunjukkan bahwa bangkai apabila kulitnya diambil dan disamak maka ia telah suci.

Hadis ini dan hadis sesudahnya bersifat umum. Kulit binatang najis apa saja apabila disamak maka menjadi suci, baik kulit itu dari binatang yang boleh dimakan dagingnya (sebab najisnya karena binatang ini mati) ataupun dari binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya. Apabila kita perhatikan hadis Maimunah (hadis nomor 18) maka kita dapati bahwa hadis tersebut berkaitan dengan binatang yang boleh dimakan dagingnya. Tetapi apakah kita boleh mengaitkan nash umum dengan suatu sebab? Atau apakah penyebutan salah satu dari sesuatu yang umum itu tidak memiliki arti pengkhususan? Hal ini diperselisihkan para ulama.

Pendapat pertama: Setiap kulit yang telah disamak maka ia menjadi suci, baik dari binatang yang boleh dimakan dagingnya ataupun tidak boleh dimakan dagingnya. Berdasarkan pendapat ini, jika kulit anjing telah disamak maka menjadi suci. Demikian pula kulit srigala, singa, ular dan lainnya. Banyak ulama yang mengambil pendapat ini diantaranya Zhahiriyah, [asy-Syafi’i dan Abu Hanifah]. Mereka berkata: Setiap kulit yang telah disamak maka ia menjadi suci. Pendapat ini memberikan semacam keleluasaan bagi manusia, dengan mempertmbangkan bahwa sekarang ini banyak terdapat sepatu yang terbuat dari kulit ular atau dari kulit binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya.

Pendapat kedua: Bahwa kulit binatang yang disamak tidak menjadi suci secara mutlak, sekalipun kulit itu dari binatang yang boleh dimakan dagingnya. Mereka berdalil dengan hadis dha’if (lemah): Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah menulis sebulan sebelum wafatnya: “Janganlah kalian memanfaatkan kulit dan urat bangkai”.[3] Tetapi hadis ini dha’if dan tidak menunjukkan nasakh (penghapusan hukum). Tetapi mereka berkata: Apabila kulit disamak maka najisnya kering sehingga boleh digunakan pada yang kering, bukan yang basah. Yakni boleh dijadikan sebagai wadah untuk biji-bijian dan benda-benda kering seperti dirham, pakaian yang yang sejenisnya. Sedangkan benda-benda yang basah tidak boleh, karena –menurut pendapat mereka—kulit itu tidak suci dengan disamak yakni masih najis. Sedangkan najis bila bertemu dengan sesuatu yang basah maka bisa membuatnya najis.

Pendapat ketiga: Membedakan antara kulit binatang yang boleh dimakan dengan disembelih dan kulit binatang yang tidak boeh diakan dengan disembelih. Kulit binatang yang boleh dimakan dengan disembelih menjadi suci setelah disamak sedangkan kulit binatang yang tidak boleh dimakan dengan disembelih tidak menjadi suci setelah disamak.

Contoh pertama: Kulit kambing. Jika ada kambing mati lalu kulitnya diambil dan disamak maka kulitnya menjadi suci dan boleh digunakan untuk benda kering dan basah, air, susu dan segala sesuatu.

Contoh kedua: Seandainya ada srigala dibunuh kemudian kulitnya diambil dan disamak maka kulitnya tidak menjadi suci dan tetap najis. Alasan yang mereka kemukakan: Jika penyembelihan tidak bisa menjadikan srigala itu halal dan suci, maka apalagi penyamakan.

Rangkuman pendapat ini: Apabila kulit bangkai yang dagingnya halal dimakan dengan disembelih itu disamak maka kulitnya menjadi suci. Apabila kulit binatang yang tidak halal dimakan dengan disembelih itu disamak maka kulitnya tetap najis, tetapi boleh digunakan untuk benda yang kering, karena jika digunakan untuk benda yang kering maka najisnya tidak mengimbas.

Tetapi apakah hadis “kulit binatang apa saja apabila disamak” atau hadis “apabila kulit binatang disamak” kita artikan sesuai dengan sebab keluarnya hadis yang bersifat khusus, lalu kita katakan: Sesungguhnya kata “kulit binatang” itu berarti kulit kambing dan sejenisnya, karena Nabi mengatakannya ketika melewati kambing yang mereka seret?

Hal yang serupa dengan masalah ini bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat kerumunan orang dan seseorang yang dipayungi di tengah perjalanan bulan Ramadhan, lalu Nabi bertanya: “Apa ini?”. Mereka menjawab: “Dia berpuasa”. Nabi bersabda: “Tidak termasuk kebajikan berpuasa dalam safar (bepergian)”.[4] Hadis ini umum tetapi sebabnya khusus. Apakah kita boleh menatakan: Sesungguhnya ia khusus untuk orang yang keadaannya seperti orang tersebut ataukah berlaku umum?

Jawab: Sesungguhnya ia khusus untuk orang yang seperti itu kondisinya. Yakni untuk orang yang apabila berpuasa mengalami kesulitan berat seperti kesulitan yang dialami orang tersebut, sehingga tidak baik jika dia berpuasa.

