Hukum Mengucapkan “Selamat Hari Raya Non Muslim” dan Memakai Atributnya

Assalaamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengucapkan selamat hari raya nonmuslim, antara yang melarang dan yang membolehkan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hal tersebut diharamkan dengan alasan bahwa perkara ini tidak pernah dilakukan oleh generasi awal Islam (salafushaleh), justeru yang ada adalah larangan dari Rasulullah saw untuk mengawali memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani, sebagaimana sabdanya;

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani.” (Muslim, vol. 4, no.  2167)

Alasan lainnya, karena ucapan selamat tersebut dianggap sebagai sikap pembenaran dan pengakuan terhadap akidah mereka. Khusus ucapan selamat natal, diketahui bahwa natal adalah hari raya yang berkaitan sebagai hari kelahiran Nabi Isa alaihissalam yang dalam keyakinan mereka dianggap sebagai anak tuhan. Keyakinan yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam.

 

Al-Bahuti dari mazhab Hambali dalam Kasysyaf Al-Qina mengatakan, “Haram mengucapkan selamat..kepada nonmuslim karena hal itu berarti mengagungkan mereka dan sama dengan mengucapkan salam..Syeikhul Islam mengatakan, ”Diharamkan menyaksikan hari raya Yahudi, Nasrani, dan lain-lain dari orang-orang kafir.” (Al-Bahuti. (2008). 1/131)

Adapun sebagian ulama lainnya, khususnya sebagian ulama kontemporer, membolehkannya. Alasannya, bahwa perkara ini dianggap sebagai bagian dari kebaikan hubungan sosial dan bukan bentuk cinta dan loyalitas keagamaan. Landasannya adalah keumuman perintah Allah untuk bersikap baik dan adil terhadap non muslim selama mereka tidak memerangi dan memusuhi kaum muslimin, sebagaimana firman Allah Taala,

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memeangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah: 8)

Khusus tentang Natal, Nabi Isa a.s. mengucapkan selamat atas kelahiran dirinya. Allah Swt. berfirman,

وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

“Keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (Maryam/19: 33)

Terkait dengan fatwa keharaman mengucapkan selamat atas hari raya agama Nasrani dan lain-lain dari para ulama masa lalu, dipahami oleh para ulama yang membolehkan sebagai perkara yang dilatarbelakangi oleh dekatnya jarak masa mereka saat itu dengan perang Salib. Maka, fatwa mereka dianggap karena pengaruh  suasana politik saat itu.

Di antara para ulama kontemporer yang membolehkan adalah sebagai berikut: Nashr Farid Washil, mantan Mufti Mesir, Wahbah Al-Zuhailiy, ulama terkemuka asal Suriah, Yusuf  Al-Qaradawi, ulama besar asal Mesir yang menetap dan wafat di Qatar serta mantan Ketua Ikatan Ulama Internasional dan sejumlah ulama terkemuka lainnya.

Kedua  pendapat ini, baik yang mengharamkan atau membolehkan memiliki alasan dan dalil. Dari perbedaan pendapat itu, kita dapat mengambil jalan tengah yang moderat dengan memperhatikan keselamatan akidah umat. Hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pendapat yang lebih kuat (arjah) dan paling selamat (aslam) untuk menjaga akidah umat adalah tidak membolehkan mengucapkan selamat hari raya nonmuslim. Pendapat ini juga lebih selamat dalam menjaga akidah umat dari ajaran pluralisme. Termasuk dalam hal ini adalah mengenakan atau menggunakan atribut khas natal, karena dapat masuk dalam katagori tasyabbuh yang dilarang.
  2. Orang yang sehari-hari berhubungan dengan nonmuslim seperti kerabat atau teman sejawat, karenanya dia dituntut untuk menjalin komunikasi sosial yang baik. Jika harus menyampaikan ucapkan selamat, dia dapat menyampaikan ucapan selamat dengan redaksi lain yang lebih umum dan lebih aman secara akidah, seperti selamat berbahagia dan lain-lain. Jika karena kedudukan atau jabatan tertentu seseorang harus mengucapkan selamat atas hari raya agama lain, pendapat yang membolehkannya bisa dijadikan pegangan. Namun, ucapan itu tidak disampaikan secara berlebihan, cukup mengucapkannya dengan lisan secara peribadi, dan menjaga dirinya agar tidak sampai memberikan pembenaran atas akidah yang dianut orang yang beragama lain.