Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 11)

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

Hadist 11

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ : فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ : فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ

Dari Ibnu Umar radhiyallau ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Dihalalkan untuk kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah (bangkai) belalang dan (bangkai) ikan sedangkan dua darah itu adalah hati dan jantung”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Di dalamnya ada kelemahan.[1]

 

Derajat Hadis

Hadis ini shahih mauquf.

Sedangkan yang marfu’ ada kelemahan di dalamnya, karena berasal dari riwayat Abdur Rahman dan kedua saudaranya, putra-putra Zaid bin Aslam, dari bapak mereka, dari Ibnu Umar. Ibnu Ma’in melemahkan mereka.

Abu Zar’ah dan Abu Hatim berkata: Ia mauquf. Ad-Daruquthni, 4/271, al-Hakim, al-Baihaqi, 9/257, dan Ibnul Qayyim menshahihkannya sebagai hadis mauquf.

Ibnu Hajar berkata: Ia dalam status hukum marfu’, karena perkataan seorang sahabat “dihalalkan untuk kami” atau “diharamkan atas kami” sama seperti perkataannya “diperintahkan kepada kami” atau “kami dilarang”, sehingga riwayat ini bisa dijadikan dalil karena riwayat seperti ini dalam makna marfu’.

 

Kosakata Dan Penjelasan

Uhillat lana maitatani: Dihalalkan untuk kami dua bangkai. Apabila Nabi bersabda: “Dihalalkan untuk kami” atau “kami diperintah” maka pelakunya adalah Allah, yakni Allah menghalalkan untuk kami. Jika seorang sahabat berkata: “Dihalalkan untuk kami” maka maksudny Nabi shallallahu alaihi wasallam menghalalkan untuk kami. Tetapi hal ini disebut oleh para ulama hadis sebagai “marfu’ hukman” (dihukumi sebagai hadis marfu’). Jika seorang tabi’i yang mengatakannya apakah disebut marfu’ mursal? Atau mauquf muttashil? Ada perbedaan ulama ahli hadis dalam masalah ini. Ada yang mengatakannya mauquf muttashil karena tabi’i meriwayatkan dari seorang sahabat secara langsung. Ada yang mengatakannya marfu’ mursal karena membuang seorang sahabat dari sanad tersebut.

Dihalalkan untuk kami dua bangkai dan dua darah”, ini sebagai p engecualian dari firman Allah: “Diharamkan atas kamu bangkai dan darah” (al-Maidah: 3). Telah diketahui bahwa bangkai dan darah adalah najis, karena keduanya haram. Sebagaimana telah kami sebutkan, setiap binatang yang diharamkan pasti najis, berdasarkan firman-Nya: “Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor…”. (al-An’am: 145) Dhamir (kata ganti) dalam firman-Nya “fa-innahu” (sesunggunya ia) kembali kepada semua yang disebutkan terdahulu yaitu bangkai, darah dan daging babi, yakni semuanya najis. Tidak hanya kembali kepada ‘daging babi’ saja. Firman-Nya: “fa-innahu rijsun” ini merupakan ‘illat (sebab) pengharaman. Karena itu kami memahami bahwa semua bintang yang diharamkan pasti najis.

Al-Hut: Ikan. Meliputi semua binatang yang hidup di laut. Setiap binatang yang hidup di laut adalah hut (ikan) dan bangkainya halal.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak berhak menghalalkan dan mengharamkan kecuali dengan izin Allah. Karena itu, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang orang yang makan bawang merah atau bawang putih untuk mendatangi masjid di perang Khaibar, orang-orang pun berkata: ‘Telah diharamkan, telah diharamkan’. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak punya hak untuk mengharamkan apa yang dihalalkan Allah”.[2] Yakni mengharamkan itu bukan hakku tetapi hak Allah. Jika Nabi shallallahu alaihi wasallam menghalalkan atau mengharamkan sesuatu maka kita mengetahui bahwa Allah telah mengizinkannya. Tetapi kita tidak boleh menanyakan: Mana dalilnya bahwa Allah menghalalkan atau mengharamkannya? Cukplah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai dalil. Tetapi kita mengetahui bahwa Nabi tidak menghalalkan atau mengharamkan kecuali atas izin Allah.

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada mereka: “Sesungguhnya aku tidak punya hak untuk mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, tetapi ia adalah tumbuhan yang aku tidak suka baunya”. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad Rasulullah tidak punya hak mengharamkan. Hal ini juga disebutkan di dalam al-Quran: “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada serang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu”. (al-Haaqqah: 44- 47) Jadi, Rasul shallallahu alaihi wasallam terhindar dari mengatakan yang tidak benar atas nama Allah. Jika Allah tidak mengizinkannya dalam menghalalkan atau mengharamkan sesuatu pasti Nabi tidak melakukannya.

