Isra Mi’raj: Kronologi dan Analisa

Oleh: H. Faris Jihady, MA

Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan salah satu peristiwa besar yang terjadi dalam perjalanan kehidupan Nabi Muhammad saw. Peristiwa ini menjadi simbol keluarbiasaan dan campur tangan kehendak Allah dalam kehidupan Nabi-Nya. Ia juga menjadi bukti bagi kebenaran risalah dan kejujuran pribadi Rasulullah saw. Momen Isra’ Mi’raj terjadi saat Rasulullah saw mengalami kesedihan yang luar biasa, disebabkan oleh wafatnya dua orang tercinta yang selama ini menjadi penopang dan pembela dakwah beliau; yaitu istri beliau; Khadijah ra, dan paman beliau Abu Thalib.

Definisi Isra & Mi’raj

Isra’ الإسراء   dalam bahasa Arab, berarti perjalanan di malam hari. sementara Mi’raj المعراج  berarti naik ke atas. Sebagaimana diketahui, Isra’ dan Mi’raj adalah dua istilah yang merujuk sekaligus pada peristiwa diperjalankannya Rasulullah saw di malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Madinah, lalu beliau dibawa naik ke atas oleh malaikat Jibril as atas perintah dan kehendak Allah swt.

Momen historis ini diabadikan oleh Allah swt pada dua tempat di dalam Al-Quran:

  1. Pada surat Al-Isra’ (yang namanya terambil dari peristiwa besar tersebut). Allah swt berfirman:

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS 17:1)

 

Ayat di atas secara spesifik merujuk kepada peristiwa Isra’. Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari ayat ini:

“ليلا”= Lailan,merupakan keterangan waktu bagi perstiwa Isra’ ini. Dapat juga dikatakan: ini adalah isyarat bahwa peristiwa tersebut terjadi pada sebagian malam, bukan keseluruhan waktu malam. karena digunakannya kata ليلا  bukan ليلة “. (Fathul Bari 7/597)

  1. Dalam surat An-Najm, Allah juga berfirman:

وَلَقَدۡ رَءَاهُ نَزۡلَةً أُخۡرَىٰ ۝١٣ عِندَ سِدۡرَةِ ٱلۡمُنتَهَىٰ ۝١٤ عِندَهَا جَنَّةُ ٱلۡمَأۡوَىٰۤ ۝١٥ إِذۡ یَغۡشَى ٱلسِّدۡرَةَ مَا یَغۡشَىٰ ۝١٦ مَا زَاغَ ٱلۡبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ ۝١٧ لَقَدۡ رَأَىٰ مِنۡ ءَایَـٰتِ رَبِّهِ ٱلۡكُبۡرَىٰۤ ۝١٨

“Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu ketika) di Sidratulmuntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Nabi Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratulmuntaha dilingkupi oleh sesuatu yang melingkupinya. Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak menyimpang dan tidak melampaui (apa yang dilihatnya). Sungguh, dia benar-benar telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang sangat besar.”

Sementara, rangkaian ayat kedua mengisyaratkan tentang peristiwa Mi’raj, yaitu naiknya Rasulullah saw bersama Jibril as menembus langit ketujuh hingga berhenti di Sidrat Al-Muntaha, sebuah tempat yang menjadi tempat tertinggi dan terakhir yang dicapai oleh makhluk. Imam Ibnul Jauzi mengatakan:

قالَ المُفَسِّرُونَ: وإنَّما سُمِّيَتْ سِدْرَةَ المُنْتَهى، لِأنَّهُ إلَيْها مُنْتَهى ما يُصْعَدُ بِهِ مِنَ الأرْضِ، فَيُقْبَضُ مِنها، وإلَيْها يَنْتَهِي ما يُهْبَطُ بِهِ مِن فَوْقِها فَيُقْبَضُ مِنها، وإلَيْها يَنْتَهِي عِلْمُ جَمِيعِ المَلائِكَةِ

“para Ahli tafsir mengatakan: dinamakan Sidratul Muntaha, karena ia adalah muntaha (puncak tertinggi) dari segala apa yang naik dari bumi, dan menjadi tempat berakhirnya segala apa yang datang dari atasnya. Ia juga merupakan titik terakhir bagi pengetahuan para malaikat” (Zaadul Masiir).

