Syarah Kitab Bulughul Maram (Hadist 10)

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

Hadist 10 

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Seorang Badui datang lalu kencing di salah satu sudut masjid, kemudian orang-orang menghardiknya. Tetapi Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang mereka. Ketika orang itu telah menyelesaikan kencingnya, Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan (orang-orang) mengambil setimba air lalu disiramkan di atas kencing itu”. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.[1]

 

Kosakata Dan Penjelasan

A’rabi: Seorang Badui, yakni orang Arab yang tinggal di pedalaman.

Al-Masjid: Masjid, yakni masjid Nabi. Saat itu sebagiannya beratap dan sebagian besarnya  terbuka berupa tanah kosong hingga terkadang didirikan tenda di dalamnya. Orang tersebut masuk masjid lalu kencing di salah satu sudutnya karena menganggap sama dengan tanah kosong yang lain. Para sahabat melihatnya sebagai kemungkaran besar, tidak diragukan bahwa tindakan ini merupakan kemungkaran,  sehingga mereka berteriak menghardiknya, bagaimana ia melakukan kemungkaran seperti ini? Tetapi Nabi pembawa rahmat dan dikaruniai hikmah itu melarang mereka seraya bersabda: “Janganlah kalian memotong kencingnya”, biarkanlah dia kencing sampai selesai. Karena menghentikan kencing bukan perkara mudah, sehingga Nabi melarang mereka. Setelah orang itu selesai dari kencingnya, Nabi pun memanggilnya dan memerintahkan agar kencing itu disiram dengan setimba air untuk membersihkan tempat tersebut. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya, tanpa mencela dan tanpa bermuka masam: “Sesungguhnya masjid ini tidak boleh dikencingi dan tidak boleh dikotori”. Kemudian Nabi menjelaskan kepadanya kenapa masjid ini dibangun: “Masjid dibangun hanya untuk mengingat Allah, shalat dan membaca al-Qur’an”.[2] Mendengar penjelasan Nabi ini, orang Badui pun merasa lega dan tenang lalu berkata: “Ya Allah berilah rahmat kepadaku dan kepada Muhammad dan janganlah Engkau beri rahmat kepada seorang pun bersama kami”.

 

Pelajaran Hadis Ini

1-Kebodohan orang-orang Arab Badui dan bahwa mereka adalah orang-orang bodoh. Allah berfirman:

Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allahkepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Diantara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang memandang apa dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu; merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (at-Taubah: 97-98).

Ada juga golongan lain diantara mereka:

Diantara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu sebagai jalan mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh do’a Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan untuk mendekatkan diri (kepada Allah)”. (at-Taubah: 99).

Tetapi sebagian besar mereka bodoh. Karena itu para da’i harus mendatangi dan mengajari mereka terutama para da’i yang sudah dikenal mereka sehingga mudah diterima.

2-Kencing dan tahi manusia najis, karena itu badan, pakaian, tempat, bejana dan lainnya yang terkena kencing wajib dibersihkan. Sedangkan keringat, darah, ludah dan muntahnya tidak najis, karena Nabi bersabda: “Orang Mukmin itu tidak najis”.

3-Wajib membersihkan lantai masjid, bila terkena najis, karena Nabi memerintahkan agar kencing itu disiram dengan setimba air. Membersihkan masjid dari najis adalah fardhu kifayah. Karena itu siapa yang melihat najis di dalam masjid maka ia berkewajiban membersihkannya. Jika tidak bisa maka ia wajib memberitahukan kepada pihak yang bertanggungjawab membersihkannya.

4-Tanah tidak bisa dibersihkan kecuali dengan air, yakni tidak bisa dibersihkan dengan sinar matahari dan hembusan angin, karena Nabi memerintahkan agar kencing tersebut disiram dengan air. Tetapi sebagian ulama mengatakan bahwa tanah bisa dibersihkan dengan sinar matahari dan hembusan angin. Mereka menjawab tentang hadis Nabi tersebut bahwa Nabi bermaksud segera membersihkan dan mensucikannya, karena jika dibiarkan hingga bersih melalui sinar matahari dan hembusan angin bisa memerlukan waktu dua atau tiga hari bahkan lebih, sedangkan membersihkan najis dari masjid wajib disegerakan dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan air.