2-Cara pengajaran yang sangat baik dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu dengan menyampaikan secara umum terlebih dahulu kemudian dirinci: “Dua bangkai dan dua darah”. Ketika mendengar hal ini pasti orang yang diajak bicara ingin mengetahui apakah dua bangkai dan dua darah tersebut? Ini tidak diragukan lagi merupakan cara pengajaran yang baik. Cara ini juga dijelaskan oleh al-Qur’an: “(Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci”. (Hud: 1)

3-Bangkai belalang itu halal, baik ia mati karena tindakan manusia, seperti dipanggang atau diletakkan di dalam air yang mendidih di atas api, atau pun mati dengan sendirinya. Kecuali jika kita mengetahui ia mati karena diracun, maka kita tidak boleh memakannya karena mengandung bahaya, karena ada kaidah di dalam agama Islam: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”. [3]

Apa hikmah dihalalkannya bangkai belalang padahal ia binatang darat yang hidup di darat?

Para ulama berkata: Hikmahnya karena ia tidak memiliki darah. Bangkai binatang najis karena ada darah di dalamnya. Karena itu, jika binatang itu disembelih dengan dialirkan darahnya hingga mati maka menjadi halal. Sedangkan belalang tidak memiliki darah sehingga bangkainya menjadi halal. Apabila suatu binatang diharamkan memakannya karena najis tetapi tidak memiliki darah maka ia menjadi suci sekalipun bangkai. Seperti lalat, Nabi memerintahkan: “Apabila lalat hinggap di dalam minuman salah seorang diantara kalian maka hendaklah ia mencelupkannya”.[4] Ia akan mati jika airnya panas.

4-Semua binatang laut itu halal, baik yang berbentuk seperti manusia, atau seperti binatang buas, atau seperti ular atau seperti anjing. Karena keumuman firman Allah: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut”. (al-Maidah: 96) Karena kata “shaid” (buruan) di dalam ayat ini mufrad (tunggal) yang di-idhafah-kan sehingga menjadi umum. Ini merupakan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ushul fiqh: “Bahwa kata mufrad yang di-idhafah-kan menjadi umum”.  Misalnya firman Allah: “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu”. (Ali Imran: 103) Yakni semua nikmat, bukan satu nikmat. Demikian pula firman-Nya: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya”. (An-Nahl: 18) Yakni semua nikmat. Jika seseorang yang memiliki empat orang istri berkata: “Imra’ati thaliqun” (istriku aku cerai) maka semua istrinya terceraikan, selama ia tidak meniatkan satu. Jadi, semua binatang laut itu halal, baik yang masih hidup atau pun yang sudah mati. Dalil dari selain hadis ini adalah firman Allah: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut”. (al-Maidah: 96). Ibnu Abbas, pakar tafsir di kalangan sahabat, berkata: “Buruannya adalah apa yang diambil dalam keadaan hidup sedangkan makanannya adalah apa yang diambil dalam keadaan mati”.

Ibnu Abbas mengatakan demikian karena jika yang dimaksud dengan makanan laut adalah makanan yang merupakan buah pohon yang ada di laut niscaya pengkhususan laut tersebut tidak ada gunanya, karena buah pohon itu halal di darat dan di laut. Jadi maksud makanan laut adalah apa yang disebutkan Ibnu Abbas yaitu ikan yang diambil dalam keadaan mati.

5-Jantung itu halal sekalipun meneteskan darah, tetapi dengan syarat jantung tersebut dari binatang yang disembelih.

Bagaimana dengan darah hati setelah penyembelihan? Seperti diketahui bahwa darah yang ada di dalam hati membeku setelah binatang itu disembelih. Karena itu, apabila dibelah terdapat darah di dalamnya. Apakah darah ini suci atau najis? Ia suci. Apakah ia halal atau haram? Ia halal.

Kenapa tidak disebutkan di dalam hadis?

Karena darah hati tersembunyi dan tidak tampak seperti jantung dan hati. Ia tersembunyi seperti darah yang ada di dalam urat. Karena itu ada kaidah yang mengatakan: “Semua darah yang masih ada setelah penyembelihan adalah halal”. Sekalipun berwarna merah dan mengubah warna air yang ada di panci. Karena setelah binatang yang disembelih itu mati maka binatang itu menjadi halal. Jadi, darah yang masih tersisa di dalam daging, di dalam urat dan di dalam hati itu hukumnya suci dan halal.

6-Pada dasarnya bangkai itu haram, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Dihalalkan untuk kami dua bangkai”. Yakni selain kedua bangkai ini adalah haram. Kesimpulan ini diambil dari mafhum (makna yang tersimpan dalam lafazh), yakni diharamkan atas kami apa yang selain keduanya.

Demikian pula tentang darah: Pada dasarnya darah itu haram dan najis. Hal ini didasarkan pada kaidah: “Setiap binatang yang diharamkan adalah najis”. Orang-orang di masa Jahiliyah, apabila makanannya habis mereka melukai urat ontanya kemudian mengisap darahnya. Seperti diketahui darah juga dijadikan makanan maka Allah mengharamkannya setelah penyembeihan.

[1] Diriwayatkan oleh Ahmad, 5690, Ibnu Majah, 3218, dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al-Jami’, 210.

[2] Diriwayatkan oleh Muslim, 565.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, 2340.

[4] Diriwayatkan oleh Bukhari, 3320.