Validitas Riwayat Kisah Isra’ dan Mi’raj

Selain adanya ayat Al-Quran yang menegaskan terjadinya peristiwa ini, riwayat yang mengisahkan Isra’ Mi’raj adalah riwayat yang valid dan shahih, yang tidak menyisakan sedikitpun ruang keraguan akan terjadinya peristiwa tersebut. Imam Ibnu Katsir mengatakan: “berbagai riwayat tentang kisah Isra’ Mi’raj mencapai derajat mutawatir (yang diriwayatkan dari banyak sumber), yang berpulang kepada banyak sahabat terkemuka, antara lain: Umar ibn Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Anas bin Malik, Abdullah ibn Abbas…” Imam Ibnu Katsir mencatat perawi kisah ini mencapai 25 orang sahabat. Sehingga dapat dikatakan bahwa peristiwa ini diketahui dan dinukil oleh banyak orang dari sejak generasi awal. Berbagai periwayatan tersebut ada yang disampaikan dengan detil, ada pula yang ringkas.

Kapan terjadinya Isra Mi’raj secara spesifik?

Ada sedikit perbedaan pendapat para Ulama tentang waktu spesifik terjadinya peristiwa Isra Mi’raj. Imam An-Nawawi memastikan bahwa Isra Mi’raj terjadi setahun sebelum Hijrah ke Madinah pada bulan Rajab. Sementara itu sejarawan Imam Ibnul Atsir berpendapat ia terjadi tiga tahun sebelum Hijrah. Namun yang disepakati para ahli, bahwasanya peristiwa tersebut terjadi setelah Hijrahnya Nabi Muhammad saw ke Thaif yang terjadi pada tahun 10 Kenabian paska wafatnya Khadijah ra & Abu Thalib.

Kronologi peristiwa Isra’ Mi’raj

Terdapat berbagai riwayat yang mengisahkan peristiwa ini, namun ada yang shahih ada pula yang dhaif. Imam Bukhari & Imam Muslim sendiri meriwayatkan dengan cukup panjang dan mendetil. Para penulis sejarah dan Sirah Nabawiyyah merangkum berbagai riwayat ini.

Imam Bukhari & Muslim meriwayatkan terjadinya peristiwa pembelahan dada Nabi Muhammad saw yang keduakalinya, di mana Jibril as mengeluarkan jantung Nabi saw dan mencucinya dengan air zamzam yang tersimpan dalam bejana emas. Imam Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad merangkum berbagai riwayat, menceritakan proses keberangkatan malam itu. beliau berkata:

Menurut riwayat yang shahih bahwa Rasulullah saw di-Isra’kan dengan jasadnya dari Masjidil Haram menuju Baitul Maqdis dengan mengendari Al-Buraq -seekor hewan tunggangan yang mirip kuda dan keledai berwarna putih-. Dengan ditemani oleh Jibril as. Lalu beliau singgah di sana dan menambatkan Al-Buraq pada pintu masjid,  dan shalat bersama para nabi sebagai imam.

Kemudian beliau di-mi’raj-kan dari Baitul Maqdis menuju langit dunia (terdekat). Jibril minta izin agar dibukakan pintu langit bagi beliau lalu terbukalah pintunya. Di sana, beliau melihat Adam, Bapak Manusia. beliau memberi salam kepada Nabi Adam, ia pun menyambutnya dan menjawab salam tersebut serta mengakui kenabian beliau saw. Allah juga menampakkan kepada beliau ruh-ruh para syuhada dari arah sebelah kanannya, dan menampakkan ruh-ruh yang orang-orang yang sengsara dari sebelah kirinya.

Kemudian beliau dimi’rajkan lagi ke langit kedua. Jibril meminta izi agar dibukakan pintunya untuk Nabi saw. Di sana beliau melihat Nabi Yahya as dan Nabi Isa as, lalu menjumpai mereka dan mengucapkan salam. Mereka pun menjawab salam dan menyambutnya serta mengakui kenabian beliau.

Kemudian beliau dimi’rajkan lagi ke langit ketiga. Di sana, beliau bertemu Nabi Yusuf as dan mengucapkan salam kepadanya. Nabi Yusuf as menjawab salam, menyambutnya dan mengakui kenabian beliau.

Kemudian beliau dimi’rajkan lagi kelangit keempat. Beliau bertemuNabi Idris dan mengucapkan salam kepadanya, Nabi Idris pun menjawab salamnya, menyambutdan mengakui kenabian beliau.

Kemudian beliau dinaikkan lagi ke langit kelima, bertemu Nabi Harun ibn Imran dan mengucapkan salam kepadanya. Nabi Harun menjawab salam beliau, menyambut dan mengakui kenabiannya.