5-Membersihkan tanah dari najis cukup dengan menyiramnya dengan air, tidak disyaratkan harus memindahkan tanah yang terkena najis itu dari tempatnya, baik sebelum kena najis atau pun sesudahnya.

6-Kewajiban segera mengingkari kemungkaran, karena para sahabat segera mengingkari kemungkaran yang terjadi. Tetapi selama penundaannya tidak lebih bermaslahat. Jika penundaannya lebih bermaslahat maka lebih utama ditunda. Orang Badui tersebut tetap menyelesaikan kencing di masjid karena hal itu lebih bermaslahat. Berdasarkan hal ini jika kita melihat sesorang berdoa di sisi kuburan Nabi seraya berkata: ‘Wahai Muhammad, wahai Muhammad, berilah aku rizki’. Maka sebaiknya kita tidak langsung berteriak melarangnya, tetapi kita biarkan. Kemudian kita datangi dan kita nasehati dengan cara yang baik dan tidak kita kafirkan karena dia bodoh. Kita nasehati bahwa berdoa kepada selain Allah itu tidak dibenarkan. Siapakah yang bisa mengabulkan doa, Nabi ataukah Allah? Ia pasti akan menjawab Allah. Kalau begitu berdoalah kepada Allah semata dan jangan berdoa kepada Nabi.

7-Nabi menjaga umat ini dengan sangat baik. Beliau melarang para sahabat menghardik orang Badui tersebut, karena bila orang Badui itu beranjak dari kencingnya pasti menimbulkan bahaya. Pertama mereka menghentikan kencingnya, padahal menghentikan kencing yang sedang keluar itu bisa membahayakan saluran kencing. Kedua, jika orang Badui itu beranjak, maka ada dua kemungkinan: Ia akan tetap terbuka auratnya sehingga terlihat oleh orang banyak, atau ditutupinya sehingga mengotori pakaiannya atau kain sarungnya. Ketiga, jika ia tetap mengangkat kainnya sambil terus kencing maka najisnya berceceran ke berbaga tempat.

8-Menerapkan kaidah yang sudah dikenal yaitu jika suatu kemungkaran tidak bisa dihentikan kecuali dengan kemungkaran yang lebih besar maka kita tidak boleh melakukan pengingkaran, karena melakukan kemungkaran yang lebih ringan itu lebih utama daripada melakukan kemungkaran yang lebih besar. Ini jelas, karena jika ia beralih kepada kemungkaran yang lebih besar berarti ia melakukan kemungkaran yang pertama kemudian ditambah dengan kemungkaran kedua. Ini tidak diragukan merupakan tambahan atau peningkatan kemaksiatan.

9-Orang yang mengingkari kemungkaran seharusnya menjelaskan sebabnya, karena ketika Nabi menjelaskan kepada orang Badui itu bahwa masjid tidak boleh dikencingi dan tidak boleh dikotori, Nabi juga menjelaskan untuk apa masjid dibangun? Sedangkan orang Badui itu tidak mengetahui, ia datang ke tanah lapang dan dikiranya sama seperti tanah lapang yang lainnya.

10-Wajib menempatkan setiap orang sesuai kedudukannya. Seandainya orang yang kencing di masjid itu orang yang berpendidikan dan mengetahui hukum syari’at pasti tidak diperlakukan seperti itu. Tetapi kita memperlakukan orang Badui dengan perlakuan yang sesuai dengan tingkat pengetahuan dan budayanya.

11- Lemah lembut dalam mengajari orang bodoh dan tidak mengasarinya.

[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, 219, dan Muslim, 285.

[2] Diriwayatkan oleh Muslim, 285.