Demikian pula disini, ketika melihat kambing, Nabi bersabda: “Apabila kulit binatang disamak” yakni kulit kambing dan sejenisnya, “maka ia telah suci”. Maka menjadi umum menyangkut keadaan yang sama dengan apa yang dilihat Nabi. Yakni umum dalam kaitannya dengan kambing dan binatang yang halal dimakan, karena Nabi mengatakan hal tersebut ketika melihat kambing yang diseret.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Penyamakan kulit binatang bisa menjadkannya suci, berdasarkan sabda Nabi: “Apabila kulit binatang disamak maka ia telah suci”. Tetapi disyaratkan dalam melakukan penyamakan harus bisa menghilangkan kebusukan dan bau yang tidak sedap. Jika tidak bisa menghilangkan bau busuknya maka tidak memengaruhi apapun.

2- Zhahir (tekstual) hadis ini: Bahwa kulit binatang apa saja yang telah disamak maka ia telah suci, sekalipun kulit anjing. Tetapi yang kuat bahwa keumuman ini menjadi keumumam yang bersifat maknawi sesuai sifat yang ada sehingga tidak khusus hanya kulit kambing tertentu. Sedangkan keumuman ada dua: Umum dalam hal jenis, dan umum dalam hal jenis tertentu dengan suatu sifat. Terkait hadis ini: “Apabila kulit disamak”, kita telah mengetahui bahwa sebabnya adalah ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam melewati kambing yang diseret. Sedangkan kambing termasuk binatang yang halal dimakan dengan disembelih, sehingga maksudnya adalah: Apabila kulit binatang dari jenis kambing ini disamak maka ia telah suci.

Jika ada yang bertanya: Bagaimana Anda mengkhususkan dengan suatu jenis padahal lafazhnya umum?

Kami jawab: Hal ini sama dengan ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat seseorang yang dipayungi dan dikerumuni orang-orang dalam suatu perjalanan safar, lalu Nabi bertanya: “Apa ini?”. Mereka menjawab: ‘Dia berpuasa’. Nabi bersabda: “Tidaklah termasuk kebajikan berpuasa pada saat bepergian”. Yakni tidak baik berpuasa saat bepergian bagi orang yang kondisinya sama dengan kondisi orang tersebut. Dengan dalil bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam berpuasa pada saat bepergian sehingga Abu Darda’ berkata: Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan pada hari yang sangat panas, sehingga orang yang paling banyak punya naungan adalah pemilik kain. Diantara kami ada yang menghindari terik matahari dengan tangannya dan tidak ada yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah.[5] Kita semua tahu bahwa Nabi tidak meninggalkan kebajikan dan tidak melakukan kecuali kebajikan.

Dengan demikian keumuman ini menjadi umum dalam hal jenis orang yang seperti itu keadaannya. Ini tidak bertentangan dengan perkataan para ulama: “Mengambil hukum dari keumuman lafazh bukan dari kekhususan sebab”. Karena kami sekarang tidak mengkhususkannya dengan sebab (peristiwa) tersebut. Kalau kami mengkhususkannya dengan sebab pasti kami katakana: Tidak termasuk kebajikan puasa orang tersebut saja tetapi kami menjeneralisirnya pada jenisnya. Inilah makna “mengambil hukum dari keumuman lafazh bukan dari kekhususan sebab”.

Dengan demikian makna “Apabla kulit telah disamak” yakni kulit jenis ini yaitu kambing sedangkan kambing termasuk halal dimakan bila disembelih.

3- Kalimat “ayyuma ihabin” (kulit apa saja) mengisyaratkan bahwa “al” dalam kata “al-Ihab” pada hadis yang pertama itu untuk menunjukkan umum, agar tidak ada yang berkata bahwa “al” untuk menunjukkan sesuatu yang sudah dikenal, yakni apabila kulit binatang kalian ini telah disamak. Dengan demikian dapat kami simpulkan dari lafazh ini sebagaimana kesimpulan kami yang pertama: Bahwa kulit apa saja dari jenis ini maka ia menjadi suci bila disamak.

4- Isyarat bahwa najis bisa dihilangkan dengan apa saja yang dapat menghilangkannya. Karena itu Nabi tidak menjadikan cara penyucian kulit bangkai kecuali berupa penyamakan. Jika Anda membersihkannya dengan air laut maka kulit bangkai itu tidak bisa suci kecuali harus disamak, karena najis bangkai itu tidak bisa hilang kecuali dengan cara ini. Dari hal ini diketahui bahwa maksud membersihkan najis ialah menghilangkannya dengan sarana apapun yang dapat menghilangkannya.

Muncul cabang persoalan dari kaidah ini, yaitu mencuci pakaian dengan uap. Bila dicuci dengan uap dan najisnya telah hilang maka ia telah suci. Inilah yang ditunjukkan oleh as-Sunnah, sebagaimana ditunjukkan oleh pertimbangan akal. Karena najis itu sesuatu yang tersembunyi, bila masih ada maka hukumnya tetap ada tetapi bila telah hilang maka hukumnya juga telah hilang.

[1] Diriwayatkan oleh Muslim, 366.

[2] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 4123, Tirmidzi, 1728, Nasa’I, 4252, Ibnu Majah, 3609, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 2711.

[3] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 4128, Tirmidzi, 1729, Nasa’I, 4249, dan Ibnu Majah, 3913.

[4] Diriwayatkan oleh Bukhari, 1946, dan Muslim 1115.

[5] Diriwayatkan oleh Bukhari, 1945, dan Muslim, 1119.