Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 14)

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

BAB BEJANA-BEJANA

 

Hadist 14

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهِمَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

                14- Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian minum dengan menggunakan bejana emas dan perak, dan janganlah kalian makan dengan menggunakan piring keduanya, karena sesungguhnya bejana-bejana itu untuk mereka di dunia dan untuk kamu di akhirat”. Muttafaq ‘alaih.[1]

 

Kosakata Dan Penjelasan

Al-Aniyah: jamak dari kata ina’, bejana. Yakni wadah.

Bab tentang bejana disebutkan setelah bab tentang bersuci dengan air karena air merupakan benda cair yang memerlukan wadah. Itulah sebabnya mengapa penjelasan tentang hukum-hukum bejana ini disebutkan sesudah thaharah. Jika tidak, sebenarnya bejana berkaitan dengan masalah makanan dan minuman.

 Pada dasarnya bejana itu mubah dan halal, berdasarkan firman Allah: “Dia-lah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu”. (al-Baqarah: 29) Bejana apa saja yang digunakan makan dan minum pada dasarnya halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya sehingga menjadi haram. Karena itu, jika ada seseorang yang minum dengan menggunakan bejana dari tembaga lalu ada orang yang berkata: Haram. Maka kita bisa bertanya kepadanya: Mana dalilnya? Jika dia berkata: Mana dalil dibolehkannya minum dengan menggunakan bejana dari tembaga? Maka bisa kita jawab: Dalilnya adalah tidak adanya dalil yang mengharamkannya.

 

Sebab Hudzaifah Menyampaikan Hadis Ini

Hudzaifah berada di rumahnya lalu meminta diambilkan air. Kemudian Dahqan membawakan air kepadanya di dalam bejana yang terbuat dari perak. Kemudian Hudzaifah mengambil bejana tersebut dan melempar Dahqan dengan bejana tersebut seraya berkata kepada orang yang ada di sisinya: ‘Saya beritahukan kepada kalian bahwa saya sudah melarangnya untuk memberiku minuman di dalam bejana tersebut karena ada sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Janganlah kalian minum dengan menggunakan bejana emas dan perak, dan janganlah kalian makan dengan menggunakan piring keduanya”. Riwayat ini disebutkan di dalam Shahih Muslim.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Mengharamkan bejana emas dan perak, karena pada dasarnya larangan itu untuk mengharamkan. Juga karena ada isyarat di dalam hadis ini bahwa orang yang makan dan minum dengan menggunakan bejana emas dan perak di dunia akan diharamkan dari bejana emas dan perak di akhirat, sebab Allah tidak membolehkannya untuk kita kecuali di akhirat.

2-[Larangan penggunaan bejana emas dan perak ini bersifat umum, baik emas dan perak murni, atau campuran atau sepuhan.]

3-Hikmah dan ‘illat (sebab) diharamkannya bejana emas dan perak adalah sebagaimana yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “karena sesungguhnya bejana-bejana itu untuk mereka di dunia dan untuk kamu di akhirat”. ‘Illat yang disebutkan Nabi ini adalah ‘illat yang berlaku umum dan tidak terbantahkan. Yakni di dunia ini kalian tidak boleh bermegah-megahan dengan makan dan minum menggunakan bejana emas dan perak, karena hal ini menjadi cara orang-orang kafir dalam bersenang-senang dalam kehidupan dunia sebagaimana binatang ternak bersenang-senang. Sedangkan kalian harus menunda penggunaannya nanti di akhirat ketika telah berada di sorga.

[Sebagian ulama mengatakan: ‘Illatnya adalah kesombongan dan menyakiti hati orang-orang miskin. Sebagian yang lain mengatakan bahwa ‘illatnya adalah tujuan tarbawi akhlaqi, karena Islam menjaga seorang Muslim dari keruntuhan moral dan kemegahan yang merusak. Sebagian yang lain berkata bahwa ‘illatnya adalah karena emas dan perak menjadi mata uang, atau deposit bagi mata uang dunia, sehingga jika digunakan untuk bejana dan hal-hal serupa bisa melumpuhkan gerakan perdagangan. Wallahu a’lam. Dalam syari’at-Nya, Allah memiliki sejumlah rahasia dan hikmah. Tidak mustahil semua ‘illat tersebut menjadi sebab larangan ini.]

4-Tidak ada bedanya antara bejana besar dan bejana kecil, atau makan besar dan makan sedikit, sekalipun hanya seteguk air di dalam sendok tetap haram. Demikian pula sesuap makanan dalam sendok juga haram. Karena Nabi bersabda: “Apa yang aku larang kalian darinya maka jauhilah”.[2]

5-Pengajaran yang baik dari Raslullah shallallahu alaihi wasallam dengan cara menyebutkan ‘llat dan hikmah ketika menyebutkan suatu hukum, karena disebutkannya ‘illat dan sebab bisa membuat hati tenang dan mantap. Disamping menjelaskan ketinggian syari’at karena tidak ada hukum syari’at kecuali disertai hikmah. Ini merupakan pengajaran dan penjelasan yang sangat baik.

