Syarah Kitab Bulughul Maram (Bab Thaharah)

Diterjemahkan dari kitab: Fat-hu Dzil Jalali wal-Ikram Bi-syarhi Bulughil Maram

Karya: Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Uthaimin.

Penerbit: Dar Ummil Qura

Penerjemah: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.

 

 

 

KITAB THAHARAH

(PEMBAHASAN TENTANG BERSUCI)

Kosakata Dan Penjelasan

                Thaharah (bersuci) ada dua:

Pertama, Thaharah ma’nawiyah (hati).

Kedua, Thaharah hissiyah (fisik).

Thaharah ma’nawiyah adalah thaharah (bersuci) dari kemusyrikan dan dari semua akhlak yang rendah, sehingga manusia tidak menyekutukan Allah dan tidak memiliki rasa tidak suka dan benci kepada kaum Muslimin. Hatinya menjadi suci dan bersih. Allah berfirman:

“Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka”. (QS, al-Ma’idah: 41)

Ini adalah najis ma’nawi yang menjadi kebalikan dari kesucian ma’nawi, seperti sabda Nabi saw kepada Abu Hurairah: “Sesungguhnya orang Mukmin tidak najis”.[1] Juga seperti sabdanya di dalam hadis Amr bin Hazm: “Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci[2] yakni orang Mukmin, menurut salah satu pendapat, karena orang Mukmin itu suci.

Thaharah hissiyah adalah bersuci dari hadats dan najis. Bersuci dari hadats adalah bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Tempat terjadinya hadats pada orang yang ber-hadats menjadi tidak suci tetapi anggota badannya yang tidak terkena hadats tetap suci. Terkadang hadats tidak menimbulkan kotoran seperti orang yang tidur atau berhadats karena buang angin. Dalam kasus ini tidak ada sesuatu yang harus dicuci tetapi wajib berwudhu (bila hendak shalat). Ini adalah thaharah dari hadats, bukan thaharah dari najis.

Sedangkan thaharah dari najis seperti mencuci kotoran dari badannya atau pakaiannya yang terkena najis, misalnya badannya terkena kencing atau tahi atau hal yang serupa. Ini disebut thaharah dari najis.

Perbedaan antara thaharah dari najis dan thaharah dari hadats, bahwa thaharah dari hadats termasuk melakukan perintah sehingga harus dilakukan dengan niat, menurut pendapat yang paling kuat dan berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Misalnya seseorang berniat melakukan wudhu’ karena  hadats dan berniat mandi karena hadats.

Adapun thaharah dari najis tidak disyaratkan niat. Seandainya seseorang mencuci pakaiannya karena kotor dan najis, tanpa berniat mencucinya dari najis, maka pakaiannya tersebut menjadi suci. Demikian pula seandainya hujan menimpa pakaian tersebut hingga membersihkan kotorannya maka pakaian tersebut menjadi suci. Sekiranya najis itu dihilangkan dengan bensin atau hal lainnya yang bisa menghilangkannya maka pakaian itu menjadi suci dari najis. Karena najis adalah benda kotor. Bila kotoran itu telah terangkat maka terangkat pula hukumnya. Sebab, ada dan tidak adanya hukum mengikuti ‘illat-nya.

Pembicaraan para ahli fiqh berkaitan dengan thaharah hissiyah (fisik) sedangkan pembicaraan ulama yang berbicara tentang tauhid dan aqidah berkaitan dengan thaharah ma’nawiyah. Yakni thaharah hati dari segala bentuk kemusyrikan, keraguan, kemunafikan, kebencian, kedengkian dan sifat-sifat lainnya yang tercela. Sehingga hatinya menjadi suci dan bersih. Ini lebih penting dari thaharah hissiyah. Sekalipun demikian manusia memerlukan kedua thaharah ini. Semuanya masuk dalam bab thaharah.