Lalu beliau dinaikkan lagi ke langit keenam. Beliau bertemu dengan Nabi Musa,mengucapkan salam kepadanya dan berbincang dengannya. Nabi Musa pun menangis, kemudian ditanya: “apa yang membuatmu menangis?. Ia menjawab: “aku menangis karena ada seseorang yang diutus setelahku yang jumlah umatnya yang masuk surga lebih banyak dari umatku”.

Setelah pertemuan tersebut, beliau dinaikkan lagi ke langit ketujuh. Disana beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim as lalu mengucapkan salam kepadanya. Nabi Ibrahim pun menyambut dengan mengucapkan: “marhaban, wahai anak dan nabi yang shalih” dan mengakui kenabian beliau.

Tentang pertemuan dengan Nabi Ibrahim as, terdapat riwayat Imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah saw bertutur: “aku bertemu Ibrahim as di malam Isra’. Ia berkata kepadaku: wahai Muhammad, sampaikan salamku kepada ummatmu. Beritahu mereka bahwa tanah surga begitu indah, airnya jernih, tempatnya datar. Beritahu mereka bahwa bibit tumbuhannya adalah ucapan: subhanallah, walhamdulillah, wa Laa ilaaha illallah, wallahu akbar”.

Setelah pertemuan dengan para Nabi, beliau naik ke Sidratul Muntaha. Jibril pun terhenti di sana. Kemudian beliau dinaikkan lagi menuju Allah yang Mahaagung lagi Mahaperkasa, hingga jaraknya begitu dekat. Allah swt mewahyukan kepada beliau apa yang Dia wahyukan,dan mewajibkan kepada beliau lima puluh (50) waktu shalat.

Setelah menerima perintah shalat, beliau pun turun hingga melewati Nabi Musa as. Nabi Musa bertanya beliau: “apa yang diperintahkan padamu?”

Beliau menjawab: “50 waktu shalat”

Nabi Musa berkata: “umatmu pasti tidak sanggup melakukan itu, kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu!”

Beliau menoleh ke arah Jibril as seakan meminta pendapatnya dalam masalah itu. Jibril mengisyaratkan persetujuannya. Lalu Jibril membawa beliau naik lagi hingga membawanya ke hadapan Allah swt. Sedangkan Jibril tetap berada pada tempatnya. Allah swt menguranginya hingga menjadi 10 waktu shalat. Kemudian beliau turun lagi hingga bertemu lagi dengan Nabi Musa as.

Beliau terus naik dan turun antara Nabi Musa as dan Allah swt,hingga akhirnya Allah swt menjadikannya 5 waktu shalat. Meski demikian, Nabi Musa tetap menyarankan NabiMuhammad saw agar meminta keringanan lagi. Lalu beliau menjawab: “sungguh aku malu kepada Rabbku,aku rela dengan hal ini dan menerimanya”. Lalu terdengarlah suara menyeru: “Aku telah memberlakukan fardhu-Ku dan telah meringankan hamba-hambaKu”.

Sepanjang perjalanan keberangkatan Isra’,beliau mengalami dan menyaksikan kejadian yang bervariasi:

  • beliau ditawari susu dan arak,lalu beliau memilih susu. Kemudian dikatakan kepada beliau: “engkau telah memilih fitrah” (HR Muslim)
  • beliau juga melihat empat buah sungai mengalir di surga. Beliau juga melihat malaikat Malik penjaga neraka, siksa para pemakan harta anak yatim secara zalim, pemakan riba, para pezina.
  • Beliau juga melihat rombongan niaga penduduk Mekkah dalam saat beliau berangkat dan pulang. Hal yang kemudian menjadi bukti akan kebenaran pengakuan beliau saw saat pagi hari sepulangnya dari Isra’ Mi’raj.

 

Shalatnya Nabi Muhammad saw sebagai imam para Nabi di Baitul Maqdis

ada sedikit perbedaan pendapat ulama tentang shalatnya Nabi saw sebagai imam para nabi. Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar rh menguatkan pendapat bahwa hal tersebut terjadi sebelum naiknya beliau menuju langit (Fathul Bari 7/610). Sementara, Imam Ibnu Katsir rh berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi sepulangnya beliau dari langit. Beliau berkata dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (3/123):

“kemudian Rasulullah saw mendarat turun kembali ke Baitul Maqdis. Pendapat yang kuat adalha bahwa para nabi ikut turun bersama mengiringinya untuk memuliakan beliau, sekembalinya dari hadirat Ilahi. Sebagaimana kebiasaan orang yang berkunjung umumnya tidak akan berkumpul dengan siapapun sebelum menghadap pihak yang mengundangnya.

