Mengikuti Hura-hura Pergantian Tahun Baru Masehi

Sejarah awal hura-hura pada malam tahun baru dengan berbagai jenisnya berasal dari negara-negara Barat, lalu ia masuk ke negeri-negeri muslim. Hal ini merupakan bagian dari perang pemikiran dan budaya (al-ghazwu al-fikri wa al-tsaqafi) agar umat Islam akrab dengan pemikiran dan budaya mereka, sekaligus menjauhkan umat dari pemikiran dan kebudayaannya sendiri.

Dalam hadits lain, Rasulullah saw. bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Siapa yang menyerupai suatu kaum, dia termasuk bagian dari mereka.” (Abu Daud, 4/4031, babun fi lubsi al-syuhrati; menurut Ibn Hajar, sanad hadits ini hasan, Fath Al-Bari, 10/271)

Hadits tersebut melarang umat Islam untuk menyerupai orang-orang musyrik dan Ahli Kitab yang dikenal dengan istilah tasyabbuh. Tasyabbuh (penyerupaan) yang dilarang adalah menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang merupakan kekhasan dari perilaku mereka berdasarkan agama dan keyakinannya. Hal ini dikategorikan sebagai tasyabbuh yang diharamkan. Meskipun begitu, ada bentuk penyerupaan yang diperbolehkan (mubah) ketika perbuatan tersebut bukan identitas atau simbol agamanya.

Perayaan pergantian tahun baru masehi meskipun terlihat seperti kebiasaan, tetapi merupakan cerminan dari keyakinan dan pemikiran yang bersumber dari agama lain. Maka, merayakan pergantian tahun baru masehi dengan cara ikut larut dalam berbagab acara hura-huranya, atau memakai pernak-perniknya yang khas dilakukan oleh non muslim adalah bentuk pelanggaran terhadap ajaran dan adab Islam. Terlebih jika di dalamnya terdapat kemaksiatan yang nyata, seperti pergaulan bebas, miras, dan lainnya.

Adapun mengisi malam tahun baru dengan berbagai kegiatan positif dan bermanfaat jika ditujukan sebagai alternatif dari berbagai acara negatif malam tahun baru, maka insya Allah tidak mengapa.