Pengarang (maksudnya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani) rahimahullah memulai dengan Kitab Thaharah sebagaimana para ahli fiqh dan ahli hadis lainnya dalam menyusun kitab-kitab mereka berdasarkan bab-bab dalam fiqh. Hal ini karena beberapa sebab, diantaranya:

Pertama, thaharah termasuk syarat yang menentukan sah tidaknya shalat. Firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maa basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”.           (Al-Maidah: 6)

Nabi saw bersabda:

Allah tidak menerima shalat salah seorang diantara kamu apabila berhadats hingga ia berwudhu’[3]

Kedua, thaharah merupakan syarat shalat yang paling banyak rinciannya, sehingga layak didahulukan pembahasannya.

Ketiga, mereka memulai dengan bab thaharah untuk membersihkan tujuan manusia agar dalam menuntut ilmu tidak menghendaki kecuali ridha Allah dan negeri akhirat. Karena orang-orang yang mencari ilmu bermacam-macam tujuan mereka. Ada yang bertujuan dunia dan ada yang bertujuan akhirat. Orang-orang yang mencari ilmu dengan bertujuan menarik simpati manusia atau mendapatkan kepemimpinan, kedudukan dan perkara-perkara dunia lainnya, mereka itu tidak menuntut ilmu karena Allah, bahkan mereka berdosa. Karena itu, disebutkan dalam sebuah hadis: “Siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya dilakukan karena mengharapkan ridha Allah tetapi dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka dia tidak mendapati aroma surga pada hari Kiamat”.[4]

Karena itu, saya menyerukan para penuntut ilmu dan diriku untuk mengikhlaskan tujuan dan niat dalam semua ibadah terutama menuntut ilmu, karena ia merupakan ibadah yang paling utama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad ketika ditanya tentang amal perbuatan yang paling utama. Ia berkata: “Tidak ada sesuatu yang menyamai ilmu bagi orang yang benar niatnya”. Mereka bertanya, ‘Bagaimanakah meluruskan niat itu?’ Ia menjawab: Ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari manusia, tanpa berniat yang lain.

Bisa juga dikatakan, jika penuntut ilmu berniat untuk menjaga syari’ah maka niat ini sangat baik karena menjaga syari’ah termasuk tugas yang sangat penting. Demikian pula sekiranya dia berniat agar bisa beribadah kepada Allah dengan benar sesuai petunjuk ilmu.

Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui’…”. (Az-Zumar: 9)

Orang yang beribadah kepada Allah sesuai dengan petunjuk ilmu mendapatkan kelezatan dan kenikmatan yang sangat besar, berbeda dengan orang yang beribadah tanpa landasan ilmu dan petunjuk yang benar.

Bisa juga ditambahkan tujuan keempat, yaitu mengajak manusia kepada Allah (da’wah ilallah), karena dakwah ilallah harus didasarkan pada ilmu. Siapa yang berdakwah tanpa ilmu, pasti bahayanya lebih besar dari pada manfaatnya. Bisa jadi tujuan ini masuk dalam niat menghapuskan kebodohan dari manusia, tetapi karena urgensi dakwah maka saya sebutkan secara terpisah. Allah berfirman:

Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orangorang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata’…”. (Yusuf: 108)

[Sebagian ulama mengatakan: Thaharah memiliki empat tingkatan:

  • Mensucikan lahiriyah dari hadats dan najis
  • Mensucikan anggota badan dari kejahatan dan dosa.
  • Mensucikan hati dari akhlak yang tercela.
  • Mensucikan batin dari selain Allah.

Ini merupakan tujuan tertinggi bagi orang yang kuat mata hatinya sehingga mampu mencapai tingkatan ini. Tetapi orang yang lemah mata hatinya tidak bisa memahami tingkatan-tingkatan kesucian ini kecuali kesucian tingkatan pertama].

 

[1] Diriwayatkan oleh Bukhari, kitab al-ghusli, nomor 282, dan Muslim kitab al-haidh, nomor 371.

[2] Diriwayatkan oleh ad-Darami, kitab ath-tahalaq, nomor 2266.

[3] Diriwayatkan oleh Bukhari, nomor 6954, dan Muslim, nomor 225.

[4] Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/338, dan Abu Dawud, nomor 252. Isnadnya hasan.