Karena itulah saat naik ke atas dan melewati nabi-nabi tersebut, Jibril as berkata kepada Rasulullah saw: ini adalah Nabi fulan, ucapkanlah salam kepadanya. Seandainya berkumpulnya beliau dengan para Nabi saw terjadi sebelum mi’rajnya, tentu tidak perlu lagi untuk mengenali para nabi yang ditemuinya di langit. Di antara hal yang menguatkan hal ini bahwasanya saat tiba waktu shalat, beliau memimpin mereka shalat, dan tidak ada waktu shalat lain kecuali waktu shalat subuh. Beliau memimpin mereka shalat atas perintah Jibril as berdasarkan wahyu dari Allah swt”.

Hikmah dari pertemuan dengan para Nabi di langit

Ada beberapa hikmah dari pertemuan Rasulullah saw dengan Nabi-nabi tersebut di langit, di antaranya untuk mengisyaratkan bahwa apa yang akan dialami beliau saw dengan kaumnya, mirip dengan apa yang dialami para nabi tersebut dengan kaum mereka. Imam Ibn Hajar dalam Fathul Bari (7/612) menjelaskan:

  • Pertemuan dengan Nabi Adam mengisyaratkan tentang akan terjadinya hijrah Nabi Muhammad saw, sebagaimana keluarnya Nabi Adam as dari surga.
  • Pertemuan dengan Nabi Isa dan Yahya as, memberi isyarat tentang permusuhan dari kaum Yahudi yang akan beliau saw dapati saat hijrah ke Madinah, sebagaimana terjadi pada para nabi tersebut.
  • Pertemuan dengan Nabi Yusuf; mengandung isyarat tentang permusuhan saudara dan kerabat Nabi saw terhadap dirinya, sebagaimana permusuhan saudara2 Nabi Yusuf.
  • Pertemuan dengan Nabi Musa as,mengandung isyarat tentang dahsyatnya cobaan dan penderitaan yang akan dialami beliau saw, sebagaimana yang terjadi pada kisah Nabi Musa
  • Pertemuan dengan Nabi Ibrahim as yang saat itu sedang bersandar di Baitul Ma’mur, sebagai isyarat bahwa kehidupan Nabi Muhammad saw ditutup dengan pelaksanaan haji Wada’, syariat yang dipelopori oleh Nabi Ibrahim as.

 

Pagi hari paska Isra’ Mi’raj

Di pagi hari, saat Rasulullah saw sudah berada di tengah kaumnya, beliau menceritakan kepada mereka perihal tanda-tanda kebesaran Allah swt yang telah diperlihatkan dan dialami oleh beliau. Mereka pun spontan mengingkarinya, dan meminta agar menggambarkan Baitul Maqdis kepada mereka. lalu Allah swt menampakkannya kepada beliau hingga seakan beliau dapat melihat Baiatul Maqdis dengan mata telanjang.

Beliau mendeskripsikan kepada mereka ciri-ciri Baitul Maqdis, sedikit pun mereka tak mampu menyanggahnya. Beliau juga memberitahukan perihal rombongan niaga yang beliau saksikan saat perjalanan berangkat dan kepulangan beliau, bahkan beliau juga menyebutkan perihal seekor unta yang mendahului rombongan tersebut. memang demikianlah fakta yang terjadi.

Pada momentum ini, Abu Bakar dijuluki sebagai Ash-Shiddiq (orang yang selalu membenarkan Nabi Muhammad saw), karena ia membenarkan peristiwa Isra’ dan Mi’raj tatkala banyak orang mendustakan beliau.

Demikianlah, rangkaian peristiwa Isra Mi’raj dengan berbagai detail kisah menjadi bukti tidak terbantahkan akan kebenaran risalah dan wahyu dari Allah swt, hingga tidak menyisakan celah sedikitpun bagi siapapun untuk mengingkarinya. Peristiwa agung ini juga mengandung banyak sekali pelajaran tentang keimanan dan kepatuhan terhadap syariat, terutama perihal ibadah shalat sebagai mi’raj antara seorang hamba dengan Rabb-nya.

Wallahu a’lam

Referensi:

  1. Al-Lu’lu’ Al-Maknun fi Siirat An-Nabiyyi Ma’mun. Musa Al-Azmi
  2. Sirah Nabawiyyah. Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri
  3. Tafsir Ibnu Katsir
  4. Zaadul Masiir. Ibnul Jauzi
  5. Fathul Bari. Ibnu Hajar Al-Asqalani