6-Boleh menggunakan bejana emas dan perak untuk selain makan dan minum, karena larangan ini hanya berkaitan dengan makan dan minum saja. Jika seseorang menggunakan bejana emas dan perak untuk keperluan lain selain makan dan minum maka tidak dilarang. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling fasih, paling pandai menyampaikan nasihat dan paling mengetahui persoalan. Sekiranya penggunaan emas dan perak untuk selain makan dan minum diharamkan pasti sudah dijelaskan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam suatu penjelasan yang gamblang sehingga tidak ada kemusykilan. Kemudian perkataan Hudzaifah: “Saya beritahukan kepada kalian bahwa saya sudah melarangnya untuk memberiku minuman di dalam bejana tersebut” menunjukkan bahwa Hudzaifah menyimpan bejana tersebut tetapi ia tidak menggunakannya untuk makan dan minum. Ini jelas dan kita tidak boleh sama sekali memahami apa yang disebutkan oleh syari’at sebagai sesuatu yang bersifat khusus menjadi bersifat umum, karena hal itu berarti kita mempersempit apa yang diperluas syari’at. Disamping itu kita melakukan ibadah dengan apa yang ditunjukkan oleh al-Quran dan as-Sunnah, tanpa mempersempit hamba-hamba Allah.

Disini ada tiga hal:

Pertama, menjadikan dan menggunakannya untuk selain makan dan minum, dan menggunakan untuk makan dan minum.

Kedua, menggunakannya untuk makan dan minum jelas haram, bahkan tekstual nash menyebutkan termasuk dosa besar.

Ketiga, menjadikannya untuk perhiasan atau karena sesuatu sebab tetapi tidak menggunakannya. Dalam hal ini ada perbedaan pendapat.

Sebagian ulama menyebutkan adanya kesepakatan (ijma’) yang mengharamkan penggunaan emas dan perak untuk selain makan dan minum. Tetapi hal ini tidak benar. Tidak pernah ada kesepakatan tentang hal ini. Bahkan asy-Syaukani di dalam Nail al-Authar menolak keras hal ini. Ia berkata: As-Sunnah menunjukkan bahwa yang diharamkan itu adalah untuk makan dan minum saja. Tidak boleh melakukan qiyas dalam hal ini. Apa yang dikatakan asy-Syaukani itulah yang ditunjukkan oleh sejumlah dalil dan bahwa yang diharamkan adalah menggunakannya untuk makan dan minum. Dalam hadis Ummu Salamah tentang “larangan minum dengan menggunakan bejana perak” disebutkan bahwa Ummu Salamah membuat genta dari perak.

7-Hadis ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa orang-orang kafir tidak perlu diingatkan dengan cabang-cabang ajaran Islam dan tidak dihukum lantaran cabang-cabang ajaran itu, berdasarkan sabda Nabi: “Karena sesungguhnya bejana-bejana itu untuk mereka di dunia”. Kata “untuk” menunjukkan boleh atau mengkhususkan. Ini merupakan salah satu pendapat dalam masalah ini: Bahwa orang-orang kafir tidak perlu diingatkan dengan cabang-cabang ajaran Islam, sebagaimana mereka tidak perlu diingatkan dengan pokok ajaran Islam.

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang kafir harus diingatkan dengan cabang-cabang ajaran Islam, sebagaimana mereka harus diingatkan dengan pokok ajaran Islam. Para ulama ini berdalil dengan firman Allah: “Kecuali golongan kanan, berada di dalam surge, mereka Tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?”. Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang batil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan”. (al-Muddatstsir: 39-46).

Karena jika mereka tidak disiksa lantaran perbuatan-perbuatan ini niscaya tidak ada gunanya hal-hal ini disebutkan. Diantara apa yang disebutkan bahwa mereka tidak memberi makan, sedangkan memberi makan yang paling tinggi adalah zakat. Maka hal ini menunjukkan bahwa mereka harus diingatkan dengan cabang-cabang ajaran Islam.

Disamping itu, apabila seorang Muslim disiksa lantaran meninggalkan hal-hal tersebut dan diingatkan dengannya, maka apalagi orang kafir. Pendapat ini yang kuat.

Sedangkan jawaban tentang hadis Hudzaifah: Bahwa Nabi memberitahukan tentang sesuatu yang terjadi. Pemberitahuan tentang sesuatu yang terjadi tidak menunjukkan boleh dilakukan, seperti sabdanya: “Sungguh kamu akan mengikuti tradisi-tradisi orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak pasti kamu ikut memasukinya”. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasrani? Nabi menjawab: “Siapa lagi?”.[3]

Demikian pula Nabi shalllahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa wanita akan berjalan dari suatu negeri ke negeri yang lain tanpa takut kecuali kepada Allah. Ini dimaksudkan sebagai gambaran tentang kondisi keamanan, tidak dimaksudkan untuk membolehkan. Jadi, mengabarkan tentang sesuatu yang terjadi secara kauni dan qadari tidak menunjukkan bahwa apa yang terjadi tersebut boleh dilakukan secara syar’i. Maka bejana-bejana emas dan perak itu untuk mereka di dunia, karena mereka menggunakannya tanpa memedulikan. Tetapi ini tidak berarti mengakui perbuatan mereka.

Jika ada yang berkata: Kalau begitu apabila kita melihat orang kafir minum dengan menggunakan bejana emas dan perak maka kita wajib mengingkarinya!

Kami jawab: Tidak wajib. Karena kewajiban kita adalah mengajak orang kafir dengan mulai menyampaikan perkara yang paling penting kemudian yang paling penting dan seterusnya. Karena itu, ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, Nabi memerintahkannya agar yang pertama kali disampaikan adalah mengajak penduduk Yaman untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Kemudian jika mereka telah menyambut ajakan tersebut maka beritahukanlah kepada mereka tentang kewajiban shalat. Kemudian jika mereka telah menerimanya maka beritahukanlah kepada mereka tentang kewajiban zakat.[4]  Ini menunjukkan bahwa kita pertama kali memerintahkan mereka untuk masuk Islam. Ya, kita harus mengingkari syi’ar-syi’ar kekafiran yang mereka lakukan secara terang-terangan di negeri Islam, seperti minum khamer atau hal yang serupa. Kita melarang mereka dari perbuatan ini karena hal tersebut dilarang di negeri kita, dan mereka harus patuh kepada hukum-hukum Islam hingga Islam menjadi yang paling tinggi.

8-Bahwa manusia tidak boleh berputus asa karena kehilangan dunia dan kesenagannya, sebab orang beriman memiliki akhirat. Allah berfirman: “Dan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”. (al-A’la: 19). Ini bersifat umum. Allah berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad shallallahu alaihi wasallam: “Dan sungguh akhirat itu lebih baik bagimu dari kehidupan dunia”. (adh-Dhuha: 4)

9-Menetapkan akhirat dan kenikmatan yang ada padanya, berdasarkan sabdanya: “Dan untuk kamu di akhirat”.

10-Manusia harus ‘dihibur’ atas kenikmatan dunia yang terluput darinya. Sebab, ketika melarang kaum Muslimin minum dan makan dengan menggunakan bejana emas dan perak, Nabi shallallahu alaihi wasallam menghibur kaum Mukminin dengan menyebutkan kepada mereka apa yang dapat menghibur mereka yaitu bahwa bejana-bejana emas dan perak itu untuk mereka di akhirat, sedangkan akhirat tidaklah jauh.

11-Seseorang seharusnya menolak tuduhan yang dikhawatirkan atas dirinya. Kesimpulan ini didasarkan pada perkataan Hudzaifah: “Saya beritahukan kepada kalian bahwa saya sudah melarangnya “. Hal ini disampaikan Hudzaifah agar tidak terkena tuduhan. Hal ini juga memiliki dasar dan landasan di dalam Sunnah, yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda: “Semoga Allah memberi rahmat kepada seseorang yang menolak ghibah dari dirinya”. Juga memiliki dasar dalam perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasalam. Ketika berjalan bersama istrinya, Shafiyah binti Huyaiy yang baru saja mendatangi Nabi yang sedang i’tikaf di masjid di malam hari, Nabi melihat dua orang sahabat dari Anshar mempercepat jalan mereka karena malu kepada Nabi[5]. Tetapi Nabi khawatir setan memasukkan keburukan ke dalam hati mereka sehingga Nabi bersabda: “Shafiyah binti Huyaiy”. Kedua sahabat itu merasa heran dan berkata: “Wahai Rasulullah. Subhanallah!”. Kemudian Nabi bersabda: “Sesungguhnya setan mengalir di dalam diri anak Adam melalui peredaran darah, dan sesungguhnya aku khawatir setan melemparkan keburukan atau sesuatu ke dalam hati kalian”.[6]

Yang penting, seseorang harus menolak tuduhan dari dirinya. Apakah ia berhak bersumpah untuk itu tanpa diminta bersumpah? Ya, ia berhak bersumpah sekalipun tanpa diminta untuk bersumpah, apabila temannya tidak menerima kecuali dengan hal seperti itu. Bila Anda merasa seseorang mengira Anda mengadu domba dengan seseorang, dan hal itu bisa Anda rasakan dari tindakannya kepada Anda atau dari raut mukanya dan lainnya, maka Anda boleh berkata kepadanya: Sebagian orang mengira bahwa aku telah melakukannya padahal aku tidak pernah melakukannya dan aku bersumpah untuk hal ini. Anda boleh melakukan hal ini, karena setan mengalir di dalam peredaran darah manusia.

[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, 4526, dan Muslim, 2067.

[2] Diriwayatkan oleh Muslim, 1337.

[3] Diriwayatkan oleh Bukhari, 3456, dan Muslim, 2669.

[4] Diriwayatkan oleh Bukhari, 7372, dan Muslim, 19.

[5] Bila Anda berjalan di suatu tempat kemudian bertemu dengan orang yang Anda hormati dan kagumi bersama istrinya, pasti Anda merasa malu kepadanya. Peristiwa ini dialami oleh kedua sahabat tersebut sehingga keduanya merasa malu kepada Nabi dan mempercepat jalan mereka.

[6] Diriwayatkan oleh Bukhari, 3281, dan Muslim, 2175.